MERANTI – Kembali Hari ini Penyidik KPK memeriksa 12 orang pejabat Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) Kepulauan Meranti, Kamis (13/4/2023). Mereka dimintai keterangan terkait tiga kasus yang menjerat Bupati Kepulauan Meranti nonaktif, Muhammad Adil.
Diketahui, M Adil diduga terlibat tiga kasus tindak pidana korupsi (TPK) yakni pemotongan anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang dibuat seolah-olah sebagai utang, dugaan penerimaan fee jasa travel umrah, dan dugaan pemberian suap pengkondisian pemeriksaan keuangan tahun 2022.
“Hari ini Kamis, pemeriksaan saksi TPK pemotongan anggaran seolah-olah sebagai utang kepada penyelenggara negara atau yang mewakilinya tahun anggaran 2022 sampai 2023, dugaan korupsi penerimaan fee jasa travel umrah dan dugaan korupsi pemberian suap pengkondisian pemeriksaan keuangan tahun 2022 di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti,” ujar Kepala Bidang Pemberitaan KPK, Ali Fikri, Kamis(13/4/2023)
Ali mengatakan, pemeriksaan dilakukan di Markas Polres Kabupaten Kepulauan Meranti Jalan Perumbi Alai Kelurahan Insit, Kecamatan Tebing Tinggi Barat, “(Saksi) diperiksa untuk tersangka MA (Muhammad Adil, red),” kata Ali.
Diberitakan sebelumnya, KPK melakukan OTT di empat tempat yakni Kabupaten Kepulauan Meranti, Kabupaten Siak, Kota Pekanbaru dan Jakarta, pada Kamis Pekan lalu (6/4/2023). Dalam OTT itu diamankan 28 orang yang terdiri dari Bupati Meranti, Sekda, kepala dinas, kepala badan, dan swasta.
Setelah dilakukan pemeriksaan, akhirnya tim KPK menetapkan tiga orang tersangka, yakni M Adil, Kepala BPKAD Kepulauan Meranti, Fitria Nengsih dan Pemeriksa Muda BPK perwakilan Riau.
Ali menjelaskan konstruksi perkara yang melibatkan Bupati Meranti M Adil. diduga memerintahkan para kepala SKPD untuk melakukan setoran uang yang sumber anggarannya dari pemotongan uang persediaan (UP) dan ganti uang persediaan (GU).
“Masing-masing SKPD kemudian dikondisikan seolah-olah adalah utang pada MA. Besaran pemotongan UP dan GU ditentukan MA dengan kisaran 5 persen hingga 10 persen untuk setiap SKDP,” jelas Ali.
Selanjutnya setoran UP dan GU dalam bentuk uang tunai disetorkan kepada Fitria Nengsih yang menjabat Kepala BPKAD Kepulauan Meranti, sekaligus orang kepercayaan M Adil.
“Setelah terkumpul, uang-uang setoran tersebut kemudian digunakan untuk kepentingan M Adil diantaranya sebagai dana operasional kegiatan safari politik rencana pencalonan M Adil untuk maju dalam Pemilihan Gubernur Riau d itahun 2024,” ungkap Ali.
M Adil juga menerima gratifikasi sebesar Rp 1,4 miliar dari PT Tanur Muthmainnah (TM) yang bergerak di bidang travel perjalanan umrah pada Desember 2022. Uang itu diterima M Adil melalui Fitria Nengsih yang juga menjabat Kepala Cabang PT TM untuk proyek pemberangkatan umrah bagi para Takmir Masjid di Kabupaten Kepulauan Meranti.
Sementara di kasus suap, M Adil berupaya agar proses pemeriksaan keuangan Pemkab Kepulauan Meranti tahun 2022 mendapatkan predikat baik sehingga nantinya memperoleh Wajar Tanpa Pengecualian.
“MA bersama-sama FN memberikan uang sekitar Rp1,1 miliar pada MFH selaku Ketua Tim Pemeriksa BPK Perwakilan Riau,” ungkap Ali.
Dari hasil penyidikan sementara, M Adil diduga menerima uang sekitar Rp26, 1 miliar dari berbagai pihak. “Ini akan ditindaklanjuti dan didalami lebih detail oleh Tim Penyidik,” tutur Ali.
Akibat perbuatan itu, M Adil dijerat pasal berlapis, yakni sebagai penerima suap, M Adil melanggar Pasal 12 huruf f atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sebagai pemberi suap,, M Adil melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Fitria Nengsih sebagai pemberi suap melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan, M Fahmi Aressa sebagai penerima suap melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Ady)
![gambar](https://amirariau.com/wp-content/uploads/2024/11/WhatsApp-Image-2024-08-15-at-11.54.07.webp)
![](https://amirariau.com/wp-content/uploads/2023/05/WhatsApp-Image-2023-05-02-at-17.48.40.jpeg)