Harmoni Pacu Jalur, Perpaduan Unsur Orang Sekampung yang Mendunia

Jumat, 04 Juli 2025 | 17:05:03 WIB
Pacu Jalur Kuansing, Riau

PEKANBARU, AmiraRiau.com- Festival Pacu Jalur di Kuantan Singingi (Kuansing) bukan sekadar adu cepat perahu panjang. Di balik gemuruh sorak-sorai dan tradisi "aura farming" yang kini mendunia, tersimpan makna filosofis mendalam serta pembagian peran yang unik.

Kepala Dinas Pariwisata (Kadispar) Provinsi Riau, Roni Rakhmat, menjelaskan, setiap elemen membentuk kekuatan dan keunikan pacu jalur ini.

Menurut Roni Rakhmat, setiap jalur merupakan representasi mini dari kehidupan masyarakat. Ia menyatakan bahwa harmoni dan kerja sama adalah kunci utama dalam mencapai kemenangan, baik di lintasan pacu maupun dalam kehidupan sehari-hari.

"Setiap individu di dalam jalur memiliki peran krusial, mencerminkan nilai-nilai luhur masyarakat Melayu Riau, khususnya di Kuansing," ujar Roni Rakhmat di Pekanbaru, Jumat (4/7/2025).

Unsur pertama adalah anak pacuan, yang bertanggung jawab mendayung jalur secepat mungkin menuju garis finis. Mereka adalah orang dewasa yang mengenakan pakaian olahraga, mendayung serentak sebagai simbol gotong royong.

"Filosofinya adalah bahwa hidup di kampung harus seiya sekata, penuh dengan gotong royong, saling bahu membahu dan tolong menolong demi mencapai keuntungan bersama," jelas Roni.

Kemudian ada tukang tari, atau sering disebut anak joki, yang posisinya berada paling depan atau di haluan jalur. Peran mereka adalah memberikan irama yang seimbang dan menjadi penanda posisi jalur.

Umumnya diperankan oleh anak-anak berusia 10-13 tahun, filosofinya menggambarkan semangat kuat anak-anak Kuansing yang mampu berdiri kokoh menghadapi tantangan hidup.

"Apabila tukang tari ini sudah berdiri dan menari-nari, itu menunjukkan haluan jalurnya dalam posisi menang atau berada di depan haluan jalur lawan," kata Roni.

Di bagian tengah jalur, terdapat tukang timbo ruang. Tugas utama mereka adalah memberikan semangat serta aba-aba kepada anak pacuan untuk mengencangkan dayung atau menambah tenaga.

"Tukang timbo ruang juga bertugas menimba air yang masuk ke dalam jalur dan membuangnya keluar jalur," tambah Roni.

Peran ini, yang biasa dipegang orang dewasa dengan pakaian Melayu Riau, melambangkan sosok pemimpin di suatu daerah yang harus diikuti untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama.

Terakhir adalah tukang onjai, yang berposisi paling belakang jalur. Tugas mereka adalah memberikan daya dorong dengan menekan atau 'ma onjai' agar jalur melaju kencang, sekaligus memastikan jalur tetap lurus di lintasan.

"Tukang onjai ini juga melihat apakah jalurnya masih berjalan lurus pada lintasan pacu atau sebaliknya," terang Roni.

Dahulu diperankan orang dewasa, kini peran ini banyak diambil oleh anak-anak berusia 13-15 tahun, mengenakan pakaian Melayu Riau, melanjutkan tradisi dengan sentuhan generasi muda.

Roni Rakhmat menambahkan bahwa setiap peran ini, meskipun berbeda tugas, saling melengkapi dan tak terpisahkan. Keseluruhan unsur ini membentuk satu kesatuan yang harmonis, menunjukkan betapa kompleks namun indahnya filosofi yang terkandung dalam setiap gerak pacu jalur.

Keunikan peran-peran inilah yang menjadikan pacu jalur bukan hanya olahraga, tetapi juga sebuah pertunjukan budaya yang kaya akan makna. Dengan adanya pembagian peran yang terstruktur dan filosofi yang kuat, tidak heran jika Pacu Jalur terus menarik perhatian, baik di tingkat lokal maupun internasional.

Kadispar Riau berharap, pemahaman mendalam tentang setiap elemen ini dapat semakin meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap warisan budaya kebanggaan Provinsi Riau.***

Tags

Terkini