Biduk Lalu Kiambang Bertaut

oleh Chaidir – Ketum FKPMR

PERIBAHASA Melayu “biduk lalu kiambang bertaut” biasanya diasosiasikan kepada perselisihan antara sesama saudara. Pihak lain tak perlu ikut campur. Sebab, begitu permasalahan selesai, yang keruh sudah dijernihkan, yang kusut sudah diungkai, rambut sudah ditarik dan tepung tidak berserak, maka antara saudara yang bertengkar akan kembali bersatu.

Kehidupan manusia agaknya sepantun kiambang, sejenis tumbuhan air mengapung pada permukaan air yang tak mengalir. Tanaman itu berkembang biak cepat menutupi permukaan air dan memberi kehidupan sebagai tempat persembunyian ikan.

Namun kiambang sebenarnya rapuh. Kiambang dengan mudah dibuat bercerai-berai oleh perahu yang lewat, tapi tak mengapa, itu hanya sebentar. Ketika perahu berlalu, kiambang kembali bertaut bergandengan tangan.

Begitulah perumpamaan silang pendapat yang terjadi antara Gubernur dan Wakil Gubernur Riau dalam sepekan terakhir ini. Bila itu hanya “perang dingin” antara keduanya, itu biasa, lumrah terjadi di berbagai daerah lain sebagai konsekuensi koalisi pelangi yang rapuh dalam pilkada. Tapi bila perselisihan itu terdedah viral di ruang publik, memekakkan telinga, maka ceritanya jadi lain. Bila “perang dingin”, mereka hanya galau berdua, namun bila sudah tersingkap di masyarakat luas, maka aibnya menjadi aib sekampung.

Maka suka atau tidak suka, pemuka-pemuka yang dituakan di daerah ini harus terpanggil menyemangati kedua pemimpin kita ini untuk menurunkan tensi. Kita memahami peribahasa, “seberat-berat mata memandang lebih berat lagi bahu memikul.”

Justru karena paham, kita ingin ikut memikul dengan sedikit mengalihkan beban di bahu. Bukankah ungkapan kita juga menyebut “berat sama dipikul ringan sama dijinjing”? Apalagi dalam perspektif sosiologi, kita semua bersaudara. Nilai-nilai budaya kita tentang makna persaudaraan itu ibarat “air dicincang putus tiada”. Cincanglah air dengan sebilah pedang yang tajam, tak akan putus dan tak akan terputuskan. Maknanya persaudaraan tak akan bercerai dan tak terceraikan karena perselisihan.

Dalam dunia nyata, persaudaraan itu memang tak seindah ucapan. Godaan demi godaan luar biasa hebatnya. Sejarah manusia mencatat sisi kelam persaudaraan ketika Qabil, anak Nabi Adam AS dengan Siti Hawa, membunuh adik kandungnya, Habil. Qabil tak rela adik kembarnya, Iqlima, dijodohkan dengan Habil, dan Qabil dijodohkan dengan adik kembar Habil, Lubuda. Sebab, Iqlima lebih cantik daripada Lubuda.

Dalam versi sejarah Yunani kuno, Eteocles dan Polineikes yang bersaudara kandung juga saling bunuh karena memperebutkan tahta. Kerajaan yang semula disepakati diperintah secara bergantian oleh Polineikes dengan saudara kandungnya Eteocles, dalam perjalanan waktu “masuk angin.” Polineikes tidak bersedia menyerahkan tahta, bahkan dia membunuh saudara kandungnya.

Hikayat Hang Tuah dalam sejarah Melayu, berputar pada kesetiaan Hang Tuah pada Sultan. Hang Tuah dikhianati. Sultan yang terlanjur percaya pada skenario pengkhiatan, menghukum Hang Tuah dengan cara membuangnya. Hang Jebat, sahabat karib Hang Tuah memberontak kepada Sultan demi membela martabat Hang Tuah. Tapi apa daya Hang Jebat malah dibunuh oleh Hang Tuah. Sejarah Melayu ini masih menyisakan kontroversi sampai sekarang.

Dari mana datangnya perselisihan? Pada awalnya mispersepsi. Sesama saudara sekalipun tetap berlaku peribahasa, “dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa tahu”, atau, “kepala sama hitam pikiran berlain-lainan”. Mispersepsi akan menyebabkan misinterpretasi. Misinterpretasi menimbulkan miskomunikasi, dan miskomunikasi mengakibatkan misunderstanding alias salah paham. Para pakar komunikasi menyimpulkan, konflik disebabkan oleh komunikasi yang buruk.

Dalam abad komunikasi canggih sekarang, tak boleh lagi terjadi peristiwa Kabil-Habil, Eteocles-Polineikes, atau Hangtuah-Hang Jebat. Apalagi sebenarnya, tanpa kehadiran peralatan dan komunikasi canggih pun komunikasi tetap bisa dilakukan secara konvensional antara pemimpin kita. Gubri dan Wagubri pasti sangat paham, kunci masalahnya adalah pada komunikasi.

Maka tidak ada pilihan lain, perbaiki komunikasi dengan saling introspeksi dan membuang sebagian ego; suburkan rasa saling menghormati, menghargai dan saling percaya. Dalam momentum puasa Ramadhan, hal itu tentu menjadi amal ibadah. Jarak rumah gubernur dan wagub taklah sejauh mata memandang.

Hirup-pikuk media memang begitulah adatnya di era keterbukaan sekarang. Usah baper. Perselisihan sesama saudara itu tak ubahnya ibarat biduk lalu kiambang bertaut.***

gambar