Pacu Jalur Sudah Ada Sejak Zaman Belanda, Saatnya Masuk UNESCO Sebagai Warisan Budaya

Selasa, 19 Agustus 2025 | 20:03:39 WIB

PEKANBARU, AmiraRiau.com - Pacu Jalur, lomba mendayung perahu panjang khas Kuantan Singingi, telah menjadi ikon budaya Riau. Namun, di balik kemeriahan festival yang setiap tahun menyedot ribuan penonton itu, tersimpan sejarah panjang yang penuh makna.

Sejarawan Riau, Profesor Suwardi MS, menuturkan bahwa awalnya pacu jalur hanyalah permainan rakyat antar-desa di tepian Sungai Kuantan. Menurutnya, tradisi ini awalnya muncul sebagai sarana hiburan dan adu keterampilan mendayung antar warga.

“Ya, jadi sebenarnya, pacu jalur dulu itu hanya permainan rakyat, perlombaan antardesa. Tapi akhirnya oleh Belanda diadakanlah peringatan Ratu Wilhelmina. Di situlah pacu jalur dijadikan event yang melibatkan 19 koto di Kuantan,” ujar Prof Suwardi di Pekanbaru.

Dijelaskan Belanda, yang kala itu berkuasa di wilayah Kuantan, menjadikan pacu jalur sebagai bagian dari peringatan ulang tahun Ratu Wilhelmina. Jalur-jalur panjang berukuran belasan meter itu didayung dari mudik hingga ke hilir, melintasi kawasan Lubuk Ambacang sampai Cerenti.

“Nah, Belanda menjadikan pacu jalur sebagai pertemuan besar tiap tahun untuk merayakan hari lahirnya Ratu Wilhelmina,” jelasnya.

Namun, setelah Belanda hengkang dan Indonesia merdeka, makna pacu jalur berubah. Tradisi rakyat ini dialihkan menjadi agenda tahunan untuk memeriahkan peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Dari situlah pacu jalur mulai mengakar sebagai bagian penting dari identitas budaya Riau.

Prof Suwardi mengenang, pada dekade 1980-an, pacu jalur hanya dibuka oleh bupati setempat. Namun, ia kemudian mengambil inisiatif untuk menulis buku khusus mengenai pacu jalur.

“Saya ajak Gubernur Riau waktu itu, Pak Imam Munandar, untuk hadir. Sejak itulah pacu jalur mulai diresmikan sebagai event tingkat provinsi,” ungkapnya.

Sehingga, buku yang ditulis Prof Suwardi menjadi momentum penting. Tradisi yang sebelumnya dianggap sebatas permainan rakyat kini mendapat pengakuan resmi dari pemerintah daerah. Tidak berhenti di situ, Kementerian juga meminta Prof. Suwardi menulis buku tentang pacu jalur dan seluruh tata upacaranya.

“Kemudian, saya disuruh membuat buku oleh Kementerian, akhirnya lahirlah buku pacu jalur dan upacara perlengkapnya. Alhamdulillah, sekarang pacu jalur sudah menjadi even pariwisata nasional," terangnya.

Setiap tahunnya, ribuan wisatawan berbondong-bondong datang ke Kuantan Singingi untuk menyaksikan jalur-jalur berlaga di Tepian Narosa. Baginya, pacu jalur bukan sekadar lomba mendayung, melainkan perwujudan gotong royong dan kekompakan masyarakat Kuantan Singingi.

Prof Suwardi menyebutkan bahwa sudah ada upaya agar pacu jalur bisa masuk dalam daftar Warisan Budaya Takbenda UNESCO. Ia bahkan pernah diminta menjadi narasumber dalam proses tersebut.

“Sebetulnya, sejak dulu sudah ada usaha Indonesia untuk mendaftarkan pacu jalur ke UNESCO. Tetapi hingga kini belum ada kepastiannya,” tuturnya.

Meski belum mendapat daftar UNESCO, kini kehadiran penari pacu jalur yang memikat penonton mancanegara menjadi salah satu bukti bahwa tradisi ini terus berkembang. Viralnya Aura Farming, membikin turis asing penasaran dengan budaya Riau.

“Dengan adanya penampilan itu, banyak wisatawan lokal dan turis asing tertarik. Itu tanda penghargaan dari berbagai pihak,” tegasnya.

Dituturkan, setiap jalur yang diturunkan ke arena dipersiapkan bersama-sama, mulai dari pembuatan perahu, latihan, hingga doa-doa adat. Nilai kebersamaan inilah yang membuat pacu jalur berbeda dari perlombaan olahraga lainnya.

Tak hanya sarat makna sosial, pacu jalur juga memiliki nilai historis yang kuat. Ia adalah saksi perjalanan panjang masyarakat Kuantan, dari masa kolonial Belanda hingga era kemerdekaan.

Kini, pacu jalur bukan sekadar agenda lokal, tetapi menjadi kebanggaan Riau di kancah nasional. Festival ini juga menjadi daya tarik utama pariwisata daerah, membawa dampak ekonomi bagi masyarakat.

Di mata Prof Suwardi, perjalanan panjang pacu jalur adalah bukti ketahanan budaya masyarakat Riau. Tradisi ini mampu bertransformasi, tetap bertahan meski zaman berubah, bahkan kini semakin digemari.

“Saya berharap tahun ini pacu jalur bisa mendapat pengakuan lebih lagi, baik dari dalam negeri maupun internasional," harapnya.***

Tags

Terkini