Oleh Chaidir
MARI kita pause sejenak dari isu politik dan isu korupsi. Kapasitas memori alamiah penyimpanan data di benak kita memang tak akan pernah penuh karena didesign oleh Sang Pencipta entah beberapa terabyte bahkan exabyte tak terhingga, kita hanya sedikit merasa jenuh saja. Sebab, hampir setiap saat kita dijejali postingan baru, dari Sabang sampai Merauke, kalau bukan tentang politik, ya tentang korupsi, atau tentang OCCRP. Hadeeeh…OCCRP lagi.. sorry Wak.
Kali ini tentang Pekanbaru Kota Bertuah terperangkap musibah sampah berlimpah. Sungguh tak sedap dipandang mata, ada tumpukan sampah menggunung, aromanya menusuk hidung, tak tertanggung, dan ini sudah cukup lama berlangsung. Kita mestinya sudah angkat bendera putih tanda menyerah kalah. Tapi itu tak menyelesaikan masalah. Sebab sebenarnya, masalah sampah bukan masalah sistemik yang termasuk kategori masalah sepanjang zaman atau never ending prolem seperti misalnya perjudian, pelacuran, atau narkoba yang tak pernah selesai sepanjang zaman.
Masalah sampah ini murni masalah manajemen: salah urus. Pakar manajemen dunia Peter Drucker bilang, missmanaged. Oleh karena itu mari kita pelototi masalah sampah yang merisaukan ini dari kacamata manajemen pemerintahan. Kita coba imparsial (jaga jarak) dari aroma politik dan aroma korupsinya.
Dalam perspektif manajemen (yang sangat elementer, mengulang kaji), sebuah organisasi memiliki unsur manajemen yang dikenal sebagai sumber daya “5M” (man, money, material, machine and method – orang/manusia, uang, material, mesin dan metoda/protap). Sebesar apapun atau sekecil apapun organisasinya (pemerintahan atau nonpemerintahan), pasti memiliki unsur manajemen 5M.
Dalam pendekatan manajemen George R. Terry, bapak manajemen ini menyebut, manajemen itu memiliki fungsi Planning (Perencanaan), Organizing (Pengorganisasian), Actuating (Pelaksanaan), dan Controlling (Pengawasan), disingkat POAC. Melalui fungsi POAC inilah, kepemimpinan (leadership) yang menjadi inti dari sebuah organisasi menggerakkan unsur 5M untuk mencapai tujuan organisasi.
Maka, dalam alur pikir sederhana, sebenarnya masalah sampah di Pekanbaru selesai dengan pendekatan manajemen tersebut: Pemerintah Kota Pekanbaru melalui fungsi kepemimpinannya menggerakkan unsur 5M yang dimiliki sehingga terciptalah Kota Pekanbaru yang bersih. Ada perencanaan (tentu disusun dengan baik), ada organisasi yang mengelola, ada pelaksanaan, ada evaluasi untuk mengkaji kelemahan dalam pelaksanaan. Evaluasi menghasilkan pula umpan balik untuk penyempurnaan perencanaan. Secara teoritis, dalam beberapa kali siklus anggaran, program penanggulangan sampah semestinya terwujud semakin baik dan semakin baik.
Lantas apa masalahnya? Kenapa masalah sampah tahun berganti tahun zaman berganti zaman tak selesai-selesai? Sekali lagi dalam pendekatan imparsial dan objektif, pasti ada yang salah dalam perencanaannya, sehingga tujuan Pekanbaru bersih dari sampah tak tercapai. Jauh panggang dari api.
Sepertinya kita terperangkap dalam sikap business as usual, pola pikir kemaren, seperti biasa-biasa sajalah, tak usah repot-repot, kota ini tak selesai oleh kita sendiri banyak orang yang memikirkan, nanti dibilang orang sok hebat, dan seterusnya. Narasi-narasi itu memupus ikhtiar untuk menemukan inovasi. Akhirnya tahun berganti, logika masa lalu tetap dipertahankan. Siklusnya: copy paste kegiatan, susun anggaran, lelang, kontrak dengan pihak ketiga, kemudian pelaksanaan proyek (seringkali kurang mulus di lapangan). Hasilnya seperti kita lihat sekarang. Setiap hari sampah tetap menumpuk bahkan setiap hari bertambah banyak. Sampai kapan?
Apa nak buat Wak? Tata kelola kolaboratif atau collaborative governance adalah solusinya. Tata kelola kolaboratif adalah bentuk kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga swasta untuk merumuskan kebijakan publik dan mengelola program pemerintah. Pemko apalagi Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Pekanbaru tak bisa berpikir sendiri dalam pengelolaan sampah di tengah sorotan publik. Tata kelola kolaboratif sering menggunakan pendekatan pentahelix, yaitu suatu model yang paling banyak digunakan di berbagai belahan dunia untuk mengatasi masalah never ending problem seperti masalah sampah itu. Masalah-masalah seperti ini tak bisa dipikirkan sendiri oleh pemerintah, harus dipikirkan bersama, urun rembug.
Pendekatan pentahelix merupakan model kolaborasi antara lima pemangku kepentingan, yaitu akademisi, bisnis, komunitas, pemerintah, dan media. Dalam kelompok kecil ini berhimpun wakil-wakil stakeholder, orang patut-patut, figur yang teruji memiliki kemampuan, pengetahuan dan pengalaman. Pendekatan ini bertujuan untuk menciptakan ekosistem yang berbasis pengetahuan dan kreativitas. Pendekatan ini membuat kebutuhan, pengetahuan dan kreativitas akan saling memperkuat, sehingga akan menghasilkan inovasi yang teruji untuk mengatasi masalah.
Collaborative governance yang dalam pelaksanaannya bisa dalam bentuk pentahelix itu sebenarnya bukan sesuatu yang baru dalam masyarakat kita, dikenal sebagai musyawarah dan mufakat, nilai yang juga dijunjung tinggi dalam budaya Melayu. Musyawarah dan mufakat prinsipnya sama dengan pentahelix, anggota yang tergabung dalam kelompok kecil tersebut harus saling menghormati, saling menghargai, saling percaya, saling memperkuat satu sama lain.
Dengan prinsip tersebut Pemko tak perlu khawatir menggerakkan unsur 5M untuk inovasi yang direkomendasikan oleh orang patut-patut tersebut dalam mengatasi masalah sampah, ekstrimnya, teknologi seperti apapun yang digunakan, berapa besar pun biayanya, karena prinsip-prinsip tersebut dilandasi semangat semua diajak tukar pikiran, transparansi, akuntabilitas, dan inklusif. Melalui tata kelola kolaboratif, tak ada keruh yang tak bisa dijernihkan, bisa dianalogkan, tak ada sampah yang tak bisa dibersihkan.***
(Dr. drh. H. Chaidir, MM, Penulis, adalah Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008).