Perlunya penegakkan hukum
Namun, hanya berjarak 500 meter dari Puncak Bukit Suligi, sudah terlihat perambahan yang sedang berjalan. Pada awal Juni 2020, warga setempat yang ditemui saat sedang membersihkan lahan di sekitar lokasi tersebut berdalih akan menanam pohon durian.
“Di sini akan ditanami Pohon Durian Musang King, bukan kelapa sawit. Ini kan hutan lindung,” jelas AA (bukan nama sebenarnya) warga yang dijumpai di lokasi.
Riko dari Walhi Riau menyatakan, “Jika lahan milik sendiri yang diolah untuk diganti dengan pohon durian tidak masalah. Sedangkan hutan lindung yang dibersihkan itu melanggar Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2013”.
“Idealnya sebuah lahan yang akan ditanami buah seperti pohon durian tidak perlu diratakan seluruhnya dengan merambah kawasan tersebut. Tanaman buah-buahan akan tumbuh dengan baik di kawasan lindung yang rimbun, bukan di hutan yang telah gundul,” Rois menanggapi.
Korporasi pun tak ketinggalan, turut ambil bagian, merambah Kawasan Hutan Lindung Bukit Suligi. PT. PEU yang telah beroperasi selama 20 tahun di Kawasan Bukit Suligi diduga telah melakukan perambahan hutan di kawasan tersebut. Perusahaan pengolahan kelapa sawit ini selain memiliki areal usaha di Riau, juga memiliki areal perkebunan di Teluk Dalam, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara.
Pansus Monitoring Lahan DPRD Provinsi Riau menemukan sekitar 3.500 hektar kawasan Hutan Lindung Bukit Suligi telah dikelola secara ilegal dengan memakai peran masyarakat atas nama kelompok Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA).
Sesungguhnya pola KKPA seperti diatur dalam undang-undang, mengamanatkan korporasi untuk memberikan 20 persen dari luas lahan konsesinya kepada masyarakat adat untuk dikelola, dan bukan seperti dalam kasus PT PEU, malah menambah luas konsesinya dengan membeli lahan dari masyarakat di luar wilayah HGUnya.
“KKPA adalah usaha yang dibuat untuk masyarakat dimana 20% dari luas lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik perusahaan untuk dikelola dan dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh masyarakat adat. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, perusahaan membeli dari masyarakat dan itu di luar HGU,” tutur Asri Auzar, Wakil Ketua DPRD Provinsi Riau selaku Ketua Pansus penyusunan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Riau Nomor 10 Tahun 2018.
“Seluruh perusahaan yang beroperasi di Provinsi Riau bila melanggar hukum harus diadili. Kita serahkan ke pengadilan. Saat ini kasusnya sedang disidangkan di Pengadilan Negeri Bangkinang. Kita tunggu hasil sidangnya,” sambung politisi Partai Demokrat tersebut pada 9 Juni 2020.
Sejalan dengan Asri Auzar, Sugianto, anggota Komisi II yang juga terlibat dalam Pansus Monitoring Lahan DPRD Riau menjelaskan, “Banyak korporasi memiliki lahan ilegal melebihi izin HGU yang diberikan. Pembalakan liar merupakan kejahatan yang sangat luar biasa. Kami harap PPNS di Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan dapat menindak tegas hal ini bersama kepolisian”.
“Kami menemukan PT. PEU telah menambah areal perkebunan kelapa sawit dengan melaksanakan pola kemitraan di atas tanah/lahan seluas lebih kurang 2.543 hektar. Di samping itu tergugat secara nyata menduduki dan menguasai tanpa hak dan melawan hukum di luar areal konsesi yang diberikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan antara lain di atas lahan 1.880 hektar dengan cara merambah areal hutan produksi yang dapat dikonversi serta seluas 611 hektar merambah areal Hutan Lindung Bukit Suligi,” papar Suhardiman Amby, selaku Presiden Yayasan Majelis Rakyat Riau.
Terkait dugaan perambahan oleh PT. PEU di kawasan hutan lindung Bukit Suligi, Yayasan Majelis Rakyat Riau (MRR) telah mengajukan gugatan legal standing ke Pengadilan Negeri Bangkinang pada 10 Desember 2019.
MRR menuntut PT. PEU agar menebang kelapa sawit yang telah ditanam di atas areal kawasan Hutan Lindung Bukit Suligi dan mengembalikan fungsi lahan tersebut sebagai hutan lindung, serta merawat hutan tersebut selama 6 tahun berturut-turut dengan biaya yang ditanggungkan oleh tergugat tanpa syarat.
Namun legal standing tersebut ditolak oleh majelis hakim pada tanggal 18 Juni 2020, dengan alasan penggugat tidak memenuhi syarat formil untuk mengajukan legal standing. Berdasarkan pasal 92 UU 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, penggugat harus berbadan hukum paling singkat 2 tahun.
Menanggapi gugatan tersebut, PT. PEU melalui kuasa hukumnya F.M. Muslim mengatakan, “Pengelolaan lahan di Bukit Suligi, PT. PEU menggunakan pola Kredit Kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKPA) yang menguntungkan kedua belah pihak. Lahan yang dikelola sudah memiliki izin, warga juga sudah memegang sertifikat tanah/lahan”.
Setelah ditolaknya gugatan, MRR belum melakukan upaya lanjutan. “Kami belum melakukan langkah selanjutnya. Butuh waktu dan kelengkapan bukti untuk melakukan upaya lanjutan,” jelas Rusdi Nur selaku kuasa hukum MRR.
Sementara itu Asri Auzar akan melakukan koordinasi terlebih dahulu, “Akan kami rapatkan dulu dengan beberapa Komisi DPRD Riau dan instansi terkait”.
[caption id="attachment_27707" align="alignnone" width="640"]
Proses sidang gugatan legal standing Yayasan Majelis Rakyat Riau (MRR) kepada PT. Padasa Enam Utama (PEU) di Pengadilan Negeri Bangkinang, Kabupaten Kampar, Riau (11/06/2020). Sumber : Zulfa Amira zaed[/caption]