Sayonara Kekasih Media

Oleh Chaidir

PROBOWO bukan kekasih media atau media darling seperti SBY pada pilpres 2004 atau Jokowi pada pilpres 2014. Tapi Prabowo nyatanya menang mutlak satu putaran. Bila tidak ada aral melintang, Prabowo akan dilantik sebagai Presiden RI ke-8 pada tanggal 20 Oktober 2024 ini.

Perihal kemenangan mutlak Prabowo-Gibran sudah banyak dibahas pengamat politik. Namun kekalahan seorang kekasih media menarik untuk diselami. Bahwa Anies Baswedan adalah kekasih media pada pilpres 2024, seperti disiarkan berbagai media, sulit dibantah. Anieslah yang tampil mempesona, paling memikat hati media dan banyak diberitakan secara positif. Seorang kandidat yang berhasil merebut hati media dijuluki kekasih media. Kekasih media adalah tokoh yang kerap menjadi favorit pemberitaan media massa. Berita-beritanya bersifat positif; tentang prestasi, gagasan, dan rekam jejaknya. Media dengan senang hati meliput.

Pada pilpres 2004 silam, SBY berhasil merebut hati media, melalui penampilannya yang mempesona. SBY tampak berwibawa, parlente, gagah, cendekiawan, santun dalam berutur, orasinya tidak meledak-ledak tapi kaya substansi. Dia pun mampu berbicara dalam bahasa asing dan tidak canggung tampil di panggung politik dunia. Indonesia  membutuhkan seorang pemimpin seperti SBY. Begitulah agenda setting yang dimainkan media dalam membentuk opini. SBY mendapatkan banyak pemberitaan positif. SBY menjadi kekasih media, dan memenangkan pilpres langsung pertama pada 2004 dan periode kedua pada pilpres 2009.

Jokowi melalui karakter kepemimpinannya yang unik, memiliki nilai berita yang tinggi dan disenangi media, terpilih dalam pilpres 2014. Branding Jokowi adalah seorang pemimpin yang redah hati (humble), berasal dari rakyat jelata terutama dalam hal penampilan. Jokowi berpakaian sekenanya, kemeja putih lengan panjang digulung dan dibiarkan tidak dimasukkan. Jokowi jauh dari kesan parlente dalam penampilan. Dia tak segan-segan menggunakan sepatu kasual untuk acara-acara resmi yang lazimnya menggunakan sepatu kulit hitam mengkilat. Jokowi memikat hati media dengan blusukan keluar masuk got kesana kemari, menyapa masyarakat di perkampungan kumuh. Tak bisa dibantah, Jokowi pun menjadi kekasih media.

Bagaimana dengan pilpres 2024?  Tidak seperti kekasih media SBY dan Jokowi yang berhasil memenangkan pilpres pada masanya, Anies Baswedan gagal. Kekalahan itu memberi sinyal kuat, tak ada jaminan seorang kekasih media, sang idola media, pasti memenangkan pemilihan. Maka pertanyaannya, masihkah konsep media darling dalam pemasaran politik itu relevan?

Sebab sesungguhnya, secara teoritis, di era keperkasaan media sekarang, tak ada alasan Anies gagal memenangkan kontestasi. Bukankah ada teori agenda setting, salah satu teori efek media yang mengasumsikan bahwa media memiliki kekuatan  besar untuk membentuk pikiran orang atau publik? Media menggiring opini publik agar sama dengan apa yang dipikirkan atau dikehendaki media. Di samping itu ada pula teori framing ketika media leluasa membingkai ketokohan seorang tokoh.

Era kontestasi Anies-Prabowo-Ganjar dalam pilpres 2024, dalam perspektif peran media, agaknya beda dengan masa terpilihnya SBY dan Jokowi. Zaman berganti, musim berubah. Media punya logika sendiri, kandidat pula dengan konsep pemasaran politiknya jalan sendiri. Perbedaan ini bukan pada diskursus kualitas visi misi dan aspek kepemimpinan yang substantif, tetapi pada  pergeseran strategi kampanye. Media sibuk memberitakan produk bagus berkualitas (product oriented), kandidat fokus kampanye menuruti selera pasar (market oriented). Pemasaran politik ini sebenarnya nyontek konsep pemasaran bisnis yang paling dominan, yaitu berbasis selera pasar (market oriented). Dalam pemasaran politik, kosumennya adalah masyarakat pemilih.

Ahli perilaku konsumen, Peter dan Olson (Nursal, 2002) menyebut, interpretasi seseorang terhadap stimulus yang berasal dari lingkungannya, tidak hanya ditentukan oleh stimulus itu sendiri, tapi bergantung pada pengetahuan, pengalaman, dan keyakinan yang tertanam dalam benak orang yang melakukan interpretasi (pemaknaan).  Gimmick politik adalah stimulus yang memengaruhi sikap, aspirasi dan perilaku politik, termasuk pilihan politik. Gimmick politik adalah selera pasar yang mencairkan suasana, membawa kehangatan dan keakraban; masyarakat terhibur dan lupa terhadap keseriusan isu politik identitas, oligarki, atau politik dinasti, isu kemiskinan, dan sebagainya. Gimmick adalah sesuatu, baik alat atau trik, yang digunakan untuk menarik perhatian, bisa berwujud apa saja, antara lain bisa berbentuk kata-kata, bahasa tubuh seperti joget gemoy ala Prabowo, otongan rambut rambut, dan sebagainya.

Jadi jangan terpesona dengan perangkap kekasih media, ke depan, para kandidat di samping memikat hati media dengan rekam jejak terpuji dan gagasan-gagasan cemerlang, agaknya perlu pula kreatif menciptakan gimmick politik yang memikat hati pemilih.

Kita ucapkan selamat kepada Jenderal Probowo Subianto, bukan baru terpilih untuk keempat kali pilpres, tapi keempat kali pilpres baru terpilih. Luar biasa. Jenderal Amerika berbintang lima, General McArthur pasti tersenyum di alam baka sana, apa gue bilang katanya, “The old soldier never die”, serdadu tua tak pernah mati. Kepada Ganjar Pranowo, ingat pesan PM Inggeris terkenal Winston Churchil, “never give up”. Jangan pernah menyerah. Untuk Abah Anies Baswedan, kita ucapkan sayonara sang kekasih media, sampai berjumpa pula. Ketiga tokoh kita tunggu di Pilpres 2029.***

Penulis: Dr. drh. H. Chaidir, MM Ketua DPRD Riau dua periode (1999-2004 dan 2004-2008); Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR).

gambar