Oleh Chaidir
ISU Perjalanan Dinas dan tiket pesawat fiktif di Riau yang viral dalam tiga bulan terakhir ini memunculkan berbagai spekulasi, mau tak mau, suka tak suka, setuju atau tidak setuju, apa boleh buat. Nasi sudah jadi bubur. Sebagian jejak digital mungkin bisa dihapus, sebagian tersimpan di awan, sebagian lainnya terekam oleh saksi-saksi bisu dinding-dinding beton Gedung Lancang Kuning DPRD Riau yang megah itu, yang tak mungkin bisa dihadirkan dan didengar kesaksiannya oleh Aparat Penegak Hukum. Sebengis apapun teknik interogasinya, saksi-saksi bisu itu pasti hening bergeming dalam kebisuan.
Tersebab isunya sudah terlanjur viral, sudah bendang ke langit, maka tak ada sesiapa yang bisa disalahkan bila isu itu kemudian menjadi topik omon-omon di kedai-kedai kopi. Semua bebas beropini karena opini itu menurut penulis terkenal Amerika Walter Lippmann, merupakan gambaran yang terbentuk dalam pikiran seseorang tentang semua permasalahan yang ada di sekitarnya. Tak ada maksud membesar-besarkan isu SPPD fiktif tersebut, karena isunya sendiri memang sudah besar karena menyangkut kerugian negara yang juga besar.
Andai dinding-dinding Gedung Lancang Kuning itu bisa bicara, tentu mereka akan lebih banyak bisa bercerita, tak perlulah APH memeriksa 400 lebih saksi. Sudah sekian banyak saksi diperiksa, bahkan seperti diberitakan antaranews.com (7/12/2024) seorang selebgram Hana Hanifah telah diperiksa selama sembilan jam oleh penyidik di Direktorat Reskrimsus Polda Riau sebagai saksi terduga penerima dana Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif di Sekretariat DPRD Riau tersebut. Aneh, apa hubungannya ya antara SPPD fiktif dan selebgram?
Seperti diberitakan berbagai media, sudah sekian banyak aset berupa harta bergerak dan tak bergerak yang nilainya mencengangkan disita di berbagai kota, sudah berkoper-koper pula dokumen diangkut. Kapolda Riau sendiri dalam acara Rilis Akhir Tahun 2024 Kepolisian Daerah Riau tanggal 31 Desember 2024 yang dihadiri oleh banyak undangan tokoh agama tokoh adat dan tokoh masyarakat, secara tegas menyebut akan segera ada ledakan terkait kasus SPPD fiktif di Sekretariat DPRD Riau. Masyarakat kini berdebar-debar menanti.
Tiba-tiba di awal tahun ini kita membaca berita, Direktur Reskrimsus Polda Riau Kombes Nasriadi dimutasikan ke Bareskrim Polri. Sebenarnya, mutasi itu agenda yang biasa saja dalam sebuah lembaga pemerintahan. Yang menimbulkan pertanyaan bagi awam, Kombes Pol Nasriadi dimutasi ketika sedang mengusut kasus SPPD fiktif Sekretariat DPRD Riau Rp 130 miliar. Kita paham, pengusutan kasus itu tentu tetap berlanjut meski ada pergantian pejabat.
Direktur Reskrimsus Polda Riau yang baru Kombes Pol Ade Kuncoro Ridwan, kelihatannya ingin menjaga momentum penyidikan dan opini publik dalam kasus SPPD fiktif tersebut. Ia langung menggelar pertemuan dengan sejumlah staf Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Riau, pada Jumat (17/1/2025) dalam rangka membahas dugaan korupsi terkait Surat Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif 2020-2021.
Dalam pertemuan tersebut sebagaimana dikutip dari rri.co.id (7/1/2025), Ade Kuncoro memberikan penekanan terhadap mereka untuk mengembalikan uang yang telah diterima kepada penyidik untuk disita. Pengembalian uang dari kerugian negara akan menjadi barang bukti dalam penanganan kasus ini. Seperti disebut Kombes Ade Kuncoro, “Saat ini barang bukti uang yang telah disita penyidik sekitar Rp7,1 milliar di luar aset bergerak maupun tidak bergerak yang sudah disita sebelumnya.” “Ada 3 cluster yang menerima aliran dana, yaitu ASN, tenaga ahli dan honorer. Jumlah berbeda-beda. Ada yang sedikit, banyak, dan ada yang lebih dari 100 juta, 300 juta,” tegasnya. Dari target 401 saksi yang diperiksa, 353 diantaranya telah diperiksa.
Andai dinding Ruang Medium DPRD Riau punya hati dan bisa bicara, tentu akan lebih banyak lagi cerita yang bisa diungkap dari pertemuan tersebut. Kerja keras APH dalam mengungkap kasus tentulah patut diberi apresiasi. Seorang Direktur Reskrimsus rela menyisihkan waktu untuk melakukan pertemuan dengan para calon TSK, apalagi dengan para honorer lapisan terbawah dalam formalitas struktur kepegawaian, tentulah dengan maksud baik sebagai ikhtiar dalam penegakan hukum.
Andai dinding Ruang Medium itu punya hati dan bisa menangis, tentulah dinding itu berurai airmata. Sebab ASN yang berpangkat rendah dan tenaga honorer pastilah tertekan dan ketakutan dengan pertemuan tersebut. Dinding itu paham, seberapa kecil pun kerugian negara pastilah itu menjadi tindak pidana. Kita baca di berbagai media, awal prosesnya, ASN yang berpangkat rendah dan honorer itu diperintah membuka rekening bank dan kartu ATM-nya dipegang oleh pemberi perintah. Wallahu a’lam bishawab. Mereka tentu tidak paham (dan mereka tunduk tak berani melawan perintah), sekarang tiba-tiba saja mereka harus mengembalikan uang kerugian negara sekaligus dan diultimatum deadline. Kasihan anak istrinya.
Fiat justitia ruat caelum – biar langit runtuh hukum memang harus ditegakkan. Paham, Wak? Tapi janganlah sampai pertemuan itu memperkuat kecurigaan umum, pedang hukum itu tajam ke bawah tumpul ke atas. Tak tersentuhkah aktor-aktor intelektualnya? Andai dinding itu punya hati dan punya mata, tak terlihat olehnya pendekar-pendekar politik dan petinggi-petinggi ASN yang sering rapat di Ruang Medium tersebut. Gerangan kemanakah mereka?
Di negeri Konoha mungkin boleh, tapi di negeri kita, penegakan hukum tebang pilih, tak boleh, Wak. Itu namanya, Summum ius summa injuria – keadilan tertinggi adalah ketidakadilan tertinggi. Airmata jatuh ke dalam.***
(Dr. drh. H. Chaidir, MM, Penulis, adalah Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008).