
Zulfa Amira Zaed & Jon Afrizal/ Jambi
Setelah mendapatkan sertifikasi dan dana hibah dari RSPO sejak tahun 2021 lalu, KUD Karya Mandiri telah menerapkan transparansi dalam pengelolaan dana hibah dari RSPO. Koperasi yang berada di Desa Tri Mulya Jaya, Kecamatan Sungai Gelam, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi ini telah mengelola dana hibah dari RSPO sebesar Rp 1,8 miliar pada satu tahun terakhir ini.
“Transparansi ini sesuai dengan standar yang ditentukan oleh RSPO,” kata Ketua Internal Control System (ICS) KUD Karya Mandiri, Rizal Ansori, di pekan ketiga Oktober 2022.
Menurutnya, sebanyak 30 persen dari total dana hibah itu diberikan langsung kepada seluruh petani anggota. Total anggota yang tersertifikasi adalah 275 orang yang tergabung dalam 14 kelompok tani dengan total luasan lahan 625 hektare.
Uang yang diberikan langsung kepada petani itu dialokasikan ke rekening masing-masing petani. Sedangkan 70 persen lainnya digunakan untuk menerapkan standar pengelolaan kebun sawit.
Uang hibah itu digunakan untuk monitoring, pengadaan alat, keamanan terhadap kebakaran, apd serta pelatihan-pelatihan yang sebelumnya tidak dirasakan oleh petani. Itu juga termasuk BPJS ketenagakerjaan.
“Banyak manfaat yang dirasakan dari sertifikasi ini,” katanya.
KUD Karya Mandiri menjadi anggota RSPO pada tanggal 8 Maret 2021, dengan nomor anggota 1-0314-21-000-00. Total produksi KUD ini adalah 13.400 ton tandan buah segar (TBS).
Proses audit eksternal sertifikasi RSPO telah dilakukan pada bulan Agustus hingga November 2021 lalu. Berdasarkan audit pertama itulah dana hibah itu didapatkan.
Sementara pada tahun 2022 ini, audit eksternal dilakukan pada bulan Agustus hingga September oleh tim auditor PT Mutu Agung Lestari. Namun, tim auditor menyatakan adanya temuan pelanggaran secara internal.
Dikarenakan telah mengikuti standar, ICS pun menolak hasil temuan tim auditor dengan cara melakukan banding ke RSPO. Hasilnya, pihak petani menang, dan dana hibah untuk tahun 2022 ini tetap akan diberikan oleh RSPO.
“Ini membuktikan bahwa petani memahami tentang standarisasi dari RSPO,” kata pendamping dari Alam Hijau Indonesia (AHI), Umi Syamsiatun.
Pada audit kedua ini, pihak ICS mengaku belum menjual kredit sertifikasi RSPO mereka. Sebab, menurut Rizal Ansori, “Menunggu harga cocok.”
Para petani menjual TBS kepada pabrik milik PT Bahari Gembira Ria (BGR) yang berada di kecamatan yang sama.
Beberapa tahun sebelum mendapat sertifikasi RSPO pertama di tahun 2021, para petani mandiri ini pun telah mengajukan untuk disertifikasi. Tetapi, kata Rizal Ansori, sewaktu itu mereka belum memahami jalur pengajuan. Sehingga sertifikasi dari RSPO pun tidak didapat.

Kepala Desa Tri Mulya Jaya, M Nur Yasin mengatakan sertifikasi ini bermanfaat bagi petani. Hal-hal tentang pengelolaan kebun yang baik, yang sebelumnya tidak diketahui, kini dapat dipelajari bersama.
“Tentunya berpengaruh juga terhadap produksi TBS,” kata mantan sekretaris KUD Karya Mandiri ini.
M Nur Yasin mengatakan mereka membutuhkan waktu hampir satu tahun untuk mempersiapkan diri mendaftar ke RSPO. Sehingga, peran dari pendamping sendiri sangat dibutuhkan.
Saat ini, katanya, pihaknya telah dapat membeli mini pick up secara tunai untuk kebutuhan terhadap angkutan. Ini meminimalisir pengeluaran untuk menyewa kendaraan roda empat.
Maklum, jarak tempuh dari desa mereka ke Kota Jambi berkisar dua jam perjalanan darat. Dengan kendaraan milik koperasi, para petani swadaya ini dapat membeli langsung berbagai kebutuhan koperasi secara cepat.
Kini, pengelolaan kebun tidak lagi sepenuhnya bertumpu dengan pupuk non organik. Berkat pembelajaran dan pelatihan, petani pun mulai membuat pupuk organik cair.
Seorang petani, yang biasa disapa Mbah Bejo, telah membuat pupuk organik cair yang berasal dari campuran kotoran sapi, pelepah sawit, dan berbagai bahan organik lainnya. Ia telah membuat sendiri kolam pupuk organik cair itu sejak satu tahun lamanya.
Kini, tidak hanya Mbah Bejo saja yang melakukan itu. Tetapi juga tujuh petani lainnya.
“Kami saling belajar dan berbagi ilmu,” katanya.
Hasil yang didapat dari pupuk organik cair itu adalah produksi yang lebih baik dari sebelumnya. Buah yang sesuai dengan keinginan petani dan memenuhi standar pabrik.
Terkait harga jual, petani menjual TBS dengan harga yang sesuai dengan ketentuan Dinas Perkebunan, saat ini yakni Rp 4.000 per kilogram.
Desa Tri Mulya Jaya memiliki 525 kepala keluarga (KK) dengan 2.862 jiwa. Hampir 80 persen kepala keluarga adalah petani sawit.
Tetapi, selalu ada cerita sedih di balik setiap kesuksesan. Sewaktu kali pertama para petani mendapatkan sertifikasi RSPO, adalah masa pandemi dimana banyak orang tidak dapat memanfaatkan waktu secara offline.
Tingginya waktu untuk bertatap muka online, membuka “peluang” pencurian terhadap TBS milik petani. Buah segar langsung dipanen oleh pencuri.
Seorang pencuri berhasil ditangkap, dan dilakukan pemeriksaan oleh tim ICS. Pencuri itu mengakui kesalahannya, dan ICS menetapkan denda sebesar Rp 2 juta, sesuai dengan jumlah TBS yang dicuri, dan sesuai dengan harga TBS saat itu, Rp 3.000 per kilogram.
Lain petani lain pula ceritanya. Tetapi, tetap selalu ada pembelajaran yang dapat dipetik sama ranumnya seperti memetik TBS yang berwarna merah kehitaman antara empat hingga enam ton per 4 hektare per satu kali panen.
Dengan panen yang berkisar antara dua hingga tiga kali panen per bulan, adalah wajar jika Desa Tri Mulya Jaya mentargetkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar Rp 15 juta, dan APBDes sebesar Rp 1,3 miliar per tahun.
Setidaknya, jumlah uang yang didapat petani dari kebun sawit mereka, berbanding lurus dengan berbagai pajak yang harus mereka dibayarkan untuk negara.*
* Liputan ini didukung oleh Mongabay Indonesia & Kaum Telapak

