Oleh Chaidir
LUPAKAN sejenak kotroversi ijazah palsu, uang palsu, janji palsu, cinta palsu, ustadz palsu (seperti film Bidaah, yang katanya diangkat dari kisah nyata itu, semoga bukan kisah nyata); lupakan juga sejenak kasus-kasus megakorupsi, pagar laut, SPPD fiktif, dan sebagainya yang makin lama makin kabur tak lagi jelas ujung pangkalnya. Biarlah. Kata teman dari Yogya, ‘Gusti mboten sare’ (Tuhan tidak tidur). Manusia-manusia ‘muna’ akan mendapatkan hukuman, cepat atau lambat.Untuk warga Kota pekanbaru, mari sejenak kita beralih ke Sungai Siak yang membelah kota. Bila diibaratkan sebuah persahabatan, maka persahabatan Sungai Siak – Kota Pekanbaru tak akan terpisahkan sampai akhir zaman. Dalam bahasa gaulnya, mereka menjadi ‘bestie’ seumur hidup. Benih-benih persahabatan itu bersemi ketika manusia mulai merasakan manfaat dan ketergantungannya terhadap Sungai Siak, bermula entah sejak kapan, tak ada catatan.
- Baca Juga Taktik Jemput Bola
Manusia zaman batu yang pada awalnya hidup berpindah-pindah, kemudian menetap di tepi Sungai Siak. Sebagai makhluk sosial, manusia nomaden ini membangun kehidupan dan mereka membutuhkan Sungai Siak sebagai air sumber kehidupan. Dari waktu ke waktu seiring perubahan dan perkembangan masyarakat, Sungai Siak difungsikan pula sebagai prasarana transportasi, dan penopang kehidupan sosial ekonomi.
Namun apa hendak dikata, peningkatan jumlah penduduk yang bermukim di tepi Sungai Siak, khususnya di ruas sungai yang membelah Kota Pekanbaru, dan perkembangan pesat industri di sekitar kota, telah mencederai Sungai Siak secara sepihak dengan menjadikan Sungai Siak sebagai tempat pembuangan sampah, dijadikan WC, dan mencemari Sungai Siak dengan limbah industri. Daerah-daerah hijau di wilayah kota di tepi Sungai Siak, yang menjadi resapan air dan menjadi area genangan sungai, penahan banjir secara alamiah, dirambah oleh manusia, sehingga bila musim penghujan tiba, masyarakat yang mendiami kawasan tersebut merana terdampak banjir, dan Sungai Siak menjadi pihak yang tertuduh pembawa bencana banjir.
Padahal Sungai Siak yang membelah Kota Pekanbaru, sebenarnya bisa didandani, dipermolek, didekorasi menjadi ikon Kota Pekanbaru. Pekanbaru beruntung dibelah sungai besar. Tidak semua kota besar dunia beruntung dibelah sungai besar. Dalam Ilmu Bumi, kita ketahui beberapa kota besar terkenal di dunia dibelah sungai besar antara lain, London (dibelah oleh Sungai Thames), Paris (dibelah oleh Sungai Seine), Praha (dibelah oleh Sungai Vltava), Shanghai (dibelah oleh Sungai Yangtze), dan Seoul (dibelah oleh Sungai Han). Di kota-kota di negara maju ini, sungai-sungai yang membelah kota dibuat cantik dan menjadi ikonik.
Di Indonesia, di samping Kota Pekanbaru yang dibelah Sungai Siak, ada Kota Samarinda yang dibelah oleh Sungai Mahakam, Kota Palembang dibelah oleh Sungai Musi, dan Kota Jambi dibelah oleh Sungai Batanghari. Beberapa kota telah menjadikan sungai sebagai ikon kota. Kota Samarinda (Kalimantan Timur), misalnya, dikenal sebagai Kota Tepian Mahakam; tepian Sungai Mahakam yang berada dalam wilayah Kota Samarinda, ditata dengan indah. Palembang (Sumatera Selatan) yang dibelah oleh Sungai Musi memiliki jembatan legendaris, Jembatan Ampera. Jembatan ini menjadi daya tarik wisatawan dan ikon Kota Palembang.
Sungai Batanghari membelah Kota Jambi. Sungai ini merupakan sungai terpanjang di Pulau Sumatra dan merupakan bagian penting dari kehidupan Kota Jambi. Sungai Batanghari memiliki jembatan yang diberi nama Jembatan Gentala Arasy. Jembatan ini melintang di atas Sungai Batanghari, menghubungkan Tepian Tanggo Rajo ke Menara Gentala Arasy, Jambi Seberang. Uniknya, Jembatan Gentala Arasy merupakan jembatan pedestarian, jembatan khusus untuk pejalan kaki di atas sungai, pertama di Indonesia, yang memiliki desain indah meliuk seperti huruf S. Jembatan Gentala Arasy kini menjadi ikon wisata Jambi. Di jembatan ini warga bisa menikmati sunset, panorama tenggelamnya matahari.
Sungai Siak, sungai terdalam di Indonesia, yang membelah Kota Pekanbaru sebenarnya memiliki potensi untuk dipercantik menjadi ikon Kota Pekanbaru. Sungai Siak dan Pekanbaru ibarat ‘bestie’ yang tak terpisahkan dalam suka dan duka. Terhadap persahabatan tersebut, pilihannya hanya ada dua: membiarkan Sungai Siak tetap kumuh, merana, atau menjadikan Sungai Siak sebagai ikon kota yang cantik, membuat tak jemu mata memandang.
Dari pemberitaan media yang terbaca, Pemerintah Kota Pekanbaru sudah memiliki kesadaran akan potensi Sungai Siak yang bisa dibentuk menjadi ikon Kota Pekanbaru. Pertama, adanya rencana Pemko Pekanbaru untuk membangun Ruang Terbuka Hijau berupa ‘Alun-alun Kota’ di tepi Sungai Siak; ruang terbuka hijau bertujuan menyediakan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan sosial masyarakat modern. Kedua, Pemko Pekanbaru berencana menjadikan tepian Sungai Siak sebagai tambahan arena Car Free Day bagi warga Kota Pekanbaru. Kedua ide ini sangat menarik, bisa membentuk perspektif baru terhadap keberadaan Sungai Siak yang ikonik.
Tak ada yang tidak mungkin. London, Paris, atau Samarinda, atau Palembang, atau Jambi, tak serta-merta selesai dalam satu hari menjadikan sungai yang membelah kota sebagai ikonik, butuh perencanaan, dedikasi, komitmen, dan butuh waktu. Ibarat pepatah, ‘Kota Roma tak dibangun dalam satu hari’. Tak ada yang instan, ‘berpikir tak sekali jadi, bekerja tak sekali sudah’. Namun dengan pendekatan sinergi dan kolaborasi ke atas ke bawah ke samping, Sungai Siak yang ikonik bagi Kota Pekanbaru bukan suatu yang mustahil untuk diwujudkan. Langkah pertama tentu perlu pembuatan masterplan atau blue print, dan kemudian disusul penyusunan road-map berupa perencanaan detil. Masyarakat yang tinggal di tepi Sungai Siak pun perlu diubah mindset-nya, dari rumah membelakangi sungai ke rumah menghadap sungai. Pemerintah Kota yang baru memiliki momentum untuk meninggalkan legacy yang akan dikenang dengan indah.
Sungai Siak yang ikonik akan mengubah irama warga Kota Pekanbaru, mencintai bestinya setelah selama ini terabaikan. Padahal sang ‘bestie’, Sungai Siak kendati dibuat merana, tetap berada di sana, meliuk-liuk mengalir ke muara singgah menyapa setiap setiap ceruk, tebing, tak pernah ingkar janji.***
(Dr. drh. H. Chaidir, MM, Penulis; Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008)