Janjianku sudah ditetapkan. Bila saatnya tiba, aku mau dawai itu kembali, ada ranting kecil berbalut pelangi yang mesti dia jaga sepenuh jiwa.
Rinduku takkan pernah bertepi membelai punggung kecilmu...
SETAHUN berlalu. Awal tahun 1992, adalah pengalaman pertama bagaimana anak rantau yang merasa sangat perkasa ini pertama kali mendapat uang dari hasil bekerja sendiri.Menantang terik hingga tubuh dibalut gelapnya malam, tak membuat aku merasakan apa-apa. Tak ada rasa malu, meski tugasku hanyalah mengisi bak mandi untuk para petugas di salah satu jembatan timbang.
Dalam sehari semalam, aku mampu menimba ratusan ember air dari sumur yang dalamnya sekitar 10 meter, dikumpulkan dalam ember ukuran besar untuk kemudian ditampung dalam bak kamar mandi hingga penuh.
Tugas itu, tak peduli hujan, gelap atau apapun, bisa aku lakukan 5 kali dalam sehari. Tergantung dengan kebutuhan para petugas, diselingi dengan mencuci piring, mengepel lantai, menyapu halaman sekitar lokasi dan bergegas berlari ke sebuah warung kecil bila diminta membeli rokok, atau keperluan lainnya.
Aku diberi upah Rp 5.000 untuk ditugasku sehari. Terkadang mendapat tips jika ada petugas yang mungkin iba setelah melihat aku berlari membelikannya rokok. Kerja itu sama sekali tidak terasa berat, sama sekali tidak tidak berat, amat ringan bila dibanding dengan tekadku.
Pernah suatu ketika, aku nyaris berpapasan dengan teman sekelas ketika SMP di kampung. Dia membawa sebuah truck dan singgah untuk istirahat serta mencuci muka. Dia termasuk salah satu karib yang sama-sama suka tak masuk kelas ketika jam pelajaran, sembunyi di belakang sambil menghisap rokok.
Namun aku berpura-pura tidak mengenalnya dan tak mau menyapa. Aku berlari kecil ke arah belakang, di bawah pohon jambu yang cukup rindang aku duduk sambil terus menatap ke arahnya. Ada alasan kenapa aku tidak mau dirinya tahu aku di sini. Kalau dia tahu, pastilah akan menceritakan kepada semua orang di kampung bahwa aku bekerja seperti sekarang. Terbayang wajah Mak dan Abah yang pastilah akan menangis, keduanya pasti akan iba lalu menyusulku untuk pulang.
Tidak, aku tidak mau pulang! Kalaupun pulang, nantilah ketika sudah merasa cukup.
Aku menghabiskan waktu bekerja dan baru bisa terbaring ketika pukul 23.00 Wib. Menjelang tidur, biasanya aku banyak menulis surat untuk Mak, untuk Abah dan teman-teman lainnya yang dulunya baik padaku.
Mak, aku baik-baik saja. Aku tak kekurangan suatu apa dan kabar lainnya, termasuk memberitahukan kalau aku sudah bisa membeli baju baru kaos kesukaan serta celana panjangnya. Demikian pula dengan surat untuk Abah.
Namun surat-surat itu tidak pernah aku kirimkan! Semua tersimpan didalam tas plastik di bawah tempat tidur.
Meskipun ketika itu aku belum menyadari betul apa artinya, ternyata getaran itu adalah bisikan jujur, seujujur-jujurnya dari hati bahwa aku rindu dengan Mak. Rindu masakannya, rindu caranya menenangkan kami anak-anaknya sebelum tidur, rindu tatapan teduhnya ketika kami bertengkar, rindu senyumnya menyambut kami semua pulang karena lapar setelah lelah bermain.
Kerinduan itu, semasa aku jauh dari rumah, senantiasa aku jadikan selimut, kujadikan penyemangat.
Setahun berlalu, aku merasa apa yang kulakukan belum cukup. Bermodal sedikit uang, aku pindah ke kota lainnya untuk mempertaruhkan masa depan dengan berjalan seorang diri, benar-benar seorang diri.***
Janjianku sudah ditetapkan. Bila saatnya tiba, aku mau dawai itu kembali, ada ranting kecil berbalut pelangi yang mesti dia jaga sepenuh jiwa.
Rinduku takkan pernah bertepi membelai punggung kecilmu...