Putusnya Urat Malu

Oleh Chaidir

TAHUN politik 2024 meninggalkan catatan kelam. Rasanya sebagai sebuah bangsa yang bermartabat, urat malu kita sudah putus. Lihatlah apa yang terjadi.

Kita bukan negara monarki seperti Thailand, Jepang, atau Inggris, tapi presiden ke-7 RI ngotot bangun dinasti, bahkan undang-undang, dengan pedang kekuasaannya demikian saja diubah untuk mewujudkan ambisi itu. Dalam sebuah negara monarki modern dunia sekarang, seorang putra mahkota dipersiapkan pendidikannya dengan baik (bahkan dikuliahkan di universitas terkemuka dunia), diberi ilmu pengetahuan, diajari etika komunikasi politik dan komunikasi pemerintahan, supaya siap menggantikan bapaknya sebagai raja. Kita? Lihat dan rasakanlah sensasinya ketika urat malu telah putus. Apa kata dunia?

Lihatlah pula, negeri kita menganut paham demokrasi. Pileg, pilpres dan pilkada adalah instrumen demokrasi. Namun siapapun tahu, demokrasi kita adalah demokrasi prosedural dengan sembako, politik uang dan intimidasi konspirasi kekuasaan sebagai bumbu. Praktik kampanye sembako dan praktik jual beli suara (money politic) sudah menjadi rahasia umum. Politik konspirasi dimainkan melalui aparat untuk menakut-nakuti pemilih dan perangkat desa. Banyak yang bagi-bagi uang sebelum hari pencoblosan, tapi tak seorang pun terjaring OTT. Aneh ya Bro? APH kura-kura dalam perahu.

Lihatlah apa yang terjadi. Negara kita adalah negara hukum. Tapi kebenaran dan keadilan demikian susah ditegakkan. Ketika KPK 27 Desember 2002 di masa Presiden Megawati Soekarnoputri, korupsi itu disebut extra ordinary crime (kejahatan yang luar biasa), ancaman hukumannya berat. Tapi sekarang korupsi menjadi kejahatan yang biasa saja, bahkan semakin merajalela. Harvey Moeis dalam kasus korupsi yang merugikan negara Rp 300 triliun (itu kerugian riil, bukan potensi kerugian negara seperti disebut Prof Mahfud MD), hanya dihukum 6,5 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan uang pengganti Rp 210 miliar. Kecillah itu. Di Cina, tak usah sedahsyat itu korupsinya, koruptornya dihukum mati. Di Korea Utara koruptornya di lempar ke kolam buaya. Di negeri Konoha, cincai-cincai, habis perkara.

Katanya koruptor dimaafkan asal mengembalikan kerugian negara. Namun pernyataan Presiden Prabowo terkini, koruptor tidak dimaafkan, mereka harus bertobat dan mengembalikan kerugian negara, atau asetnya akan disita. Masalahnya, masyarakat masih ragu, sebab RUU Perampasan aset belum dibahas DPR. Dalam kondisi social distrust (ketidakpercayaan sosial) seperti sekarang, masyarakat juga meragukan political will penguasa, siapa yang menghitung kerugian negara. Jangan-jangan, kerugian negara misalnya 100, tapi dinyatakan 50 saja. Kata orang Pekanbaru, “percaya percaya, percaya betul tidak”. Berita yang paling hangat, Presiden Prabowo marah dan minta Harvey Moeis dihukum 50 tahun penjara. Tak usah ngajari itik berenang. Presiden tahu caranya. Iya kan Wak?

Selanjutnya, bacalah ini pelan-pelan. Polisi tetapkan 17 tersangka sindikat pembuatan dan pengedaran uang palsu di lingkungan UIN Makassar, Sulawesi Selatan, dan mengamankan barang bukti senilai ratusan triliun rupiah (ulangi: ratusan triliun rupiah). POLDA Sulsel menyebut Kepala Perpustakaan UIN Alauddin Makassar, berinisial AI, memiliki peran sentral dalam operasi sindikat uang palsu itu. Sindikat ini ternyata sudah beroperasi selama 14 tahun. Empatbelas tahun, Wak. Tak tercium oleh early warning system intelijen kita. Dahsyat.

Tak kalah dahsyatnya adalah maraknya judi online. Judi online di Indonesia: darurat, darurat, dan darurat. Hari-demi-hari omzet judi online semakin membumbung tinggi. Lima tahun terakhir omzet judi online menembus Rp600 triliun. Untuk tahun lalu saja, omzet judi online ini mencapai Rp327 triliun. Diperkirakan akhir tahun 2024 omzet judi online bisa menembus Rp400 triliun (Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Media Group). Sebagaimana diberitakan berbagai media, judi online ini juga melibatkan ordal di Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Sudah sekian lama, baru sekarang terbongkar? Mungkin, berbagi itu indah.

Penangkapan mantan Kepala Badan Penelitian Pengembangan Pendidikan Pelatihan Hukum dan Peradilan (Balitbang Diklat Kumdil) Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar (ZR), mengejutkan. Penggeledahan di tempat ZR menginap di Bali, Hotel Le Meridien dan rumahnya di kawasan Senayan, Jakarta Pusat ditemukan uang tunai senilai hampir Rp 1 triliun. Beberapa di antaranya merupakan berbentuk valuta asing (Valas) yakni, 74.494.427 dollar Singapura, 1.897.362 dollar Amerika Serikat, 71.200 euro, 483.320 dollar Hong Kong, dan Rp 5.725.075.000. Selain itu, penyidik juga menyita 51 kilogram emas Antam dari rumah pensiunan MA tersebut (dikutip dari Kompas.com – 29/10/2024). Ini namanya makelar kasus, Wak.

Dan masih ada beberapa kasus besar lainnya yang viral di media masa seperti kasus Fufufafa, PPN 12 persen, IKN, PIK 2, dan sebagainya yang bernuansa oligarkis, kolutif, konspiratif, dan tentu koruptif. Dan, Tahun Politik 2024 ditutup dengan penetapan Sekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto sebagai tersangka kasus suap Harun Masiku ke Komisioner KPU. Serunya, Hasto Kristiyanto bakal melakukan perlawanan. Juru Bicara PDIP Guntur Romli mengatakan, koleganya akan mengungkapkan puluhan video skandal para pejabat tinggi di Indonesia (www.tempo.co). Nah lho.

Tahun Politik 2024 agaknya bolehlah disebut sebagai tahun putusnya urat malu.  Tanpa rasa malu kita buka baju dan dengan bangga mempertontonkan kurap di dada. Tahun 2025 beda, Wak. Bersama kita pupuk rasa malu itu agar tumbuh subur. Urat malu yang putus kita buhul kembali. Bisa? Harus bisa! Karena orang baik tetap lebih banyak. Syaratnya, tegakkan kebenaran dan keadilan. Kata orang tua-tua kita, “takut karena salah berani karena benar.” Dan, berdoa semoga rahim ibu pertiwi kita melahirkan banyak orang baik-baik. Fiat justitia ruat caelum, keadilan harus ditegakkan meski langit runtuh.***

(Dr. drh. H. Chaidir, MM, Penulis, adalah Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008).

 

gambar