Memilih Pemimpin Pahlawan

Oleh Chaidir
(Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008)

FILSUF Skotlandia abad ke-19, Thomas Carlyle, menulis, “pelajarilah sejarah agar kita tak tergelincir di masa depan”. Pesannya mudah dipahami. Kita jangan terperangkap dalam pesona romantisme kegelimangan masa silam, secemerlang apapun. Karena kita hidup tidak untuk masa silam, tapi untuk masa kini dan masa depan seberapa pahit pun realita yang harus dihadapi. Dengan mempelajari sejarah kita bisa paham tidak terperosok pada lubang yang sama.

Sejarah sebuah bangsa tersimpan dalam bilik tua, nyenyak dalam tidurnya yang abadi. Dari bilik sejarah itulah kita membaca lembaran demi lembaran masa silam, ada yang baik dan ada yang buruk. Lembaran-lembaran itu hanya bisa dibaca, tak bisa diubah. Dalam era digital kekinian, kita menyebut lembaran-lembaran sejarah itu sebagai jejak digital yang tersimpan di awan.

Relevan dengan nasihat Carlyle tersebut, kearifan lokal menyebut:

yang beriak bawalah berenang
yang berlubuk bawalah berkayuh
yang baik bawalah pulang
yang buruk buang jauh-jauh.

Dalam renungan seperti itulah kita memaknai Hari Pahlawan setiap 10 November. Surabaya adalah saksi sejarah peristiwa heroik Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945. Pertempuran itu terjadi antara milisi dan putra-putra Surabaya pejuang kemerdekaan dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia melawan penjajah Belanda dan sekutunya yang masih tetap ingin menjajah. Pertempuran itu menelan puluhan ribu korban jiwa dari pihak milisi dan tak kurang dari 1500 tentara sekutu termasuk tewasnya seorang jenderal Belanda, Brigadir Jenderal Mallaby. Dari sejarah perjuangan kepemerdekaan, Pertempuran Surabaya memunculkan beberapa tokoh muda, salah seorang yang fenomenal adalah Bung Tomo seorang pemimpin perjuangan yang melalui corong radio, berapi-api mengobarkan semangat juang rakyat Surabaya.

Kota Surabaya hancur lebur dan dalam beberapa hari. Tentara sekutu dengan peralatan tempur yang lebih canggih pada masanya termasuk kapal perang, pesawat-pesawat tempur, dan tank, berhasil menguasai sebagian besar Kota Surabaya. Tetapi pertempuran Surabaya telah membuka mata dunia (bahkan juga membuka mata sekutu, Belanda dan Inggeris) bahwa Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang dikumandangkan Proklamator Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 di Jakarta beberapa sebelumnya, tidak main-main. Rakyat Indonesia siap bertempur membela kemerdekaan sampai tetesan darah penghabisan. Api revolusi menyala di seluruh nusantara, semboyannya: merdeka atau mati!

Nilai-nilai kepahlawanan merdeka atau mati, semangat rela berkorban jiwa raga tanpa pamrih, semangat rasa cinta tanah air, semangat nasionalisme dan patriotisme yang tinggi, semangat bela negara, mengkristal dari Pertempuran Surabaya 10 November 1945. Semangat itulah yang kita renungi sampai sekarang setiap memperingati Hari Pahlawan. Kita mendambakan lahirnya banyak pahlawan dari rahim ibu pertiwi kita.

Namun kita juga menyadari musim berubah tahun berganti. Jangankan pahlawan yang bertempur di Surabaya itu, generasi baby boomer yang lahir pasca perang kemerdekaan 10 November itu pun, sudah memasuki usia senja. Penerusnya generasi X, umumnya sudah memasuki usia pensiun. Generasi milenial atau generasi Y adalah generasi yang sedang berada di era peralihan teknologi, selanjutnya Generasi Z dikenal sebagai generasi digital (1997-2012). Dan Generasi Alpha, generasi yang lahir pada tahun 2010–2024, merupakan generasi pertama yang lahir sepenuhnya pada abad ke-21. Generasi ini juga dikenal sebagai screenager karena keterikatannya dengan teknologi.

Maknanya, masihkah semangat pahlawan 10 November 1945 itu membara. Musuh kita sekarang sudah berubah, tak lagi tentara penjajah. Kita menghadapi ultimatum zaman yang berbeda dengan ultimatum Mayor Jenderal Robert Mansergh pada tanggal 9 November 1945 yang menuntut pemimpin dan milisi pejuang kemerdekaan Indonesia di Surabaya menyerah tanpa syarat pada 10 November 1945, yang tidak patuh ditembak mati. Ultimatum ini membuat rakyat Surabaya marah dan berujung pertempuran dahsyat.

Ultimatum yang kita hadapi sekarang, beda.  Kita berhadapan dengan musuh yang tak terlihat, yakni perubahan dahsyat global dalam era digital yang meronrong logika akal sehat kita. Ibaratnya, kita sedang berlayar di tengah badai. Tak mungkin badai kita lawan dengan bambu runcing. Mengubah arah badai pun kita tidak bisa. Yang paling mungkin kita lakukan adalah mengendalikan kemudi kapal dan beradaptasi. Kita pelajari sejarah dengan akal budi norma etika moral agar kita tak tergelincir, apalagi menghadapi pilkada serentak tahun ini. Kita tidak sekadar memilih gubernur atau bupati atau walikota, tapi kita memilih seorang pemimpin, seorang pahlawan yang memiliki semangat kepahlawanan menyala dalam dirinya: rela berkorban tanpa pamrih. Selamat memperingati Hari Pahlawan. Merdeka!***

gambar