JAKARTA – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyesalkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang tidak melarang secara total kampanye politik oleh pelaksana, peserta dan tim kampanye di tempat pendidikan, sebagaimana diberlakukan bagi tempat ibadah.
KPAI menegaskan, sekolah seharusnya menjadi ruang publik yang netral tempat disemainya nilai-nilai kemanusiaan bagi semua siswa/murid tanpa terkecuali, tanpa diskriminasi.
“Sekolah harus bebas dari kepentingan politik personal/individual dan golongan. Segala bentuk kampanye politik di sekolah, khususnya dalam rangka Pemilu dan Pilkada Serentak 2024, adalah penyalahgunaan ruang publik netral,” ujar Komisioner KPAI Sylvana Apituley, melalui keterangannya saat dilansir kompas.com, Rabu (23/8/2023).
Sylvana menegaskan, putusan MK ini berpotensi melanggengkan dan memperluas kemungkinan terjadinya pelanggaran hak-hak konstitusional anak. Dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 pasal 28B ayat 2, negara mengatur bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Ia khawatir, kampanye politik di sekolah menimbulkan manipulasi, eksploitasi, dan penyalahgunaan anak. Konten kampanye politik, lanjutnya, bukan materi kampanye yang sesuai untuk dikonsumsi oleh anak.
Ia mengingatkan, Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak juga menegaskan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik.
“Ancaman kekerasan yang melibatkan massa pendukung peserta pemilu/pilkada, juga adalah salah satu bahaya yang harus diwaspadai dapat terjadi pada saat kampanye dilaksanakan di sekolah,” sebut Sylvana.
“Berbagai bentuk materi kampanye yang tidak sesuai dan dapat merusak perkembangan emosi dan mental anak, berupa agitasi, propaganda, stigma dan hoaks yang mengadu domba tentang lawan politik, ajakan untuk mencurigai dan membenci, serta politisasi identitas yang dapat memperuncing disharmoni, akan membentuk persepsi, sikap dan perilaku sosial anak yang negatif pula,” jelasnya.
Dampaknya, anak dikhawatirkan bakal melabel negatif orang lain yang ia identifikasi sebagai lawan politik, membenci, hingga melakukan kekerasan atas dasar “perbedaan pilihan politik”. Bahkan, tanpa pembolehan kampanye di sekolah sebagaimana putusan MK, KPAI menemukan bahwa dalam 10 tahun terakhir, terdapat sedikitnya 15 bentuk penyalahgunaan, eksploitasi, dan kekerasan terhadap anak selama masa kampanye hingga setelah pengumuman hasil pemilu.
Bentuk-bentuknya meliputi penyalahgunaan tempat penitipan anak, bujuk-rayu untuk kepentingan politik elektoral, hingga provokasi. KPAI mengaku telah berkoordinasi dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang akan merevisi Peraturan KPU tentang Kampanye, agar beleid itu nantinya memperhatikan hak dan perlindungan anak.
Sebagai informasi, MK mengizinkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan selama tidak menggunakan atribut kampanye dan atas undangan pengelola. Hal ini termuat dalam Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Selasa (15/8/2023).
Dalam perkara itu, dua orang pemohon, Handrey Mantiri dan Ong Yenni, menilai ada inkonsistensi aturan terkait aturan itu dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Larangan kampanye di tempat ibadah, tempat pendidikan, dan fasilitas pemerintah tercantum tanpa syarat dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h. Namun, pada bagian Penjelasan, tercantum kelonggaran yang berbunyi, “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”. Dalam amar putusannya, MK menyatakan, bagian Penjelasan itu tidak berkekuatan hukum mengikat karena menciptakan ambiguitas.
Jika pengecualian itu diperlukan, maka seharusnya ia tidak diletakkan di bagian penjelasan. Sebagai gantinya, pengecualian itu dimasukkan ke norma pokok Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu, kecuali frasa “tempat ibadah”. “Sehingga Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu selengkapnya berbunyi, ‘(peserta pemilu dilarang, red.) menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu’,” bunyi putusan itu. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai bahwa pengecualian tersebut sudah diatur sejak UU Pemilu terdahulu.***