Pesan Siak Untuk Indonesia

Rabu, 18 Juni 2025 | 08:51:34 WIB

Oleh Chaidir

INI sebuah catatan dibuang sayang. Ada hikmah alias kebaikan tercecer di balik edisi pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Siak tertunda. Begitulah cara bijak para tetua kita menyikapi sebuah keadaan yang berada di luar jangkauannya. Kebaikan yang tercecer itu, boleh jadi secara kebetulan ditemukan atau disadari, tapi tak ditemukan pun tak mengapa, karena kebaikan itu akan tetap berada di sana memberi makna.

Dan hikmah itulah yang terpancar dari pelantikan tertunda Dr. Afni Z Bupati Siak bersama pasangannya Wakil Bupati Syamsurizal, pada hari Rabu 4 Juni 2025 beberapa pekan lalu di Siak Sri Indrapura, Ibu Kota Kabupaten Siak, Negeri Istana. Dr. Afni Z adalah bupati perempuan pertama di Siak dan bupati termuda di Riau saat ini. Saya beruntung pagi itu berada di Gedung Panglima Ghimbam, merasakan langsung gelora pelantikan sangat meriah menyala.

Pelantikan ini serasa festival, begitu komentar warga. Banyak yang menangis haru. Pelantikan Dr Afni Z membawa angin segar. Seorang akademisi memimpin Negeri Istana lima tahun ke depan. Gedung Panglima Ghimbam DPRD Kabupaten Siak menjadi saksi bisu tak mampu menampung ribuan warga Siak dan para santri dari pondok pesantren yang ada di Kabupaten Siak; semua hadir menyesaki Gedung, di dalam dan di tenda di luar gedung. Masyarakat Siak diselimuti antusiasme yang tinggi menyambut pelantikan bupati dan wakil bupati mereka. 

Pelantikan Bupati-Wakil Bupati Siak di Gedung Panglima Ghimbam di seberang jembatan megah, Jembatan Tengku Agung Sultanah Latifah yang menghubungkan dua tepi Sungai Jantan di jantung kota Siak Sri Indrapura, seakan menandai betapa pentingnya peran pemimpin dalam menjembatani berbagai persoalan di daerah. Lihatlah, Bupati Siak Dr Afni percaya diri tanpa rasa takut langsung berada di lapangan meredam konflik seperti api dalam sekam antara warga dengan PT Surya Subur Lestari (SSL) di Siak.

Pelantikan bupati dan wakil bupati di daerah memberi kesempatan kepada masyarakat mendengar langsung komitmen kepala daerah dan Pakta Integritas yang dibaca oleh Bupati dan Wakil Bupati, bahwa mereka akan menjalankan pemerintahan yang bersih dan tidak akan korupsi. Dr Afni menegaskan ia dan wakilnya hadir bukan sebagai simbol kekuasaan, tapi sebagai pelayan rakyat. Ia menyatakan siap membuka ruang dialog dan partisipasi, serta memastikan pemerintahan yang dijalankannya bertumpu pada prinsip keadilan dan kejujuran guna mewujudkan visi “Terwujudnya Siak Hebat, Bermartabat, Berkarakter Budaya Melayu, dan Berdaya Saing Berbasis Ekologi.”

Nuansa pelantikan di Siak memang terasa sangat beda dengan  pelantikan serentak kepala daerah di  Istana Negara Jakarta pada Kamis, 20 Februari 2025, ketika Presiden Prabowo Subianto melantik 961 kepala daerah dari seluruh Indonesia, terdiri dari 33 gubernur, 33 wakil gubernur, 363 bupati, 362 wakil bupati, 85 walikota, 85 wakil walikota dari 481 daerah. Presiden pasti bangga bisa melantik pasangan kepala daerah terpilih secara serentak untuk pertama kalinya dalam sejarah demokrasi di negeri ini. Dan pasangan kepala daerah pun pasti bangga dilantik Presiden di halaman Istana. 

Namun disadari atau tidak, Istana Kepresidenan berada dalam jarak geografis yang jauh dari rakyat di daerah sebagai pemilik sah negeri dan pemilik demokrasi yang membuat pasangan-pasangan kepala daerah tersebut terpilih secara demokratis. Rakyat yang bergembira dalam pesta demokrasi pilkada serentak 27 November 2024, berada nun jauh di sana, sorak-sorainya nyaris tak terdengar. 

Suka atau tidak, pelantikan serentak simbolistik pasangan kepala daerah di Istana, menimbulkan nuansa sentralistik. Terasa ada jarak kekuasaan (power distance) antara rakyat dengan negara. Jarak itu seakan mengukuhkan sebuah tesis hubungan rakyat dengan negara yang diwakili pemerintah sejak dulu kala sering disebut sebagai never ending problem, masalah yang tak ada habis-habisnya. Penyebabnya sederhana, seperti sering disebut pengamat, jarak kekuasaan yang terlalu jauh antara pemerintah dan rakyat. Aspirasi rakyat sering tak terdengar, akibatnya kebijakan yang dibuat pemerintah pusat tak nyambung dengan aspirasi rakyat. Jauh panggang dari api, lain yang diminta lain yang diberi. 

Dalam paradigma kepemimpinan global modern sekarang, jarak atau gap tak hanya menyangkut jarak geografis, tapi juga menyangkut jarak emosional (harga diri, rasa  memiliki); jarak sosial (perbedaan status sosial-ekonomi-pendidikan); dan jarak kultural (multikultural adalah sebuah realitas). Dalam kondisi seperti ini diperlukan keberadaan pemimpin yang dekat dan dicintai oleh rakyatnya; pemimpin hanya ditinggikan seranting dan didulukan selangkah. Pemimpin seperti inilah yang mampu menjembatani (bridging) jarak tersebut. Bila jarak itu tidak terjembatani dengan baik, akan timbul mispersepsi dan misinterpretasi, miskomunikasi, dan pada gilirannya akan menimbulkan misunderstanding (salah paham, ketidakpuasan, dan sebagainya).

Bupati Siak Dr Afni dan Wakilnya Syamsurizal tak berkesempatan dilantik Presiden Prabowo di Istana, karena pelantikan mereka tertunda. Tapi pelantikan mereka di kampung halamannya membawa hikmah, masyarakat bahagia. Antusiasme masyarakat muncul karena mereka merasa tidak ada jarak dengan Bupati dan Wakil Bupati, mereka merasa dihargai. Karena merasa dihargai, muncul rasa memiliki (sense of belonging). Pada gilirannya, ketika rasa memiliki tumbuh di tengah masyarakat, maka akan tumbuh rasa ikut beranggung jawab (sense of responsibility). Bila rasa ikut bertanggung jawab sudah tumbuh, maka masyarakat akan bersemangat berpartisipasi memberikan kontribusi tenaga dan pikiran untuk keberhasilan dan kepentingan bersama. Siak telah mengirim pesan penting untuk Indonesia, pelantikan kepala daerah di daerah lebih kaya makna.***

(Dr. drh. H. Chaidir, MM, Penulis; Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008)

Tags

Terkini