Jakarta (amirariau.com) - Indonesia AIDS Coalition, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bekerja untuk isu transparansi dan akuntabilitas pemerintah dalam program penanggulangan HIV dan AIDS mendesak Kejaksaan Agung untuk segera menetapkan tersangka dari kasus dugaan korupsi pengadaan obat AIDS yaitu obat Antiretroviral (ARV) pada tahun 2016. Saat ini, santer tersiar kabar di media bahwa Kejagung kembali membuka kasus dugaan korupsi Mark up harga pengadaan Obat ARV ini di 2016 dan telah memanggil beberapa orang saksi tambahan untuk diperiksa.
“Korupsi Pengadaan obat ARV ini, bila benar terjadi, adalah sebuah kejahatan kemanusiaan. Karena ratusan ribu orang dengan HIV bergantung kepada obat ini untuk bertahan hidup mempertahankan nyawanya dengan bergantung pada ketersediaan obat ARV ini," kata direktur eksekutif IAC, Aditya Wardhana, di Jakarta, Selasa (22/12).
Ia mengatakan, IAC yang dipimpinnya sudah sejak tahun 2018 selalu menyuarakan kasus dugaan korupsi ini. Namun hingga kini kasusnya timbul tenggelam dan tidak pernah sampai ke meja hijau.
Berdasarkan catatan IAC, pada tahun 2016 itu terjadi beberapa kali proses pengadaan obat ARV yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan. Tender obat ini ada yang dimenangkan oleh BUMN Kimia Farma dan ada juga yang dimenangkan oleh BUMN Indofarma.
"Isu mengenai kejanggalan harga pengadaan obat ARV ini juga sempat diketahui oleh kantor presiden dan wakil presiden. Sempat dua kali menyurati Menteri Kesehatan saat itu guna memperingatkan bahwa harga obat ARV yang dibeli oleh Kementerian Kesehatan itu 200 persen hingga 400 persen lebih mahal dibandingkan harga obat ARV yang sama dan beredar di pasaran internasional," katanya.
IAC, dalam sebuah kajiannya menghitung bahwa potensi kerugian yang dialami oleh negara akibat dugaan mark up harga ini sangat besar. Berdasarkan kajian IAC ini, harga beli Kementerian Kesehatan terhadap obat ARV dalam dua kali pengadaan ini adalah sebesar Rp 385 ribu dan Rp 404 ribu per botol untuk konsumsi satu bulan.
Sementara obat yang persis sama di pasaran internasional bisa didapatkan hanya dengan harga Rp 123 ribu per botol.
"Padahal, jumlah obat yang dibeli saat itu mencapai ratusan ribu bahkan jutaan botol untuk konsumsi lebih dari 60 ribu orang dengan HIV pada tahun 2016 itu," katanya.
Baik Kimia Farma dan Indofarma, dalam hal ini terkait pengadaan obat ARV jenis kombinasi dosis tetap Tenofovir/Lamivudin/Efavirenz, hanya bertindak sebagai importir dan membuat kemasannya saja. Sementara obat ini sudah diproduksi dalam bentuk jadi oleh pabrikan obat di India.
IAC menenggarai, akibat dari kemahalan harga obat ini, turut menjadi salah satu pemicu mengapa angka cakupan pengobatan ARV pada orang dengan HIV di Indonesia itu tergolong yang paling buruk di wilayah Asia Pasifik. Terhitung hingga Desember 2020 ini, tercatat angka cakupan orang dengan HIV yang mendapatkan pengobatan ARV ini baru sekitar 26 persen, yakni hanya mencapai angka 141 ribu orang dengan HIV yang mendapatkan akses obat ARV dari estimasinya ada sekitar 543.100 orang hidup dengan HIV yang ada di Indonesia.
Obat ARV adalah satu-satunya obat yang bisa secara efektif mengendalikan HIV dalam tubuh dan bisa menekan jumlah virus sampai tidak terdeteksi. Diketahui bahwa jika HIV dalam tubuh berhasil ditekan sampai dengan tingkat tidak terdeteksi, maka orang dengan HIV tidak akan menularkan HIV ini kepada orang lain.
"Bisa dibayangkan jika obat sepenting ini lalu dikorupsi. Bukan hanya membahayakan nyawa orang dengan HIV saja, namun juga membahayakan keberhasilan program penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia," katanya.
Kasus dugaan adanya mark up harga pengadaan obat AIDS ini sudah tercium dan diselidiki oleh pihak Kejaksaan Agung mulai dari tahun 2019 lalu. Namun proses penyidikannya berjalan tersendat-sendat.
Sehingga berita mengenai kasus ini hilang dan baru terdengar lagi di akhir tahun 2020 ini.
“Kami mengharapkan keseriusan dari pihak Kejaksaan Agung dalam melakukan penyidikan kasus ini. Dan apabila memang tidak terjadi tindak pidana korupsi, meski secara kasat mata sebenarnya kerugian negara itu sudah sangat jelas, mohon jika diberikan kejelasan sehingga kita bisa memberikan keadilan bagi ratusan ribu orang dengan HIV yang selama ini haknya terampas dengan tidak mendapatkan obat ARV ini.” katanya.
Dugaan kasus korupsi ini seakan menambah beban hidup dari orang dengan HIV yang selama ini sering sekali menjerit kehabisan obat. Masih berdasarkan catatan IAC, di tahun 2018 juga pernah terjadi kegagalan tender akibat harga kemahalan ini dan juga di awal 2020 kembali lagi obat ARV langka dikarenakan ada kebijakan keliru yang diambil oleh Menteri Kesehatan Terawan mengenai pengadaan obat program.
IAC mendesak kepada Kejaksaan Agung untuk bertindak lebih serius dalam penyidikan obat ini sehingga perkara dugaan terjadinya Mark Up harga dalam pengadaan obat ARV di tahun 2016 ini tidak terkatung-katung dan hilang kembali. Aditya pun mengajak publik untuk sama-sama mengawasi jalannya proses penyidikan ini supaya tidak kembali hilang dan segera ada kejelasan hukum mengenai kasus ini.
Aditya kembali menegaskan, "Jika sampai ini adalah benar bisa dibuktikan sebagai tindak pidana korupsi, maka ini adalah kejahatan kemanusiaan yang harus segera ditangani dan diantisipasi agar ini tidak terjadi lagi." *
Photo Courtesy : pinterest.com