Bongkar Sauh

Oleh Chaidir

MOMEN salaman hangat dengan senyum merekah di bibir tokoh kita Syamsuar, Abdul Wahid dan SF Hariyanto dalam sebuah acara, duduk satu meja bercengkrama, disiarkan luas oleh media. Suasana ini direspon positif oleh publik dan netizen. Sebab, baru saja mereka dengan sengit bercekau dalam pilkada Riau. Begitulah harusnya pemimpin. Biduk lalu kiambang bertaut.

Momen istimewa tersebut beriringan pula dengan momen penyampaian beberapa keputusan mendebarkan dari Mahkamah Konstitusi tentang sengketa pilkada (termasuk di Riau). Satu-demi-satu selesai. Kalah-menang dalam sebuah kompetisi memang demikianlah adatnya. Kata orang tua-tua kita, kalau takut dilamun ombak jangan berumah di tepi pantai.

Maka bila tak ada aral melitang, kepala daerah dan wakilnya, hasil pilkada serentak 27 November 2024, akan segera dilantik serentak oleh Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, tinggal menghitung hari. Setelah dilantik para kepala daerah dan wakilnya, langsung bongkar sauh, lepas tali, dan kapal mulai berlayar meninggalkan dermaga menuju pulau cita-cita.

Para kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terpilih dan dilantik, harus segera mengaktifkan seluruh fitur perangkat keras dan lunak dalam dirinya, harus mengerahkan seluruh kemampuan terbaik kepemimpinannya. Di Riau, di Bumi Melayu Lancang Kuning, Negeri Laut Sakti Rantau Bertuah, masyarakatnya punya metafora yang indah tentang kepemimpinan. Pemimpin diibaratkan sebagai nakhoda kapal. Metafora itu dirangkai dalam lirik lagu Lancang Kuning yang sangat populer di Riau.

“Lancang kuning berlayar malam

Haluan menuju ke laut dalam

Kalau nakhoda kuranglah paham

Alamatlah kapal akan tenggelam

…..”

Seorang nakhoda yang melayarkan kapalnya di malam kelam, harus paham membaca bintang di langit yang memberi petunjuk arah, harus mampu melihat karang di laut dalam agar kapalnya tak karam menghantam karang. Bila nakhoda kurang paham membaca petunjuk alam, alamatlah kapal akan tenggelam, atau tersesat entah kemana di lautan luas tak bertepi.

Kita pahami, adakalanya, cuaca baik-baik saja ketika kapal mulai berlayar meninggalkan dermaga, namun sesungguhnya tak ada yang bisa memastikan laut tak akan bergelombang atau badai tak datang menghadang. Laut tetaplah laut, tak ada yang baru di bawah matahari, laut senantiasa bersahabat dengan angin dan badai. Arusnya bisa tiba-tiba berubah tergantung angin, gelombang yang semula bersahabat bisa berubah berbahaya. Maka seorang nakhoda mutlak harus paham, atau dengan kata lain harus pandai dan mengerti benar mengemudikan kapal di tengah badai, sebab dia bertanggungjawab terhadap keselamatan kapal, anak buah kapal dan seluruh penumpang.

Begitulah ibaratnya. Para kepala daerah dan wakilnya yang terpilih sebagai pemimpin di daerahnya, memiliki beban tanggungjawab yang berat di pundaknya: menyejahterakan masyarakat dan menjadi suritauladan. Itulah harapan idealnya. Sementara di era kekinian kini, suka atau tak suka, kita berhadapan pula dengan masyarakat supercerdas yang dikenal sebagai society 5.0 yang ditandai dengan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence – AI). Masyarakat sedang berada dalam perubahan sosial yang sangat cepat menyangkut perubahan mind-set atau pola pikir, revolusi IT dan perubahan perilaku. Kehendak masyarakat tak mudah diprediksi (unpredictable), keinginannya mudah berubah (volatile), penuh ketidakpastian (uncertainty), permasalahannya kompleks (complexity), dan seringkali kurang jelas (ambiguity).

Dalam fenomena perubahan cepat tersebut, Alvin Toffler jauh-jauh hari menyebut dalam bukunya “Future Shock”, bahwa kehidupan di dunia ditandai dengan kesementaraan dalam arti  sesungguhnya. Setiap saat kita berhadapan dengan ancaman keusangan (obsolete). Produk-produk yang hari ini menjadi tren, esok hari segera basi. Kebijakan-kebijakan periode lalu, sekarang menjadi usang. Konsekuensinya, kita dituntut terus menerus mencari cara untuk mengatasi ancaman keusangan ini melalui pendekatan adaptif, proaktif dan inovatif. Tak ada pilihan lain. Innovate or die”, kata Robert Iger (Walt Disney Company CEO). Kalau tidak ada inovasi anda akan mati.

Para kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih pasti memiliki strong leadership – kepemimpinan yang kuat. Mereka adalah orang-orang yang teruji. Para pemimpin ini, melalui komunikasi yang baik, pasti mampu membangun rasa urgensi yang kuat bahwa perubahan memang tak terelakkan. Masalah yang ditimbulkan antara lain misalnya, meningkatnya persaingan di dunia kerja dan ancaman terhadap pekerjaan manusia yang digantikan oleh mesin. Atau meningkatnya aksi lanun atau bajak laut atau perompak dunia maya. Lanun Selat Melaka bisa ditumpas oleh Hang Tuah atau Laksamana Megat Serirama, tapi lanun dunia cyber?

Namun di sana juga ada peluang. Para kepala daerah dan wakil kepala daerah kita tentu juga paham bahwa kecerdasan buatan (AI) akan mempermudah segala pekerjaan. AI akan membebaskan manusia dari pekerjaan berat misalnya,  menganalisa informasi dalam skala massif. Problem matematis yang rumit dapat diselesaikan dengan cepat, informasi tersaji dalam waktu singkat sehingga pimpinan dapat membuat keputusan cepat dan tepat. Ayo para nakhoda, segera bongkar sauh. Selamat berlayar, jaga semangat tetap menyala. Sekali layar terkembang pantang surut ke belakang; tak peduli badai menghadang atau tujuh lautan terbakar api; terbujur lalu terlintang patah; what ever will be will be; que sera sera.***

(Dr. drh. H. Chaidir, MM, Penulis, adalah Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008).

gambar