Dejavu Pilkada

Oleh Chaidir

USUL Pilkada kembali dilakukan oleh DPRD, laksana sebuah dejavu. Ada perasaan seperti “rasa yang pernah ada,” begitulah kira-kira. Angin kencang politik yang berpusu-pusu di akhir September 2014 lalu, rasanya masih segar dalam ingatan. Sistem pilkada langsung yang sudah dilaksanakan berdasar UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sebagai amanat reformasi, oleh DPR RI periode 2009-2014 di hari-hari terakhir masa jabatannya, diubah menjadi: pilkada dilakukan oleh DPRD.

Rapat Paripurna DPR RI pada 25 September 2014 berlangsung dramatis.  Rapat berlangsung hingga pukul 03.00 WIB dini hari pada tanggal 26 September 2014.  Melalui voting, 135 suara memilih metode pilkada tetap secara langsung dan 226 suara memilih metode pilkada oleh DPRD. Pada dini hari itu juga hasil Paripurna DPR RI berupa RUU yang telah disetujui DPR RI diserahkan kepada Presiden SBY untuk disahkan dan diundangkan.

Proses selanjutnya tak kalah dramatis. Tanggal 30 September 2014 hasil paripurna DPR RI tersebut disahkan Presiden, dan tanggal 2 Oktober 2014 resmi diundangkan dan memperoleh Nomor 22 Tahun 2014. Sesaat setelah diundangkan menjadi UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, pada tanggal 2 Oktober hari itu juga, Presiden SBY mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Dengan terbitnya PERPPU tersebut, maka UU No. 22 Tahun 2014 yang baru diundangkan beberapa menit sebelumnya, menjadi tidak berlaku lagi, diganti dengan PERPPU No. 1 Tahun 2014.

Tidak ada prosedur yang dilanggar, baik oleh DPR RI maupun oleh Presiden SBY. Argumen DPR RI cukup beralasan, pemilihan kepala daerah melalui DPRD itu demokratis. Kita menganut sistem demokrasi perwakilan. UUD 1945 menjamin, pemilihan kepala daerah yang dilakukan DPRD itu demokratis. Masalahnya, pembahasan RUU yang kemudian menjadi UU Nomor 22 Tahun 2014 itu ditolak rakyat melalui gelombang unjuk rasa di berbagai daerah dalam proses pembahasannya. Rakyat di daerah sebagai pemilik sah negeri ini menuntut hak politik mereka, rakyat berhak memilih pemimpin mereka secara langsung, dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat.

Presiden SBY ketika itu menilai terjadi instabilitas politik di tanah air. Terjadi kegentingan yang memaksa. Bila Presiden tidak mengambil langkah cepat dan tepat, situasi bisa bertambah runyam. Maka berdasarkan pertimbangan “kegentingan yang memaksa” seperti diatur UUD 1945, Presiden menerbitkan PERPPU Nomor 1 Tahun 2014 dan membatalkan UU Nomor 22 Tahun 2014  Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

Rakyat bersorak sorai menyambut PERPPU yang diterbitkan Presiden SBY. Dan DPR RI yang baru (periode 2014-2019) dalam masa sidang pertama sejak terbitnya PERPPU, menyetujui PERPPU ditetapkan menjadi UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Dengan demikian sah, pilkada tetap dilakukan secara langsung.

Pertanyaannya benarkah pilkada langsung itu mekanisme ideal untuk mendapatkan pemimpin atau kepala daerah yang kredibel, sesuai kebutuhan di daerah? Atau, benarkah pilkada oleh DPRD itu mekanisme ideal, lebih baik, lebih efisien dan lebih efektif  untuk menghasilkan seorang kepala daerah? Realitasnya, kedua mekanisme pilkada tersebut – langsung atau oleh DPRD – sama-sama mengandung kelebihan dan kelemahan.

Dengan pilkada langsung, proses demokratisasi semakin tumbuh berkembang di masyarakat; rakyat langsung memilih pemimpinnya; rakyat dididik untuk berpolitik secara lebih bertanggung jawab. Prakteknya, proses rekrutmen dalam pilkada langsung tetap saja ditentukan oleh pengurus pusat partai politik. Uang mahar parpol memang tidak diakadkan, tapi candidacy buying masih terjadi, malu-malu kucing. Sudah menjadi rahasia umum proses seleksi kandidat tersandera praktik politik transaksional; money politic merajalela.

Pilkada oleh DPRD memang lebih simpel. Permasalahan akan lebih mudah dilokalisir, praktik money politic akan lebih sulit. Namun peran parpol dalam rekrutmen calon sama saja, bahkan akan semakin besar dalam mekanisme pilkada oleh DPRD. Posisi kepala daerah secara psikologis akan selalu berada di bawah bayang-bayang tekanan DPRD, kepala daerah akan merasa berhutang budi kepada pemberi suara di DPRD, bukan kepada rakyat.

Perilaku sosial politik masyarakat kita sudah banyak berubah akibat dosis tinggi “racun” pilkada langsung. Dan perubahan itu permanen. Dengan demikian cara masa lalu untuk menyelesaikan masalah masa kini, adalah sebuah logika basi, atau apa yang disebut oleh pakar manajemen dunia Peter Drucker sebagai yesterday logic. Setiap organisasi dan setiap orang harus secara terus menerus mencari cara mengatasi ancaman keusangan (obselete) yang tak terelakkan. Yang diperlukan adalah peraturan atau aturan main yang ekstra ketat terhadap pilkada (langsung atau oleh DPRD). Aturan main tersebut harus limitatif (jelas, tegas, mudah dipahami), tidak konotatif yang bisa mmenimbulkan interpretasi macam-macam.

Uji terakhir sistem demokrasi, adalah memberikan manfaat berupa peningkatan kesejahteraan dan keadilan pada rakyat.  Demokrasi yang disfungsional atau tidak berjalan dengan baik, pasti tidak memberikan manfaat bagi rakyat, justru sering diikuti timbulnya delegitimasi atau hilangnya kepercayaan rakyat terhadap sistem itu.

Kita tentu tidak perlu terburu-buru memvonis pilkada langsung tidak efektif, atau pilkada oleh DPRD lebih efektif. Perjuangan menegakkan demokrasi yang berkualitas butuh proses pendidikan politik. Tak perlu merubuhkan lumbung padi hanya karena ulah segelintir tikus.  Usulan pilkada kembali dilakukan DPRD perlu dikaji secara mendalam. Kalau rakyat sudah letih berunjukrasa, tidak mampu seperti pada 2014 sepuluh tahun lalu. Mungkin sekarang netizen Indonesia yang terkenal galak perlu bertindak.***

(Dr. drh. H. Chaidir, MM, Penulis, adalah Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008).

 

gambar