Oleh Chaidir
Ketua Umum FKPMR
ALUN-ALUN dan komunikasi beda. Alun-alun itu ruang terbuka publik, sementara komunikasi merupakan proses pertukaran informasi antara dua orang atau lebih, baik verbal maupun nonverbal. Tapi kedua “makhluk” itu bisa saling dukung untuk menciptakan sesuatu yang lebih bermakna bagi kebutuhan sosial manusia. Pemenuhan kebutuhan manusia adalah muara dari seluruh ikhtiar pembangunan. Apapun, dan seberapa modernpun agenda pembangunannya, tak boleh mendegradasi manusia atau menurunkan harkat dan martabat manusia.
Pola pikir itulah agaknya yang menggangu mimpi Pj Walikota Pekanbaru Muflihun yang terpancar dari sebuah perbincangan ringan beberapa hari lalu. Ia paham masalah sampah, banjir, jalan yang berlobang, namun ia juga paham fenomena komunikasi yang melanda dan menjadi kebutuhan sosial dunia modern, tak peduli di belahan manapun dari universe ini. Komunikasi warga kota yang terbangun baik, akan meningkatkan daya adaptasi dan resiliensi masyarakat terhadap dampak negatif perubahan cepat yang terjadi. Komunikasi yang baik juga akan memudahkan terwujudnya kompromi guna membangun kolaborasi. Kolaborasi akan memunculkan inovasi sebagai resolusi berbagai problema kehidupan. Sebaliknya, komunikasi yang buruk akan menimbulkan masalah, bahkan konflik.
Dalam kerangka berpikir demikian, Pj Walikota Pekanbaru merencanakan pembangunan sebuah alun-alun kota yang cukup luas di sekitar Jembatan Siak IV Pekanbaru. Ini menarik. Alun-alun kota, taman kota, atau ruang terbuka hijau, prinsipnya sama, bertujuan menyediakan fasilitas ruang terbuka bagi masyarakat yang berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan sosial masyarakat modern. Manusia itu “zoon politocon” kata filsuf Aristoteles, hewan tingkat tinggi yang bermasyarakat. Manusia tidak dapat hidup sendiri, dia membutuhkan orang lain agar hidupnya bermakna. Di sinilah pentingnya komunikasi.
Namun karena tekanan kehidupan, seringkali membuat manusia terperangkap dalam egosentris, seakan tak butuh orang lain. Apalagi di tengah fenomena masyarakat modern yang dilamun kecanggilan gadget dalam semua aspek kehidupan; semua bisa bekerja mandiri, di manapun, kapanpun, yang penting ada jaringan internet. Sayangnya, fenomena itu juga terjadi di tengah keluarga di rumah. Komunikasi di meja makan keluarga misalnya, yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk mempererat ikatan kekeluargaan, tanpa disadari masing-masing sibuk dengan gadgetnya. Teknologi komunikasi informasi seperti telah mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat.
Perilaku ini sekarang dikenal dengan istilah phubbing. Pelaku phubbing sendiri tidak merasa bahwa perilaku penggunaan smartphone mereka secara berlebihan ketika berada di tengah keluarga menjadi satu tindakan negatif, yang dapat mengganggu hubungan antar anggota keluarga. Apa jadinya bila perilaku phubbing itu menghinggapi masyarakat kota Pekanbaru yang sangat heterogen dengan pola kehidupan yang menunjukkan kecenderungan egosentris.
Di negara-negara maju yang masyarakatnya individualistis, pemerintah kotanya bahkan membangun banyak taman kota atau ruang terbuka publik. Lihatlah Singapura, Kualalumpur, Bangkok, Hongkong, Shanghai, Beijing, Tokyo dan sebagainya, demikian juga di negara-negara barat. Taman kota tersebut digunakan oleh warga selepas jam kantor yang melelahkan untuk menepi, healing sejenak bersama relasi, membangun komunikasi secara informal. Masyarakat umum beserta keluarga dan karib kerabat juga bisa memanfaatkannya untuk bersua, saling bercanda dan bertegursapa. Alun-alun dan taman kota adalah cara murah untuk healing, dibanding harus refreshing berakhir pekan di luar kota, menghabiskan waktu, tenaga dan biaya. Padatnya, padatnya aktivitas terkadang dapat memicu stres pada seseorang, sehingga butuh waktu menepi sejenak untuk menyegarkan kembali pikiran dan tubuh.
Namun, kesadaran masyarakat terhadap kebutuhan dan fungsi sosial ruang terbuka publik, memang belum banyak disadari, padahal menurut Nazarudin (1994) suatu kota harus memiliki ruang terbuka publik untuk kepentingan hubungan atau interaksi antara masyarakat. Biasanya pemanfaatan ruang terbuka publik digunakan menjadi tempat berjalan-jalan, bersantai, bermain ataupun sekedar membaca. Menurut Carr (1992) Ruang Terbuka Publik (Publik Space) adalah panggung dimana drama kehidupan masyarakat terbentang. Ruang yang dinamis, merupakan penyeimbang antara tempat yang tetap dan rutinitas kerja, juga kehidupan di rumah; yang memberikan aliran-aliran pergerakan, titik-titik komunikasi, dan taman umum untuk bermain dan relaksasi.
Dalam pemahaman demikian, guna city branding “Pekanbaru The Heart of Sumatera” , Walikota Muflihun perlu membangun banyak ruang terbuka publik , alun-alun atau taman kota, taman-taman yang kelak dipenuhi warga berbilang kaum bersilaturrahim saling bertegur sapa, berkomunikasi satu sama lainnya. Perlu kolaborasi dan komitmen bersama untuk mewujudkannya. Tak ada yang instan, bak kata orang bijak, berpikir tak sekali jadi, bekerja tak sekali sudah.***

