
JAKARTA, AmiraRiau.com – Apabila perluasan terhadap subjek hukum/pelaku tindak pidana politik uang dalam pemilu dapat berlaku bagi setiap orang, maka hal demikian tidak tepat. Sebab ketiadaan pembatasan ini dapat mengkriminalisasi setiap orang dan menimbulkan tindak kesewenang-wenangan. Sehingga, berkaitan dengan perluasan makna pada norma Pasal 523 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tentang larangan dalam kampanye ini menjadi kewenangan pembentuk undang-undang.
Demikian pertimbangan hukum Mahkamah yang dibacakan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat secara bergantian pada Sidang Pengucapan Putusan Nomor 59/PUU-XXII/2024 atas pengujian Pasal 523 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Terhadap permohonan Ahmad Sadzali yang berprofesi sebagai Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) beserta mahasiswa UII ini, Mahkamah berpandangan bahwa tindak pidana politik uang dalam pemilu dapat dikategorikan sebagai kejahatan yang memiliki karakteristik tersendiri. Sehingga tindak pidana khusus ini memerlukan pengaturan yang lebih komprehensif, dan bukan sekadar memuat rumusan tindak pidana saja. Melainkan memuat kekhususan dalam aspek perbuatan, perilaku, dan sanksi pidananya.
Lebih lanjut Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengungkapkan, pengaturan tindak pidana dalam politik uang dalam UU Pemilu sejatinya telah dimuat dalam beberapa norma, di antaranya Pasal 278 ayat (2), Pasal 280, Pasal 515, dan Pasal 523. Bahwa pada Pasal 278 ayat (2) dan Pasal 280 UU Pemilu menjadi norma primer, yang memuat aturan pokok mengenai bagaimana cara seseorang sebagai subjek hukum berperilaku di dalam masyarakat. Sementara Pasal 515 dan Pasal 523 UU Pemilu, memuat tata cara untuk menanggulangi atau mengatasi apabila norma hukum primer tidak terpenuhi dan mengandung sanksi bagi seseorang yang tidak memenuhi ketentuan yang terdapat dalam norma primer yang dimaksud.
Ketua MK Suhartoyo melanjutkan bahwa penambahan subjek hukum/pelaku tindak pidana yang semula tidak mencakup “setiap orang” yang bermakna siapa saja, maka hal ini akan berakibat adanya perluasan subjek hukum yang dituju dalam ketentuan norma Pasal 523 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu, yang sekaligus akan berdampak pada perluasan terhadap norma Pasal 280 ayat (1) dan Pasal 278 ayat (2) UU Pemilu. Hal tersebut, menurut Mahkamah, sama halnya memasukkan subjek hukum yang semula bukan menjadi pelaku perbuatan yang diduga melanggar tindak pidana pemilu yang berkaitan dengan kampanye, menjadi bagian dari subjek hukum/pelaku tindak pidana pemilu yang berkaitan dengan kampanye masuk dalan kategori politik pemidanaan. Dengan demkian, hal ini berkaitan dengan kewenangan dari pembentuk undang-undang.
Mahkamah dalam beberapa putusan, di antaranya Putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016 telah menegaskan, Mahkamah tidak boleh memasuki kebijakan pidana atau politik pemidanaan yang menyangkut norma pemidanaan. Selain itu sebagai bentuk implementasi dari penerapan prinsip pemisahan kekuasaan, menjadikan pengadilan harus melakukan pengendalian diri dari kecenderungan melakukan tindakan membentuk norma hukum baru utamanya saat memutus perkara pengujian undang-undang. Terkecuali Mahkamah menemukan norma undang-undang yang jelas-jelas melanggar prinsip yang terdapat dalam UUD NRI Tahun 1945.
Dengan demikian, frasa “setiap orang” yang dimaksudkan oleh para Pemohon agar dimasukkan ke dalam norma pasal 523 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu sebagai pengganti makna dan perluasan frasa “setiap pelaksana, peserta dan/atau tim kampanye pemilu” telah terkandung dalam ketentuan Pasal 269 ayat (1), pasal 270 ayat (1), ayat (2), ayat (3), serta Pasal 271 UU Pemilu. Sebab pada pasal tersebut, telah mengatur juga frasa “setiap orang” dengan menggunakan frasa “orang seorang” yang menjadi bagian dari unsur pelaksana kampanye.
Menurut Mahkamah telah ternyata norma Pasal 523 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidka bertentangan dengan jaminan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama dalam hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28J ayat (1) serta Pasal 29 ayat (1) UUD NRI 1945 tidak sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon.
“Dengan demikian, permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. … Mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan pertimbangan hukum dan amar putusan perkara ini dari Ruang Sidang Pleno MK pada Rabu (16/10/2024).***
Penulis: Sri Pujianti MK, Editor: Alseptri Ady

