Kamboja Dalam Pusaran Konflik di Laut China Selatan

Oleh
Hasrul Sani Siregar, MA
Alumni Ekonomi-Politik Internasional IKMAS, UKM, Malaysia

POSISI Kamboja tidak menjadi bagian dalam konflik di Laut China Selatan, namun Kamboja memiliki kepentingan terhadap situasi dan keamanan di Laut China Selatan (LCS). Ada 6 negara yang secara langsung mengklaim untuk sebagian dan seluruhnya di gugusan Laut China Selatan. Ke enam negara tersebut yaitu China, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunai Darussalam serta Taiwan. Diantara negara-negara tersebut yang sempat terjadi konflik terbuka adalah antara China dan Vietnam serta antara China dan Filipina.

Perang terbuka antara Vietnam dan China pernah terjadi pada tahun 1976, saat itu militer Cina menduduki dan merampas Kepulauan Paracel dari Vietnam dan pada tahun 1988 angkatan laut Cina dan Vietnam bentrok di Gugus Karang Johnson di Kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan yang dipersengketakan yang  menyebabkan tenggelamnya sejumlah kapal Vietnam dan menewaskan lebih kurang 70 pelaut Vietnam. Oleh Vietnam kejadian tersebut merupakan peristiwa yang sangat menyakitkan dalam hal perebutan Kepulauan Spratly dan Paracel di Laut China Selatan.

Filipina beberapa waktu yang lalu memprotes setelah dua kapal Angkatan Laut China memerintahkan kapal eksplorasi minyak Filipina meninggalkan perairan dekat Kepulauan Spratly yang masih dipersengketakan oleh kedua negara tersebut. Pada tahun 2013, Filipina mengajukan keberatan atas klaim dan aktivitas China di LCS kepada Mahkamah Arbitrase UNCLOS di Den Haag, Belanda Mahkamah Arbitrase UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) Perserikatan Bangsa-bangsa menyatakan China tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim wilayah perairan di LCS, namun pemerintah China tidak menerima keputusan arbitrase tersebut.

Sebagai suatu wahana utama dalam mewujudkan tujuan ASEAN yaitu menciptakan stabilitas dan keamanan regional khususnya di Laut China Selatan, Forum ASEAN Regional Forum (ARF) ini memiliki dua tujuan utama diantaranya; pertama, mengembangkan dialog dan konsultasi konstruktif mengenai isu-isu politik dan keamanan yang menjadi kepentingan dan perhatian bersama negara-negara yang tergabung dalam ARF tersebut. Kedua; memberikan konstribusi positif dalam berbagai upaya untuk mewujudkan dan membangun rasa saling percaya (confidence building), diplomasi pencegahan (preventive diplomacy) dan resolusi konflik (conflict resolution) di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Jika kedua tujuan utama forum ARF tersebut dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, isu-isu yang menyangkut tentang pengakuan di kawasan LCS dapat diselesaikan dengan cara-cara yang damai dan penyelesaiannya melalui meja perundingan

Keterlibatan ASEAN sebagai forum regional di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik dalam masalah konflik di Laut China Selatan adalah sebagai upaya membangun stabilitas di kawasan yang berkonflik. Dalam Forum Regional ASEAN, selain negara-negara yang tergabung dalam ASEAN, juga melibatkan Mitra Wicara ASEAN seperti Rusia, Amerika Serikat, China, Korea Selatan, Jepang dan Uni Eropa. Konflik di Laut China Selatan yang melibatkan negara-negara anggota ASEAN dengan China tentunya menjadikan Forum Regional ASEAN sangat penting dalam upaya menyelesaikannya melalui meja perundingan. Indonesia yang secara langsung tidak terlibat dalam konflik di Laut China Selatan berperan dalam upaya perdamaian di Laut China Selatan ada beberapa peran yang dimainkan oleh Indonesia dalam perdamaian yaitu pertama; diplomasi multilateral melalui ASEAN, kedua; pendekatan politik netral, ketiga; pengawasan dan keamanan maritim dan keempat; pedoman tata perilaku (code of conduct) yang mengikat secara hukum guna menghindari konflik antar negara yang saling bersengketa di wilayah tersebut.

ASEAN Regional Forum (ARF) merupakan suatu forum yang dibentuk oleh negara-negara anggota ASEAN pada 25 Juli 1994 di Bangkok, Thailand sebagai suatu wahana bagi dialog dan konsultasi mengenai hal-hal yang terkait dengan politik dan keamanan di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik serta membahas dan menyamakan pandangan antara negara-negara peserta forum regional ASEAN sebagai upaya memperkecil ancaman terhadap stabilitas dan keamanan kawasan. Forum ini merupakan konsep keamanan menyeluruh yang tidak hanya mencakup aspek-aspek militer dan isu keamanan, juga menyangkut aspek politik, ekonomi dan sosial-budaya.

Semenjak berdiri pada 25 Juli 1994, forum regional ASEAN telah mengalami suatu proses pembentukan forum kesepakatan yang salah satunya bertujuan dalam hal pengembangan diplomasi pencegahan, pendekatan untuk pencegahan konflik serta peningkatan kepercayaan antar negara yang tergabung dalam forum ARF tersebut. Dalam forum ARF ke-17 di Hanoi, Vietnam pada 23 Juli 2010, isu masalah sengketa di Laut China Selatan menjadi isu utama dan menimbulkan perdebatan yang panjang.

China yang merasa memiliki kepentingan terhadap isu Laut China Selatan akhirnya juga sepakat untuk terus mengadakan dialog dan mencegah konflik terbuka sesama negara yang mengakui sebagian atau seluruhnya. Amerika Serikat yang juga tergabung dalam forum ARF juga merasa berkepentingan dengan menyebut memiliki kepentingan nasional dalam kebebasan navigasi, akses terbuka terhadap kepentingan bersama serta tetap menghormati hukum internasional khususnya di kawasan Laut China Selatan. Pada akhirnya, negara-negara peserta forum ARF sepakat untuk menyerukan agar dilakukan pendekatan multi-lateral terhadap isu-isu yang menyangkut tentang Kepulauan Spratly, Paracel dan Pratas di Gugusan Laut China Selatan yang sebagian atau seluruhnya diklaim (dimiliki) oleh para peserta forum ARF seperti Malaysia, Vietnam, Brunei Darussalam, Filipina, China dan Taiwan.

 

 

 

gambar