Nasihat Politik Charles de Gaulle

Sabtu, 29 Juli 2023 | 20:09:31 WIB

Oleh: Agusyanto Bakar.

POLITIK dan janji merupakan dua variable yang saling berkorelasi, berkaitan erat laksana jalinan ikatan mata rantai tak terpisahkan.

Dalam perspektif demokrasi, politik tanpa janji, tak patut disebut politik. Politik memang tidak pernah "steril" dari janji. Karena janji yang diucapkan oleh seorang politisi, sudah barang tentu berkorelasi dengan konten dan konteks yang dapat menarik suara pemilih dalam Pemilu.

Oleh karenanya, semanis apapun sebuah janji dalam politik, pasti tidak lepas dan tidak bebas dari kepentingan orang-orang yang mengucapkan janji tersebut : Entah Capres, Cagub, Cabup/Cawako dan para Caleg menjelang pesta demokrasi Pemilu tahun 2024 ini, meminjam slogan Satria Baja Hitam : Berubah! Jadi _familiar_ , ramah, baik hati tidak sombong, 'ringan tangan' membantu dan peduli dengan masyarakat : Sebuah sikap politik _'ujug-ujug'_ ? _Wallahuallam_ (tidak boleh buruk sangka).

Tapi yang jelas, ditahun-tahun politik ini, kita memang dituntut untuk hati-hati dengan janji manis para politisi. Dengarlah nasihat politik Charles de Gaulle, seorang politikus, penulis, mantan presiden Prancis pernah mengatakan, "para politisi tidak pernah percaya dengan ucapannya sendiri, karena itulah mereka sangat terkejut, bila rakyat mempercayainya". _Nah lho_ ?

Dalam konteks ini, melalui nasihat politiknya, secara tersirat Charles seperti hendak menyampaikan pesan bahwa kita tidak boleh serta merta mempercayai ucapan para politisi. Pada titik ini kita memang diwajibkan untuk kritis menagih janji dan mengawasi implementasi dari janji yang diucapkan oleh para politisi. Karena terkadang, janji indah nan manis memang dirancang sedemikian rupa tidak saja untuk meninggalkan kesan sebagai politisi yang peduli terhadap nasib rakyat, tapi juga untuk menutupi rekam jejaknya selama ini. Ini dipandang penting untuk digaris bawahi, paling tidak dapat di jadikan sebagai rujukan ketika menjatuhkan pilihan pada calon-calon yang ada, baik Capres, Cagub, Cabup/Cawako dan para Caleg dalam pesta demokrasi pada Pemilu 2024 mendatang.

_Pertama_ , perlu di bangun sikap kritis dalam menilai _track record_ para calon, mengkritisi visi-misi, program kerja yang di tawarkan dan menilai secara objektif, visi-misi dan program kerja yang lebih menunjukkan keberpihakan serta lebih mengakomodasi kepentingan-kepentingandan kebutuhan konkrit masyarakat.

_Kedua_ , mengkritisi dan mempertanyakan, bagaimana merealisasikan visi-misi dan program kerja yang di tawarkan dan parameter apa yang di gunakan untuk mengukur keberhasilannya.

_Ketiga_ , sebagai pemilih, kita harus tampil aktif-artikulatif tidak saja pra-pemilihan, tapi juga pasca pemilihan nantinya untuk menagih janji atas apa yang di sampaikan oleh para calon selama berlangsungnya masa kampanye. Hal ini tentu pula harus diikuti dengan intensitas pengawasan, kontrol dan evaluasi termasuk menyangkut kinerja dan pengelolaan anggaran agar tidak keluar dari prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi.

_Keempat_ , Di pandang perlu mengintensifkan pendidikan politik bagi masyarakat pemilih ( _Voter Education_ ). Ini merupakan tanggung jawab semua elemen yang ada, namun dalam demokrasi, partai politik lah yang merupakan elemen terpenting, karena fungsi dibentuknya partai politik adalah sebagai institusi politik yang bertanggungjawab dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat luas maupun terhadap kader politiknya. Ini sangat penting, karena melalui pendidik politik masyarakat yang meningkat, akan menghasilkan pemilih-pemilih cerdas yang tidak mudah terkecoh dengan teknis-strategis yang di sampaikan dan digunakan oleh para calon.

Oleh karenanya, bila para pemilih tidak tahu hak-hak politiknya dan terkecoh oleh "kemasan" yang di tawarkan oleh para calon dan bersikap apatis, bahkan "alergi" terhadap politik, maka berarti menyerahkan nasib kita pada orang lain. Sebab, karena bersikap apatislah, maka pemerintah otoriter pernah muncul begitu lama di Indonesia. Karena bersikap apatis pula sama hal nya seperti kita memberi "cek kosong" kepada yang berkuasa untuk menjalankan roda pemerintahan sesuka hati. Maka jangan sesalkan bila begitu banyak korban kebijakan pembangunan ekonomi dan politik _nyeleneh_ sebagai konsekuensi tidak terkontrolnya kekuasaan politik pemerintah oleh rakyat. Terlebih, kekuasaan mempunyai kecenderungan alamiah dalam memelesetkan para pemegangnya. Tidak sulit mencari contoh dalam hal ini.

Terkini