Oleh Chaidir
USIA boleh muda, tapi Gubernur Riau Abdul Wahid terlihat dewasa dalam sikap ketika proaktif melakukan kunjungan silaturrahmi ke kediaman beberapa tokoh masyarakat. Istimewanya, Gubri Abdul Wahid bersilaturrahmi ke kediaman H Syamsuar, Gubernur Riau incumbent kompetitornya dalam kontestasi pilkada serentak pada 27 November 2024 lalu. Sedikit-banyak, kebekuan yang sebelumnya terasa antara ada dan tiada, kini cair sudah, laksana Sungai Rokan, Sungai Siak, Sungai Kampar dan Sungai Indragiri, empat sungai besar di Riau, yang mengalir lembut tak pernah letih menyapa setiap ceruk tebing; sungai yang senantiasa mengingatkan kita: “air dicincang putus tiada.”Sebab sebenarnya sebagai orang nomor satu di Riau saat ini, Gubernur Abdul Wahid sah-sah saja bila open house selama beberapa hari di kediaman resmi Gubernur. Terima saja kunjungan tetamu untuk bersalaman. Habis perkara. Tapi Gubernur kita Abdul Wahid yang masih muda dalam usia terlihat membenamkan egonya, tak merasa terbebani meringankan langkah mendatangi para tokoh untuk berhari raya. Momentumnya memang pas. Semangat persaudaraan Hari Raya Idul Fitri 1446 H memberi ruang dan waktu yang tepat untuk saling berjabat tangan saling memaafkan dan memulai kehidupan baru yang diselimuti rasa persaudaraan, bersama membangun Riau yang kita cintai.
- Baca Juga Taktik Jemput Bola
Andai semangat Hari Raya Idul Fitri boleh diringkas dalam satu kata, jawabannya adalah persaudaraan. Walau orang kata persaudaraan itu kini mulai luntur digerus individualisme dan materialisme, atau digerogoti kepentingan sempit politik, tak masalah. Sebab, setiap tahun sampai akhir zaman, selalu ada Idul Fitri yang membuat kita secara ikhlas saling berjabat tangan memperbaharui semangat persaudaraan dan berucap lembut: ikan patin ikan lele, maaf lahir batin le. Hai Wak, jangan terlalu serius baca kolom ini, ya..
Kalender waktu kelihatannya memang berpihak pada Gubernur Abdul Wahid dan Wakil Gubernur SF Hariyanto. Hari Raya Idul Fitri 1446 H persis pula bertepatan dengan pekan-pekan awal mereka bertugas sebagai nakhoda di Negeri Lancang Kuning ini, sehingga wajar bila minta tunjuk ajar dari para tokoh dalam suasana persaudaraan dan kekeluargaan.
Sebuah kajian bersama (nah ini serius, Bro) tentang hakikat pesaudaraan yang dilakukan oleh Anatansyah Ayomi Anandari (Universitas Pertahanan Republik Indonesia) dan Dwi Afriyanto (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) mengambil judul “Konsep Persaudaraan dan Toleransi Dalam Membangun Moderasi Beragama Pada Masyarakat Multikultural di Indonesia Perspektif KH Hasyim Asy’ari”, dimuat Jurnal Religi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Vol. 18, No. 02 (Juli-Des 2022), menarik untuk kita simak. Peneliti menawarkan konsep untuk membangun kerukunan dalam keberagaman dengan semangat persaudaraan dan toleransi.
Disebut dalam tulisan tersebut, KH Hasyim Asy’ari mengemukakan, persaudaraan dan toleransi merupakan prasyarat untuk mengembangkan sikap moderat terhadap keragaman. Jika budaya silaturahmi dapat berkembang, maka akan tercapai persaudaraan dalam konteks yang lebih luas, baik dalam konteks internal agama maupun dalam lingkup negara bangsa. Persaudaraan ini penting karena dengan adanya persaudaraan, ketidakadilan dalam masyarakat akan hilang.Toleransi adalah konsep modern untuk menggambarkan sikap saling menghormati dan kerjasama antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda, baik etnis, bahasa, budaya, politik atau agama.
Persaudaraan dalam pandangan para ahli, adalah ikatan yang erat dan bermakna, mencakup rasa kebersamaan, tanggung jawab, dan solidaritas, baik dalam konteks agama, sosial, maupun kemanusiaan (rangkuman dari berbagai sumber). Dalam perspektif Islam dikenal ukhuwah Islamiyah: persaudaraan sesama muslim; ukhuwah wathaniyah: persaudaraan sesama anak bangsa; dan ukhuwah insaniyah/basyariyah: persaudaraan sesama manusia sebagai ciptaan Allah, persaudaraan yang didasarkan pada kesadaran bahwa semua manusia adalah saudara karena berasal dari satu sumber, yaitu Adam dan Hawa. Orang Melayu punya pantun pusaka tentang pemahaman ini:
Ketuku batang ketakal
keduanya batang keladi moyang
sesuku kita seasal
senenek kita semoyang.
Dalam pandangan Barat persaudaraan berakar pada gagasan bahwa semua orang, terlepas dari latar belakang mereka, memiliki hak yang sama dan harus diperlakukan dengan adil. Pendekatannya: persamaan dan kesetaraan. Persaudaraan dianggap sebagai landasan untuk melindungi hak-hak asasi manusia, seperti kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, dan kebebasan berkumpul.
Orang Melayu percaya hubungan persaudaraan yang baik membuat hidup lebih mudah dijalani. Kerjasama mudah dijalin, salah paham dapat teratasi, bahkan konflik pun mudah diselesaikan karena setiap orang bisa mengatakan apa yang sepatutnya dikatakan. Bagi masyarakat Melayu tindakan membangun, memelihara atau memperbaiki hubungan atau komunikasi antarmanusia haruslah dimulai dari hati, ada keramahan, kehangatan, kedekatan dalam interaksi sehari-hari. Tenas Effendy menyebut, “sama sekawan bertegur sapa”.
Musuh rasa persaudaraan adalah hawa nafsu, ego manusia, arogansi, fanatisme sempit, sampai pada sikap pantang tak hebat. Sikap ini seringkali mendorong konflik, subur di kalangan orang-orang yang tak terpelajar. Namun seiring perkembangan masyarakat menjadi masyarakat pembelajar, sikap-sikap yang kontraproduktif bagi persaudaraan tersebut semakin usang.
Manusia senantiasa berubah sesuai dengan tuntutan perubahan; perubahan pola pikir, sikap, perilaku, sistem nilai, metode bekerja, dan sebagainya. Namun semangat persaudaraan, tak di Timur tak di Barat, tak pernah usang.***
(Dr. drh. H. Chaidir, MM, Penulis; Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008)