Oleh Chaidir
ISU buka-tutup buka-tutup diam-diam menyita perhatian di tengah suasana gembira Hari Raya Idul Fitri tahun ini. Tak ada kaitan sanak famili dengan buka-tutup buka-tutup ruas legendaris jalur mudik Riau-Sumatera Barat. Buka-tutup buka-tutup yang bikin pimpinan parpol daerah dan bakal calon legislatif “demam”, menyangkut sistem pemilu 2024.
Mahkamah Konstitusi (MK) memang belum memutuskan perkara uji materiil atau judicial review ihwal Pasal 168 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), tapi bocoran info dari berbagai sumber, sistem pemilu untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD tahun 2024, berubah dari sistem proporsional terbuka ke proporsional tertutup.
Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu tersebut berbunyi “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.” Di sinilah pangkal masalahnya. Prof Yusril Ihza Mahendra sebagai pihak terkait dalam sidang di MK mengatakan, pergeseran hak untuk menempatkan kandidat dari partai politik kepada kuantitas suara terbanyak, jelas bertentangan dengan konsep kedaulatan rakyat yang diatur oleh Pasal 1 ayat (2), dan (3) UUD 1945.
Nah, bila MK memutuskan menerima permohonan uji materiil Pasal 168 ayat (2) tersebut, maka sistem pemilu memilih Anggota DPR dan DPRD, kembali akan menggunakan proporsional tertutup. Keputusan MK bersifat final dan mengikat.
Kita sudah berpengalaman dengan sistem buka-tutup ini. Pada pemilu pertama 1955, kita menganut proporsional terbuka, namun berikutnya di era Orde Baru (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997) kita menganut proporsional tertutup. Pada era reformasi (1999 dan 2004) juga masih menganut proporsional tertutup. Pemilu 2004, adalah pemilu peralihan (boleh nyoblos lambang partai dan nomor caleg). Pemilu berikutnya 2009, 2014, dan 2019, kita menganut sistem proporsional terbuka.
Sistem proporsional tertutup punya kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya, nomor urut calon sangat menentukan, menguntungkan sistem kaderisasi partai, parpol lebih berkuasa terhadap anggota legislatif, biaya politik lebih hemat. Politik juga akan lebih stabil, karena kader parpol dan anggota legislatif, dijaga kinerja dan etika politiknya oleh parpol.
Parpol memang menjadi pemeran utama dalam proporsional tertutup. Ini konsekuensi logis, sebab parpol dalam sistem politik kita merupakan aset bangsa, punya tanggungjawab besar dalam melakukan pendidikan politik dan kaderisasi. Maka ada adagium, tak ada demokrasi tanpa pemilu, tak ada pemilu tanpa partai politik. Kalau ada asumsi awam yang menyebut panggung politik kita dewasa ini banal karena ulah parpol, yakinlah, panggung itu akan lebih banal tanpa parpol. Bayangkan bila 200 juta penduduk dewasa semua mengaku ketua dan bisa jadi caleg.
Memang betul, kelemahan sistem proporsional tertutup, parpol lebih berkuasa terhadap anggota legislatif, sehingga bisa merugikan publik, merugikan konstituen, dan kurang komitmen terhadap dapil dan konstituen. Anggota legislatif akan lebih loyal kepada partainya. Namun kelemahan ini justru peluang bagi parpol yang cerdas memanfaatkan panggung politik untuk membela kepentingan rakyat. Parpol bisa unjuk gigi, caleg yang melempem segera bisa diganti (recall).
Masalahnya muncul pada teknis penyusunan caleg di daerah. Ada kegalauan. Dari sudut pimpinan parpol, ada kekawatiran tak optimal menyusun daftar caleg. Pengalaman proporsional tertutup di masa lalu, pimpinan parpol di daerah harus jeli menjaring dan menempatkan caleg potensial di nomor-nomor jadi sembari tetap memperhatikan keterwakilan gender dan daerah. Dari sudut bakal caleg pula, ada kekhawatiran tak mendapatkan nomor ideal yang diharapkan. Godaan serius bagi pimpinan parpol adalah menghadapi caleg mendadak dan mendadak caleg, mereka bukan kader partai (hanya simpatisan) tapi populer di mata masyarakat dan memiliki dukungan finansial.
Ini pelajaran berharga bagi parpol untuk mempersiapkan diri menjadi partai modern ke depan, dan sungguh-sungguh melaksanakan kaderisasi dengan baik. Pada sistem proporsional tertutup pertanggungjawabannya jelas. Parpol harus aktif membuat catatan kinerja anggota legislatif. Bila parpol dan anggota legislatifnya tidak mampu memberi kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan nyata sebagai tujuan akhir demokrasi, akan ditinggalkan konstituen. Pada proporsional terbuka, tanggungjawab itu ada pada caleg terpilih, parpolnya pasif. Bila kinerja anggota legislatifnya bagus, garansi akan terpilih kembali, bila kinerjanya buruk, parpol yang kena dampaknya. Ibaratnya, anggota legislatif yang makan nangka parpol kena getahnya. Jadi, mau berapa kali buka-tutup tak masalah, kuncinya ada pada parpol dan calegnya.***