Oleh Chaidir
DALAM buku “Filsafat Komunikasi Orang Melayu” karya Dr Antar Venus (2015), tak ditemukan kosa kata “ndasmu” dalam ilsutrasi bahasannya. Demikian pula dalam buku Tunjuk Ajar Melayu karya Dr Tenas Effendi (2010), tak ditemukan kosa kata tersebut. Kosa kata ‘ndasmu’ diulas secara tegas dan pedas dalam editorial Tempo pekan lalu. Untung ada kamus pintar ‘Mbah Google’ tempat bertanya. Ketik saja ‘ndasmu’, maka ChatGPT (AI – Artificial Intelligence) akan memuaskan dahaga kita tentang makna kosa kata tersebut yang juga viral di medsos dan trending di X (twitter).
Jadi, wajar dalam sosiologi komunikasi orang Melayu, tak familiar dengan kosa kata yang bikin gaduh itu. Secara umum masyarakat yang sehari-hari berbahasa Melayu sebagai bahasa ibu, kosa kata ‘ndasmu’ tak memiliki makna. Tapi kegaduhan peristiwa komunikasi kedua dalam tiga bulan terakhir setelah ucapan ‘goblok’ dari Gus Miftah, menarik untuk diulas dari perspektif komunikasi orang Melayu menurut Venus dalam “Filsafat Komunikasi Orang Melayu” sebagai sebuah tinjauan ringan belaka. Barangkali ada ungkapan-ungkapan yang berguna sebagai tolok-ukur, atau sebagai sebuah iktibar.
Komunikasi itu unik. Suatu peristiwa komunikasi yang berlangsung dalam suatu waktu, hanya akan berlangsung sekali, tidak dapat “diambil kembali”. Sama seperti menyampaikan pesan (message), saat pesan itu disampaikan ke khalayak, maka kita tidak akan bisa menghilangkan efek dari pesan tersebut apalagi mengendalikan pengaruh pesan tersebut bagi khalayak. Orang Inggris memiliki suatu ungkapan yang terkenal yaitu “To forgive but not to forget”, memaafkan namun tidak melupakan.
Komunikasi itu bersifat irreversible tulis pakar komunikasi Deddy Mulyana (2010). Kita diingatkan untuk berhat-hati dalam menyampaikan informasi kepada khalayak, apalagi dalam sebuah komunikasi massa, karena efeknya tidak bisa kita tiadakan bahkan untuk hanya sekedar diralat. Terutama saat informasi itu disampaikan dalam sebuah orasi atau presentasi, karena kesan pertama cenderung abadi
Dalam pendekatan sosisologi komunikasi, orang Melayu memandang komunikasi merupakan satu kesatuan antara akal dan rasa. Meski kedua aspek akal dan perasaan diperlukan untuk membuat komunikasi seimbang dan harmonis, pada kenyataannya secara paremiologis (studi mengenai pepatah dan peribahasa) posisi rasa bagi orang Melayu sedikit lebih menonjol ketimbang akal. Hati datang lebih dahulu ketimbang akal (Venus, 2015). Namun hati (yang menjadi sumber emosi dalam keyakinan orang Melayu) harus dipandu oleh akal. Dengan kata lain, logika seharusnya memandu rasa yang cenderung mendominasi cara komunikasi orang Melayu.
Orangtua-tua Melayu melalui tunjuk ajar mengingatkan, berbicara hendaklah berhati-hati, tepat, dan mengikuti alur. Sebagai etnik yang secara metaforik melandaskan hidupnya pada hati, aspek emosional memiliki peranan yang sangat penting dalam komunikasi orang Melayu. Mereka selalu berupaya menimbang rasa ketika berkomunikasi satu sama lain. Istilah menimbang rasa ini dalam terminologi lain disebut sikap berhati-hati.
Berbicara dengan tepat dan berhati-hati sangat penting dalam masyarakat Melayu. Alasan utamanya adalah bahwa setiap kata yang keluar dari mulut seseorang tidak dapat ditarik kembali. Hal ini senada dengan pandangan Deddy Mulyana, dalam pepatah Melayu dipahami, sifat “irreversible” komunikasi itu padanannya adalah, “terlangsung perahu boleh balik, terlangsung cakap tak boleh balik”.
Dr. Antar Venus menyebut nilai-nilai yang sangat dihargai untuk digunakan ketika berkomunikasi. Nilai-nilai itu merupakan turunan dari nilai utama budi (budi basa). Nilai tersebut meliputi: 1) nilai keterbukaan (openess); 2) nilai penghargaan (respect); 3) nilai kerjasama (cooperation); 4) kesepahaman (mutual understanding); 5) penyesuaian diri (adaptability); 6) sopan santun (modesty); 7) permaafan (forgiveness); 8) kewajaran (fairness); 9) kepercayaan (trust); dan 10) nilai bertimbang rasa (empaty, solidarity and tolerance).
Di era modern sekarang, dalam pendekatan sosiologi komunikasi orang Melayu, nilai kesantunan dalam berkomunikasi (modesty), menjadi faktor penting perekat dalam kemajemukan masyarakat yang bermukim di Bumi Melayu (Riau dan Kepulauan Riau). Sopan santun atau kesantunan diartikan sebagai tindakan komunikasi verbal dan nonverbal yang lemah lembut, beradab, menggunakan kata-kata yang baik dan halus, menepis kata-kata yang buruk, mau mendengar, dan mampu menjaga perasaan orang lain. Ungkapan kesantunan komunikasi tersebut terangkum dalam ungkapan Melayu, “Santun berbicara berkira-kira, santun bercakap ingat mengucap, santun berkata berbudi bahasa…”
Kesantunan dipandang sebagai ciri penting orang berbudi. Bila kesantunan sudah menjadi sifat seseorang, orang tersebut dianggap sebagai orang yang berbudi mulia. ”Bila kesantunan dijadikan sifat; budinya mulia terpujilah tabiat; kemana pun pergi disayang umat; sentosalah hidup dunia akhirat.” Menurut budayawan Dr Tenas Effendy, dalam berkomunikasi kita harus pandai menengok hati, sebab, “Sapu tangan bersegi empat, bersulam bunga teratai, luka tangan boleh diobat, luka hati membawa sansai.”
Dalam khasanah pemikiran orang Melayu, komunikasi menjadi sendi penting dalam membangun kebersamaan kehidupan masyarakat berbilang kaum. Orang Melayu lebih suka mendahulukan cara komunikasi santun daripada cara kekerasan yang dianggap tidak cerdas dan tidak beradab dalam menyelesaikan masalah. Kesantunan berbahasa merupakan instrumen penting dalam komunikasi orang Melayu sebagai sebuah kearifan lokal dalam kekayaan budaya bangsa. Ke depan para petinggi negeri, dianjurkan, untuk menutup setiap orasi dengan pantun pusaka, “kalau ada jarum yang patah, jangan disimpan di dalam peti, kalau ada kata yang salah, jangan disimpan di dalam hati.” Habis perkara.***
(Dr. drh. H. Chaidir, MM, Penulis, adalah Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008)

