oleh Yadi Ismail
SUNGAI Siak, sudah ternama sejak lama, terus disebut-sebut. Kata Edi Ruslan P Amanriza (alm), panjangnya mencapai tiga tahun burung terbang, membelah wilayah Riau untuk membuktikan keperkasaannya sebagai sungai terdalam.Sungai dengan fenomena pasang surut setiap 6 jam sekali ini, adalah nadi tidak pernah mengeluh walau apapun yang diperbuat padanya. Dengan dingin, sungai ini tetap memberi kehidupan, memberi berkah bagi semua orang, menerima sakit dan senang dengan tenang.
Dahulu, kedalamannya mencapai 30 meter, namun akibat pendangkalan kini tinggal sekitar 18 meter, tapi tetap dapat dilalui oleh kapal-kapal besar seperti kapal tanker dan kapal peti kemas.
Sehiliran sungai ini terdapat banyak pabrik di antaranya pabrik kelapa sawit, pabrik pengolahan kayu dan juga pabrik kertas. Beberapa jembatan besar dibangun untuk melintasi sungai ini, di antaranya Jembatan Siak I, Jembatan Siak II, Jembatan Siak III, dan Jembatan Siak IV yang sejak tahun 2011 dan pada tahun 2019 telah diresmikan.
Jembatan Siak I, dikenal juga dengan sebutan Jembatan Leighton yang diambil dari nama perusahaan yang membangun jembatan tersebut, yaitu PT. Leighton Indonesia Construction Company (Wikipedia).
Kondisi sekeliling Sungai Siak, bisa saja berubah. Dipercantik sekian rupa hingga menuai decak. Lihat jugalah yang melintas, dari yang ukuran sedang hingga kapal jumbo merangsek maju siang dan malam, seolah ingin menggambarkan betapa berharganya mereka, membawa batu bara, peti kemas, bahkan bahan bakar minyak dan lain sebagainya.
Kota yang dibelah dan disambungkan dengan ikon-ikon tersebut, berikut kepentingan dengan kapal-kapal besar, ternyata tak diiringi dengan komitmen menjaga serta melestarikan Sungai Siak. Keadaanya makin buruk, pencemaran serta serakan sampah nyaris tak ada yang perduli. Hebatnya lagi, masyarakat yang tinggal di daerah aliran sungai, juga punya sikap yang sama. Alasannya, apalah daya kami?
Jadilah Sungai Siak semakin menurun. Airnya, tak dapat lagi dikonsumsi, tapi masih memungkinkan untuk keperluan mencuci atau kegiatan sejenisnya. Ikan yang dulu menjadi andalan nelayan, perlahan menghilang. Ikan juaro, pernah menjadi salai dalam jumlah besar dan dikirim kemana-mana, lesap tak tahu rimbanya. Demikian pula dengan yang lain.
Adakah yang bimbang? Ada. Tapi yang bimbang hanya kalangan kecil, gusar sebatas mulut, kuasa sebiji beras. Dimasak hilang dalam larut, tak dimasak hilang dalam samar. Apa jadinya kau, Sungai Siak!
Harapan kita tentu saja tertumpu pada kemauan pemerintah untuk menyelesaikannya. Tidak mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin. Sungai Siak harus diselamatkan segera, karena hanya 'dia' yang bisa bercerita pada generasi-generasi nanti.
Penegakan hukum juga harus jelas dan nyata. Sehingga ada yang bisa menegur atau bertindak dalam artian luas. Sasarannya jangan hanya masyarakat kecil, tetapi disertakan pula para pengusaha yang berada di sepanjang pinggirannya.
Banyak kusut yang harus diurai, panjangnya mungkin lebih lama dari tiga tahun burung terbang, tapi jauh lebih baik memulai daripada kita membiarkannya terus menangis dalam diam.***