Ekspansi Asia Pulp and Paper (APP) – Sinarmas Forestry Group ke Areal Izin Perhutanan Sosial di Provinsi Jambi Membabat Habitat Satwa Dilindungi dan Menggerus Ruang Hidup Masyarakat Adat Orang Rimba

Kondisi keruangan HKM Muara Kilis Bersatu yang berada tepat di penyangga TNBT paska land clearing per Januari 2022. (Sumber: AILInst)

Provinsi Jambi memiliki luas wilayah administratif ± 4.887.186,94 Ha dimana seluas 2.098.535.00 Ha diantaranya merupakan kawasan hutan dengan klasifikasi 60 % atau seluas 1.222.077 Ha merupakan kawasan hutan Produksi, kawasan hutan dengan fungsi Lindung seluas 179.588 Ha, hutan Kawasan Suaka Alam seluas 685.471 Ha, dan hutan Produksi Konversi seluas 11.399,00 Ha. Dari total 2.098.535.00 Ha kawasan hutan Provinsi Jambi di atas, seluas 386.490 Ha diperuntukan untuk program Perhutanan Sosial dengan capaian eksisting per September 2021 mencapai luasan 200.511,73 Ha. Adapun dari total luas 1.222.077 Ha kawasan hutan Produksi Provinsi Jambi, seluas 776.652 Ha telah diperuntukan untuk konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) dimana hampir 50% atau sekitar 450.000 Ha diantaranya dikuasai oleh Perusahaan Asian Pulp and Paper -. Sinarmas Forestry Group (APP-SMG), yaitu PT Wira Karya Sakti (WKS) seluas 390.378 Ha, PT Rimba Hutani Mas (RHM) seluas 35.814 Ha dan PT Tebo Multi Agro (TMA) seluas 19.200 Ha. Namun, meski hampir separuh kawasan hutan produksi Provinsi Jambi telah diperuntukan untuk konsesi APP-SMF Group tersebut. Pada faktanya sama sekali tidak membuat anak perusahaan industri bubur kertas dan kertas raksasa ini, berhenti melakukan ekspansi ke areal izin-izin Perhutanan Sosial.

Berdasarkan hasil investigasi AILInts, sepanjang tahun 2020 sampai dengan awal tahun 2022, SMF-APP melalui 2 (dua) unit manajemennya yakni PT WKS dan PT Lontar Papyrus Pulp & Paper Industry (LPPPI) terbukti telah melakukan ekspansi dengan memanfaatkan 7 (tujuh) areal izin Perhutanan Sosial yang terdiri dari gabungan 5 Koperasi HTR di Desa Sengkati Baru Kabupaten Batanghari yakni HTR Pajar Hutan Kehidupan, HTR Alam Tumbuh Hijau, HTR Rimbo Karimah Permai, HTR Hijau Tumbuh Lestari, HTR Alam Sumber Sejahtera, dan ekspansi ke areal HTR Teriti Jaya dan HKM Gapoktan Muara Kilis Bersatu di Kabupaten Tebo, dengan total luasan keseluruhan mencapai 6.784,29 hektar. Seluruh area izin Perhutanan Sosial ini dijadikan sebagai perluasan areal tanaman monokultur perusahaan HTI PT WKS dan sumber pasokan bahan baku kayu yang dipasok ke pabrik pembuatan bubur kertas dan kertas PT LPPPI, milik APP-SMG.

Dari hasil pemantauan lapangan diketahui jika areal-areal izin Perhutanan Sosial ini sebelumnya merupakan kawasan hutan produktif yang memiliki kayu alam dan tutupan hutan serta belukar tua yang masih baik serta sebagian besar berada di wilayah penyangga penting (bufferzone) Kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) yang merupakan kawasan hutan hujan tropis dataran rendah yang memiliki keanekaragamanhayati yang sangat tinggi dimana hampir seluruh spesies flora dan fauna di Pulau Sumatera terdapat pada lanskap Bukit Tigapuluh ini sehingga merupakan daerah kunci keanekaragaman hayati (Key Biodiversity Area) dan di sisi lain juga merupakan ruang hidup masyarakat adat Orang Rimba dan Talang Mamak yang secara tradisional merupakan penghuni hutan yang sangat bergantung pada sumber daya hutan. Namun, sejak areal-areal izin Perhutanan Social ini dikerjasamakan dengan PT WKS justru terjadi perubahan tutupan hutan yang sangat ekstrem. Tercatat, dari tahun 2018 sampai dengan awal tahun 2022, laju deforestasi di seluruh areal mitra APP ini mencapai 2.927,65 hektar, dan disaat yang sama telah menggerus wilayah jelajah ruang hidup Orang Rimba dan habitat satwa kunci bernilai konservasi tinggi (HCV), terutama Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) dan Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatraensis).

SVLK, Kedok Baru Ekspansi HTI
AILInts mencatat, ke 7 izin area perhutanan social yang telah bermitra dengan PT.WKS ini telah mengantongi Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK) yang diterbitkan oleh 2 Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK) yang berbeda yakni PT.Almasentra Sertifikasi dan PT.Inti Multima Sertifikasi dengan proses yang tergolong sangat cepat dimana berdasarkan penelusuran AILInts, PT.WKS diindikasikan membiayai pengurusan sertifikat S-LK seluruh izin Perhutanan Sosial ini hingga bantuan tenaga teknis pendampingan untuk penyusunan dokumen rencana kelola dan administrasi pengurusan sertifikat. Dengan dukungan biaya hingga bantuan tenaga teknis pendampingan untuk penyusunan dokumen rencana kelola, tidak heran bila kemudian ke 7 izin perhutanan social yang telah dimitrakan dengan PT.WKS ini menjadi satu-satunya pula izin Perhutanan Sosial di Provinsi Jambi yang mengantongi sertifikat S-LK. Dalam Permen LHK No. 30 Tahun 2016, semua pemegang izin Hak Pengelolaan Hutan, Hutan Hak/Hutan Adat, tidak terkecuali pemegang izin Perhutanan Sosial memang diwajibkan mengantongi Sertifikat Pengelolaan Hutan Lestari dan/atau Sertifikat Legalitas Kayu jika akan memanen kayu alam maupun tanaman. Namun dalam penerapannya, berdasarkan hasil penelusuran AILInts, lembaga sertifikasi yang telah menerbitkan Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK) kepada 7 pemegang izin perhutanan sosial yang bermitra dengan PT.WKS tidak dilakukan secara partisipatif dan akuntabel sehingga data acuannya jauh dari kata kredibel—alih-alih sesat dan menyesatkan.

Membabat Habitat Satwa dan Melanggar Hak Asasi Manusia
AILINTS mencatat, mayoritas areal izin perhutanan sosial mitra PT.WKS yang telah mengantongi sertifikat S-LK ini masih syarat masalah. Pertama, terdapat indikasi pelanggaran pemanfaatan kawasan hutan oleh PT.WKS sebelumnya yakni keterlanjuran tanaman akasia atau eukaliptus yang ditanam sebelum areal ini dibebani izin HTR kemudian dimitrakan dengan PT.WKS. Pelanggaran pemanfaatan ini terjadi di areal kawasan hutan yang saat ini diperuntukan kepada 5 Koperasi HTR yang saat ini menjadi mitra supplier PT.WKS, tepatnya di Desa Sengkati Baru, Kabupaten Batanghari. Pada areal yang sama, hingga sampai saat ini masih terdapat tumpang tindih klaim dan tata batas diantaranya yang melibatkan Persatuan Petani Jambi, Serikat Mandiri Batanghari yang berkonflik dengan Koperasi 5 HTR dan PT.WKS yang berujung pada kriminalisasi dan penangkapan yang melibatkan aparat dan militer. Kedua, sebahagian besar areal izin Perhutanan Sosial mitra APP lainnya merupakan hutan dataran rendah yang berada di kawasan penyangga strategis hutan konservasi Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) yang secara signifikan teridentifikasi sebagai kantong kantong habitat dan wilayah jelajah bagi spesies dilindungi di luar kawasan TNBT, terutama Gajah Sumatera dan Harimau Sumatera dan juga merupakan ruang hidup bagi suku adat semi nomaden seperti Orang Rimba yang terbiasa secara tradisional melakukan kegiatan Mandah dan Merarayau, tinggal di dalam hutan untuk berburu dan mencari hasil hutan non kayu untuk kehidupan sehari-hari di lanskap Bukit Tigapuluh. Salah satu diantaranya, yakni keberadaan mereka di areal izin Hutan Kemasyarakatan (HKM) Gapoktan Muara Kilis Bersatu, yang berlokasi di Desa Muara Kilis, Kabupaten Tebo.

Investigasi AILInst membuktikan, areal izin HKM Gapoktan Muara Kilis Bersatu merupakan area konservasi penting bagi habitat populasi harimau dan gajah Sumatera di lanskap Bukit Tigapuluh yang kondisinya saat ini terus terancam. Letak topografi areal HKM Gapoktan Muara Kilis Bersatu yang merupakan penyangga penting bagi kawasan konservasi TNBT membuat satwa-satwa yang hidup di kawasan konservasi ini melintasi areal izin HKM Muara Kilis Bersatu. Frankfurt Zoological Society, mencatat, sejak tahun 2017 s.d 2020 intensitas kehadiran Gajah Sumatera di areal HKM Gapoktan Muara Kilis Bersatu bahkan terus meningkat di areal ini. Selain itu, areal HKM Gapoktan Muara Kilis Bersatu juga teridentifikasi masuk dalam Kawasan Ekosistem Esensial (KEE), sebuah kebijakan konservasi keanekaragamanhayati yang sangat didukung oleh berbagai pihak baik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, bahkan untuk mendukung upaya ini telah dibentuk Forum Kolaborasi Pengelolaan KEE berdasarkan SK Gubernur Jambi No. 177/ KEP.GUB/DISHUT-3.3/2020. Pada tahun 2019, satu ekor gajah bahkan ditemukan mati di wilayah ini yang terindikasi terjadi di lokasi areal HKM Muara Kilis Bersatu. Berdasarkan informasi yang dihimpun dari jaringan di lapangan, sekitar bulan April 2021, kawanan gajah yang bergerak dari areal HKM Muara Kilis Bersatu bahkan telah merangsek ke salah satu pemukiman penduduk (di titik kordinat – 1.302937, 102.658019) yang lokasinya sangat berdekatan dengan lokasi pembukaan lahan yang dilakukan APP di areal HKM Muara Kilis Bersatu. Di lanskap Bukit Tigapuluh sendiri yang merupakan kantung gajah terbesar di Sumatra diperkirakan hanya terdapat kurang lebih 143 ekor. Dampak atas tindakan APP ini akan berpotensi semakin menambah daftar panjang konflik antara satwa dan manusia di lanskap Bukit Tiga Puluh yang akan menimbulkan kerugian baik terhadap manusia maupun satwa. Pada tahun 2018 saja, BKSDA mencatat ada 188 konflik manusia dan satwa gajah di lanskap Bukit Tiga Puluh.

Disisi lain areal HKM Gapoktan Muara Kilis Bersatu juga merupakan wilayah jelajah ruang hidup bagi suku adat semi nomaden yaitu Orang Rimba (kelompok Apung dan Lidah Pembangun) yang terbiasa Mandah dan Merarayau di kawasan ini, sehingga tidak jarang keberadaan mereka sering dijumpai di areal izin HKM ini sedang berdiam di sudung-sudung, terutama pada musim berburu dan meramu. Orang Rimba tersebut merupakan bagian dari kelompok besar Orang Rimba di wilayah Desa Muara Kilis yang telah mendiami wilayah selatan lanskap TNBT. Jauh sebelum kawasan hutan produksi ini kemudian diperuntukan menjadi areal konsesi HTI, perkebunan kelapa sawit dan program Perhutanan Sosial, yang diperkirakan jumlahnya saat ini terdiri dari 28 KK. Namun faktanya, oleh PT. Inti Multima Sertifikasi, selaku Lembaga sertifikasi (LVLK) yang ditunjuk untuk memverifikasi usulan SLK izin ini justru kemudian tetap menerbitkan S-LK nomor IMS-SLK-370 dengan masa berlaku 6 tahun (2021 sd 2027) kepada kelompok pengelola ini yang kemudian dijadikan dasar oleh APP-SMF Group untuk menghancurkan ruang hidup Orang Rimba serta habitat gajah dan harimau Sumatera di areal HKM Gapoktan Muara Kilis Bersatu dengan cara pembersihan dan pembukaan lahan (land clearing) besar besaran dimana kayu-kayu tersebut kemudian dipasok ke pabrik pengolahan bubur kertas dan kertas PT Lontar Papyrus Pulp & Paper Industry (LPPPI), milik APP-SMF Group.

Cap Lestari dan Berkelanjutan Sekedar Mengelabui buyer dan konsumen
Alhasil, kayu-kayu dari hutan yang menggerus ruang hidup masyarakat adat yang diakui dan dilindungi oleh United Nations Declaration on The Rights Of Indigenous Peoples, Konvensi Masyarakat Adat (Konvensi ILO) dan International Covenant on Economic, Social And Cultural Rights yang telah diratifikasi melalui UU No. 11 Tahun 2005, serta habitat gajah dan harimau Sumatera yang jelas-jelas terdaftar dalam Red List IUCN dan masuk dalam status satwa terancam punah yang dilindungi berdasarkan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) dan Permen LHK No. 106 Tahun 2018 jo Permen LHK No.20/Menlhk/Setjen/kum.1/6/2018, pun mendapatkan label lestari dan berkelanjutan sertifikat S-LK yang kemudian dipanen untuk pasokan bahan baku bubur kertas dan kertas APP-SMF Group. Parahnya, terhitung sampai dengan 20 Januari 2022, rencana awal APP yang semula hanya akan memanfaatkan areal seluas 149 Ha di areal HKM Muara Kilis Bersatu, sebagaimana notifikasi publik yang diterbitkan APP pada tanggal 27 April – 11 Mei 2021, di luar dugaan penggundulan lahan hutan HKM Muara Kilis Bersatu telah melebihi ambang batas yakni telah mencapai seluas 161.65 ha, melebihi 12,65 hektar dari yang direncakan. Tindakan APP yang mengabaikan masukan berbagai pihak patut disesalkan. Hal ini menunjukan APP sama sekali tidak memiliki komitmen yang kuat dan nyata untuk menampung masukan dan menjalankan rekomendasi berbagai pihak untuk memastikan bahwa sumber bahan baku industrinya tidak berasal dari hasil deforestasi, membabat habitat satwa dilindungi, atau bahkan menggerus ruang hidup penduduk asli masyarakat adat (Indigenous People). Dengan kata lain APP-SMF Group telah melanggar komitmen Kebijakan Perlindungan Hutan (Forest Conservation Policy) yang dibuatnya sendiri.

Di sisi lain, fakta-fakta temuan ini tentu sangat kontradiktif dengan tujuan utama dari Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) itu sendiri yang dimaksudkan untuk membenahi tata kelola kehutanan industri kayu yang selama ini cenderung destruktif sehingga meningkatkan laju deforestasi serta mengancam kelestarian keanekaragamanhayati dan bahkan beresiko besar menciptakan pelanggaran hak asasi manusia (indigineous people right). Semestinya SVLK justru (dan memang) diharapkan sebagai filter utama untuk memperbaiki tata kelola industri kayu di hulu dan hilir yang syarat masalah. Temuan AILInts menunjukan, prosedur dan mekanisme tata kelola SVLK masih menyimpan banyak masalah dan kelemahan kelemahan yang sangat mendasar terutama dalam penerapannya terhadap izin-izin perhutanan sosial untuk tujuan dijadikan sebagai suplier bahan baku kayu dan perluasan areal tanaman industri sehingga rentan dimonopoli dan sebatas dijadikan kedok oleh industry pulp and paper seperti APP untuk mengelabui buyer atau konsumen mereka di level domestik maupun pasar internasional dengan cap “lestari” dan “berkelanjutan” tetapi pada faktanya bersumber dari kawasan hutan dengan membabat habitat satwa dan melanggar hak asasi manusia dengan menggerus ruang hidup masyarakat adat Orang Rimba.

Momentum Pembenahan SVLK
Jika tidak dibenahi segera, terutama pada tata kuasa dan tata kelola prosedur dan mekanisme SVLK, jumlah sertifikat S-LK seperti ini diperkirakan akan terus meningkat dengan proses yang sangat cepat di tahun-tahun berikutnya dengan resiko yang sama besar pula seiring upaya berbagai korporasi HTI dan industry pulp and paper seperti PT WKS yang kian gencar mengincar area-area izin Perhutanan Sosial. Analisis terbaru AILInts menunjukan, saat ini APP melalui unit manajemennya PT WKS sangat intensif mengincar areal-areal izin Perhutanan Sosial dan kawasan hutan produksi tersisa di sepanjang wilayah penyangga (bufferzone) strategis kawasan TNBT. Untuk diketahui, saat ini terdapat areal Perhutanan Sosial skema HTR dengan total luas 11.917 Ha di sepanjang penyangga TNBT dan berdampingan dengan konsesi PT.WKS. Areal ini belum termasuk sisa alokasi PIAPS tersisa yang belum dibebani izin. Untuk itu, paling tidak dalam jangka pendek saat ini amat penting memperkuat peran dan partisipasi lembaga pemantau independent terutama yang berbasis dan bergerak di tapak. Disamping itu, asal sumber pembiayaan proses sertifikasi SVLK perlu dijadikan bagian dari aspek yang harus diverifikasi secara ketat guna membangun transparansi dan akuntabilitas SVLK.

Pengelolaan Ekosistem Gambut Paska Kebakaran Berulang 2015-2019 di Areal Konsesi PT WKS Tidak Sesuai Ketentuan
Disamping persoalan ekspansi HTI di area perhutanan sosial yang menyebabkan deforestasi, membabat habitat satwa dan menggerus ruang hidup masyarakat adat Orang Rimba, di sisi lain PTWKS terindikasi juga melakukan pembukaan dan pelebaran kanal serta melakukan upaya revegetasi yang tidak sesuai ketentuan di lahan gambut yang belum berkembang paska kebakaran berulang tahun 2015-2019 di area konsesinya. Dari hasil observasi lapangan AILInts bersama JMGS (Jaringan Masyrakat Gambut Sumatera) menemukan bahwa pada areal bekas terbakar konsesi PT WKS di Distrik VII telah dilakukan pelebaran kanal yang pada awalnya dengan lebar 4 meter menjadi 8 meter, dimana pelebaran kanal ini dilakukan menggunakan alat berat eskavator. Padahal berdasarkan Peta Indikatif Fungsi Ekosistem Gambut Nasional tahun 2017 diketahui bahwa sebagian besar Distrik VII PT WKS merupakan kawasan ekosistem gambut dengan status fungsi lindung dimana berdasarkan PP 57/2016 dilarang untuk melakukan pembangunan dan pelebaran kanal kecuali dikarenakan keterlanjuran.

Dari hasil observasi lapangan diketahui pula bahwa dari 59 titik sekat kanal yang dibangun oleh PT WKS di sekitar areal bekas lokasi kebakaran, 4 diantaranya telah mengalami kerusakan parah. Padahal fungsi sekat kanal sangat penting dalam menjaga sifat hidrologis gambut yang telah mengalami kebakaran atau kerusakan. Proses revegetasi pada areal bekas terbakar juga cenderung tidak memperhatikan kondisi fisik gambut bekas terbakar dikarenakan pada area bekas terbakar justru telah ditanami tanaman akasia yang notabene adalah tumbuhan invasif dan bukan merupakan tanaman endemic gambut dan diprediksi tanaman akasia di area gambut bekas terbakar ini telah berusia 24 bulan atau kurang lebih 2 tahun. Temuan ini mengindikasikan kuat bahwa PT.WKS tidak melakukan pemulihan ekosistem gambut sesuai dengan ketentuan PP 57/2016 jo PP 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, dan P.16/MENLHK/SETJEN/ KUM.1/2/2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut.

Komitmen Forest Conservation Policy (FCP) APP Patut Dipertanyakan
Pengungkapan fakta-fakta temuan investigasi ini membuktikan bahwa Sinar Mas Forestry/APP sebagai perusahaan yang mengklaim diri menjamin pasokan bahan bakunya tidak bersumber dari deforestasi, melindungi hutan gambut, menghormati Hak Asasi Manusia (HAM) dan penduduk asli masyarakat adat (Indigenous People), menjamin pasokan suplier pihak ketiga berasal dari sumber yang lestari, sebagaimana klaim APP yang selalu berdalih telah menjalankan komitmen Forest Conservation Policy (FCP) di seluruh rantai pasoknya, berdasarkan temuan ini, klaim APP jelas-jelas bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan. Ekspansi APP melalui dua unit manajemennya di Provinsi Jambi yakni PT WKS dan PT LPPPI yang memanfaatkan areal izin Perhutanan Sosial jelas-jelas justru telah memicu deforestasi, membabat habitat satwa bernilai konservasi tinggi terancam punah yang dilindungi, menggerus wilayah jelajah ruang hidup masyarakat adat Orang Rimba, hingga menciptakan konflik horizontal baru antar masyarakat di tapak. Komitmen APP patut dipertanyakan. Oleh APP, FCP dan berbagai stempel lestari dan berkelanjutan hanya dijadikan kedok dan pencitraan bagi APP untuk mengelabui buyer dan konsumen mereka di pasar domestik maupun pasar internasional.

Saat ini Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41 % dengan bantuan internasional (2020 sd 2030). 21 % dari target 29 % usaha sendiri tersebut berada di sektor kehutanan. Saat ini sektor kehutanan yang bagus dan dapat diandalkan untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar 29% dengan usaha sendiri adalah Perhutanan Sosial. Dalam konteks mitigasi perubahan iklim hal ini dapat dilakukan dengan mengurangi laju deforestasi di area perhutanan sosial. Untuk itu, Perhutanan Sosial sangat penting dalam pencapaian target NDC di sector Forest and Land Use (FoLu Net Sink 2030) melalui mitigasi dan adaptasi perubahan iklim terutama dalam kaitannya menurunkan laju deforestasi. Namun, masifnya ekspansi korporasi HTI dan industri pulp and paper memanfaatkan area perhutanan sosial sebagai suplai pasokan bahan baku kayu dan perluasan areal tanaman monokultur sangat jelas hal ini justru memicu deforestasi di area perhutanan sosial. Fakta di lapangan membuktikan pemanfaatan kawasan hutan oleh korporasi justru jauh lebih intensif dan sangat destrukif. Dampak ekologis maupun dampak sosialnya jauh lebih besar. Jika korporasi industri pulp dan paper terus menerus diberikan akses yang luas memanfaatkan perhutanan sosial dan bahkan dengan gampang dilabeli dengan stempel “lestari” dan “berkelanjutan” maka hal ini justru akan menciptakan deforestasi besar-besaran di area perhutanan sosial sehingga memicu perubahan iklim.

MERUJUK pada data dan hasil temuan dimaksud, untuk itu melalui siaran pers/publik ini, kami menyatakan :
1. Mendesak APP untuk mengevaluasi dan menghentikan seluruh kerjasama kemitraan yang telah dibangun PT Wira Karya Sakti dan PT Lontar Papyrus Pulp & Paper Industry selaku anak perusahaannya dengan 7 (tujuh) kelompok pengelola perhutanan sosial di Provinsi Jambi dan menyatakan komtimennya untuk tidak melanjutkan ekspansi ke kawasan hutan tersisa di areal izin Perhutanan Sosial;
2. Meminta APP secara terbuka merilis data dan dokumen pemanfaatan areal perhutanan sosial sebagai wujud dan tanggung jawab APP atas komitmennya untuk memastikan standar keberlanjutan dan kebijakan nol deforestasi dan nol ekspansi di seluruh rantai pasoknya benar-benar dipenuhi dengan baik.
3. Menuntut klarifikasi PT Inti Multima Sertifikasi selaku Lembaga Sertfikasi yang telah menerbitkan Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK) nomor IMS-SLK-370 dengan masa berlaku 6 tahun (12 April 2021 s.d 11 April 2027) kepada Gapoktan HKM Muara Kilis Bersatu yang terkesan tidak mempertimbangkan dampaknya terhadap wilayah penghidupan masyarakat adat Orang Rimba dan kondisi keanekaragaman hayati bernilai konservasi tinggi (HCV) di area HKM Muara Kilis Bersatu sebagai dasar pertimbangan dalam proses penerbitan S-LK kepada Gapoktan HKM Muara Kilis Bersatu.
4. Melalui rilis pers ini juga kami mendesak PT Almasentra Sertifikasi untuk membekukan Sertifikat PHPL PT Wira Karya Sakti (S-PHPL) Nomor : 24-PHPL-006 dengan masa berlaku sertifikat 13 Agustus 2019 s.d 12 Agustus 2024, dan meminta PT TUV Rheinland Indonesia untuk membekukan sertifikat PT Lontar Papyrus Pulp & Paper Industry Nomor : 824 303 120015 masa berlaku 17 August 2021 s.d 16 August 2027 karena terbukti telah melakukan penggaran pemanfaatan terhadap area izin Perhutanan Sosial;
5. Meminta Komite Akreditasi Nasional (KAN) untuk melalukan audit terhadap PT Almasentra Sertifikasi, PT Inti Multima Sertifikasi dan PT TUV Rheinland Indonesia selaku Lembaga VLK yang menerbitkan SLK 7 izin Perhutanan Sosial dan SPHPL terhadap PT.WKS dan PT LPPI;
6. Meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk turun ke lapangan memeriksa temuan indikasi pelanggaran Hak Asasi Manusia atas dampak pelanggaran pemanfaatan kawasan hutan Perhutanan Sosial oleh perusahaan HTI yang berdampak pada hilangnya kawasan hutan sumber penghidupan dan hak-hak masyarakat adat Orang Rimba;
7. Meminta Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui jajarannya di daerah, termasuk Dinas Kehutanan Provinsi Jambi untuk melakukan evaluasi terhadap izin HKM Gapoktan Muara Kilis Bersatu dan atau setidak-tidaknya membentuk tim investigasi independen bersama yang melibatkan partisipasi semua pihak baik organisasi masyarakat sipil (CSO), lembaga pemantau independen, Pemerintah, BKSDA, dan masyarakat, untuk melakukan verifikasi dan mencari solusi bersama atas ancaman kerusakan ruang hidup Orang Rimba serta habitat gajah dan harimau Sumatera di areal HKM Muara Kilis Bersatu yang disebabkan oleh ekspansi perusahaan HTI APP ini.
8. Diakhir, kami menghimbau dan mengajak masyarakat luas khususnya masyarakat Provinsi Jambi untuk berperan aktif memantau, mengawal dan melaporkan segala temuan praktik ekspansi dan perambahan yang dilakukan korporasi HTI yang menyebabkan deforestasi di kawasan hutan tersisa Jambi.(Rilis)

gambar