Oleh: Dr. Adv. Asep Ajidin, S.Pd.I., S.H., M.H.*
PENGESAHAN Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah menandai era baru bagi umat Islam Indonesia. Negara memberi ruang bagi pelaksanaan umrah mandiri. Namun, di balik kebebasan itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah negara sedang memperluas hak warga, atau justru mengurangi tanggung jawabnya terhadap keamanan umat?
UU Nomor 14 Tahun 2025 memperkenalkan babak baru dalam tata kelola ibadah umat Islam. Salah satu poin paling menonjol adalah legalisasi umrah mandiri, artinya jamaah kini boleh berangkat tanpa melalui biro resmi.
Pemerintah menyebut langkah ini sebagai bentuk adaptasi terhadap modernisasi sistem ibadah di Arab Saudi. Namun di balik semangat deregulasi, ada dilema klasik yang mengintai: apakah kebebasan tanpa perlindungan tetap bisa disebut kemerdekaan?
Dalam teori kebijakan publik, negara selalu ditantang untuk menyeimbangkan dua nilai, yaitu kebebasan dan keamanan. Terlalu banyak aturan bisa mengekang hak warga, tapi terlalu sedikit perlindungan bisa membiarkan rakyat jadi korban pasar bebas.
Pasal 29 UUD 1945 menegaskan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut keyakinannya. Kata menjamin berarti negara tak sekadar memberi izin, tapi juga memastikan keselamatan warganya.
Kebijakan umrah mandiri berpotensi membuat negara tergoda untuk menarik diri: “Silakan atur sendiri perjalananmu.” Padahal, ketika jamaah tertipu, kehilangan uang, atau terlantar di luar negeri, mereka tetaplah warga negara yang membutuhkan perlindungan. Negara tak boleh menjadi penonton. Dalam pandangan etika publik, kekuasaan negara bukan sekadar administratif, tapi juga tanggung jawab moral terhadap iman warganya.
Secara hukum, UU 14/2025 memang memberikan dasar legal untuk tiga jenis penyelenggaraan umrah, yaitu melalui penyelenggara resmi (PPIU), melalui pemerintah, dan secara mandiri. Namun, legalitas tidak otomatis berarti keadilan. Tanpa regulasi turunan yang jelas, seperti soal standar keselamatan, asuransi, dan mekanisme pengaduan, jamaah umrah mandiri bisa kehilangan perlindungan hukum. Bila tertipu oleh pihak luar negeri, siapa yang bertanggung jawab? Negara, biro perjalanan, atau jamaah sendiri?
Dari sisi sosial, legalisasi umrah mandiri juga menyimpan potensi perubahan makna spiritual.
Ibadah yang seharusnya menjadi ruang kesetaraan dan kesederhanaan bisa bergeser menjadi produk wisata rohani yang dikomodifikasi. Semakin besar dana, semakin nyaman fasilitas yang didapat. Padahal, inti dari haji dan umrah adalah kesederhanaan: semua jamaah memakai pakaian yang sama, meninggalkan status sosial, dan berdiri sejajar di hadapan Tuhan. Ketika ibadah dibiarkan sepenuhnya tunduk pada logika pasar, semangat egaliter itu terancam hilang.
Negara memang tak harus mengatur setiap langkah umat. Tapi ia tetap harus hadir secukupnya untuk melindungi tanpa mengekang.
Ada beberapa langkah realistis yang bisa ditempuh, pertama: diwajibkan asuransi perlindungan jamaah bagi semua bentuk umrah, termasuk mandiri. Kedua: dibangun sistem digital nasional untuk memverifikasi biro perjalanan dan memastikan keberangkatan legal. Ketiga: memperkuat literasi jamaah, agar masyarakat memahami hak dan risiko dalam perjalanan mandiri, dan yang keempat: dibentuk lembaga pengawas independen yang memantau industri perjalanan ibadah secara transparan.
(Dr. Adv. Asep Ajidin, S.Pd.I., S.H., M.H. Penulis; Dai, Akademisi, Advokat, dan Pemerhati Kebijakan Publik, berdomisili di Pekanbaru).