Oleh Ustadz Suhendra
KATA wālid (وَالِدٌ) mempunyai makna yang sangat berbeda dengan kata abū (أَبُوْ) meskipun keduanya sama berarti “ayah, orang tuamu.” Seperti dalam kalimat وَالِدُكَ berarti “ayahmu” dan kata أَبُوْكَ yang berarti “ayahmu, bapakmu” dan kata وَالِدَاكَ yang berarati “kedua orang tuamu” dan أَبَوَاكَ yang berarti “kedua otang tuamu.” Kalau begitu, di mana letak perbedaan makna antara kata wālid (وَالِدٌ) dan abū (أَبُوْ)…?
Kata abū (أَبُوْ) digunakan untuk menunjukkan kepada “ayah yang telah melahirkan secara hakiki, ayah yang memiliki hubungan darah dengan anaknya, memiliki hubungan nasab.” Seseorang yang disebut abū (أَبُوْ) adalah seorang laki-laki yang menjadi suami dari ibumu. Makna dari kata أَبُوْكَ adalah ayah kandungmu, suami dari ibumu.” Makna dari kata أَبُوْ عُمَرَ adalah “ayah yang melahirkan Umar, dan karenanya dia memiliki hubungan darah dengan anaknya.
Adapun makna kata wālid (وَالِدٌ) digunakan untuk menunjukkan kepada “ayah yang melahirkan secara majazi, mengasuh, membesarkan, mendidik, dan belum tentu memiliki hubungan darah atau nasab dengan anaknya.”
Baca Juga >
Kalau saya memiliki anak tiri, anak murid, mahasiswa, anak bimbingan, anak asuh, anak binaan, atau anak yang semacamnya, maka kalau dia meanggil saya dengan walidy (وَالِدِيْ) “ayahku,” itu adalah panggilan yang tepat, karena dia adalah anak asuh saya. Kalau juga saya memanggil anak itu sebagai walady (وَلَدِيْ), maka itu adalah panggilan yang tepat pula, karena dia adalah anak murid, mahasiswa saya.”
Dalam keadaan demikian, saya telah menggunakan kata yang kurang tepat apabila saya memanggilnya dengan menggunakan kata ibniy (اِبْنِيْ) untuk seorang mahasiswa saya yang laki-laki. Atau binty (بِنْتِيْ) untuk mahasiswa saya yang perempuan. Sebab, kedua kata itu menunjukkan anak yang memiliki hubungan darah dengan saya.
Kedua kata ini bisa saja digunakan secara majazi dalam pergaulan sehari-hari (informal), apabila sang anak memandang saya bagaikan ayah kandungnya, sehingga dia memnggil saya aby (أبي), dan saya memanggilnya binty (بنتي) bagaikan anak kandung saya.
Baca Juga >
Dalam keseharian, kita sering kali melihat ada orang yang hanya sebagai abū (أَبُوْ), yang menjadi suami dari seorang perempuan, dan anak dari hubungannya lalu lahir. Sesudah itu sang abū (أَبُوْ) pergi entah ke mana, tidak diktehui rimbanya. Maka abū (أَبُوْ) seperti ini tidak layak untuk disebut wālid (وَالِدٌ). Sebab, dia tidak pernah mengasuh, membina, membesarkan, dan mendidik anaknya. Dia hanya membiarkan isterinya sendirian yang mengasuh dan membina anak.
Ibu yang seperti ini sangat pantas untuk disebut Ummun (أم) karena dia mempunyai hubungan darah dengan anaknya, lalu dia menyusui, mengasuh, membina, membesarkan, dan mendidik anak itu. Demikian juga sebaliknya, ada seorang ibu yang hanya disebut ummun (أم), tidak disebut sebagai walidah (والدة), gara-gara dia melahirkan saja, tetapi tidak pernah mengasuh, membina, membesarkan, dan mendidik anaknya.
Kalau Anda ingin mendapat panggilan “ayah” sebagai abū (أَبُوْ) dan wālid (وَالِدٌ) yang sesungguhnya, maka Anda yang melahirkannya secara hakiki, kemudian mengasuh, membesarkan, mendidik, sehingga menjadi anak yang hebat. Kalau Anda ingin mendapat panggilan “ibu” sebagai ummun (أم) dan wālidah (وَالِدَةٌ) yang sesungguhnya, maka Anda yang melahirkannya secara hakiki, kemudian mengasuh, membesarkan, mendidik, sehingga menjadi anak yang hebat.
Semua orang yang memberikan pendidikan dan pengajaran, mengasuh, membina, dan melakukan kegiatan semacamnya untuk anak didiknya adalah wālid (وَالِدٌ) dan wālidah (وَالِدَةٌ) yang sesungguhnya. Dengan tugasnya itu mereka memiliki anak-anak (أولاد) yang sangat banyak sepanjang hidupnya. Mereka itulah yang akan mendoannya ketika para guru telah kembali kehadirat-Nya.
Baca Juga >
Dalam Al-Qur’an terdapat kata “Abu” dan “Walid”, dinamakan abun, karena ayah berfungsi pendidik, penjaga, pemelihara, dan yang bertanggungjawab terhadap sandang, pangan, sedang walid menjadi sebab adanya anak.
Walau tidak ada hari khusus bagi seorang ayah, ia tetap selalu di hati. Apa pun tentangnya selalu indah, dan bersamanya adalah momen yang menakjupkan.
Mudah-mudahan ayah kita (yang masih hidup) selalu diberikan kesehatan dan keberkahan, dan (yang sudah wafat) mudah-mudahan dalam maghfirahnya. Kata Ayah diserap dari bahasa Jawa Yayah (“Ayah”), dari bahasa Jawa Kuno yayah (“Ayah”), sebuah panggilan bagi orang tua kandung laki-laki.
Dan kata ayah secara etimologi dalam bahasa Hindi आया adalah bermakna pembantu (Aaya, “Pembantu”).
Dan kata ini, menjadi sebutan bagi seorang perempuan yang menjadi pembantu. Entah, makna secara bahasanya, saya belum menemukannya.
Ayah, bukan hanya seseorang yang memberikan nafaqah (nafkah) dalam keluarga. Tapi, ia adalah seorang pendidik (mengajarkan cara beribadah, berakhlak yang baik, bermasyarakat dan lainnya) dan ayah adalah seorang pemimpin dalam keluarga.
Orang tua baik ayah atau ibu posisinya sama. Keduanya sama-sama memiliki keistimewaan. Tanpa salah satu dari keduanya, tidak akan hadir seorang manusia.
Dalam Al-Qur’an terdapat kata “Abu” dan “Walid”. Kata Ab (أب) secara bahasa bermakna sebab adanya sesuatu atau memperbaiki sesuatu. Dinamakan abun, karena seorang ayah adalah orang yang berfungsi sebagai pendidik, penjaga, pemelihara, dan yang bertanggungjawab terhadap sandang, pangan dan pendidikannya.
Sedangkan walid (والد), adalah ayah langsung, yang menjadi sebab adanya anak. Kata walid lebih khusus, sedangkan aab digunakan lebih umum.
الأب في اللغة : سبب وجود الشيء أو إصلاحه، أو ظهوره، وسُمّي الأب أبًا، لأنه يقوم على إصلاح الأبناء ورعايتهم بالتربية والغذاء. أما الوالد في اللغة: الأب المُباشر، الذي هو سبب وجود الابن. فالوالد خاص، والأب عام.
Dalam Al-Qur’an, kata Aab menunjukkan pada beberapa isyarat.
Pertama menunjuk pada ayah kandung (الاب المباشر) sebagaimana dalam Surat Yusuf :
إِذْ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ
“(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya.” (QS Yusuf : 5).
Dan juga menunjuk pada kakek (jadd) dan buyut (ke atas)
مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ (الحج : ٧٨)
“(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim.” (QS Al Hajj : 78).
قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا (البقرة : ١٧٠)
“Mereka menjawab : “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS Al-Baqarah : 170).
أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمُ الْأَقْدَمُونَ (الشعراء : ٧٦).
“Kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu.” (QSAsy-Syuara : 76)
Penggunaan kata “Aab” dalam Al-Qur’an terkait dengan luasnya asal kata Aab (الاب) dan pencantumannya terhadap segala sesuatu yang menjadi penyebab keberadaan sesuatu atau riayah.
Berbeda dengan kata Walid (الوالد), yang secara khusus menunjukkan ayah biologis, yang menjadi sebab keberadaan seorang anak (ibnu). Kata “walid” dalam beberapa ayah menggunakan mustanna (bermakna dua). Hal ini, menunjukkan bahwa walidah (ibu)lah yang melahirkan.
لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللـه وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا (البقرة : ٨٣)
“Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa.” (QS Al-Baqarah : 83).
Jadi ayah bukan hanya seorang walid, tapi ia juga harus menjadi seorang Abi. Tidak hanya menjadi sebab lahirnya anak, tetapi tugas berikutnya adalah menjaga, mendidik dan tentunya mencari nafkahnya.
Semoga kita dapat menjadi abū (أَبُوْ) dan wālid (وَالِدٌ) yang sesungguhnya dan ummun (أم) dan wālidah (وَالِدَةٌ) yang sesungguhnya.
Wallaahu a’lam…
Penulis: Ustadz Suhendra: Ketua Dewan Masjid Indonesia Pekanbaru

