Musuh Dalam Selimut

Oleh Chaidir

GEBRAKAN Presiden Prabowo Subianto tentang efisiensi atau penghematan keuangan negara yang disampaikan secara tegas di berbagai kesempatan dalam dua bulan terakhir ini, membuahkan hasil. Dalam Pidato di World Government Summit (pertemuan Pemimpin Dunia), pada Kamis sore, 13 Februari 2025 kemaren, Presiden pamer hemat senilai Rp327 Triliun atau sekitar US$20 miliar yang setara dengan sekitar 10 persen dari APBN.

Seperti disiarkan berbagai media, Presiden memang beberapa kali menekankan bahwa pemerintah harus hemat, harus mengurangi pemborosan dan kebocoran anggaran. Bahkan Presiden bertekad memerangi kebocoran di semua tingkat pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk memastikan anggaran digunakan secara efisien dan mengurangi pengeluaran yang tidak produktif demi kepentingan peningkatan kesejahteraan rakyat. Pengeluaran-pengeluaran untuk kegiatan seremoni, perjalanan dinas, kajian dan seminar yang tidak terlalu mendesak harus dikurangi.

Kita tentu paham niat baik Presiden yang mengingatkan betapa pentingnya efisiensi atau penghematan keuangan negara. Hal ini bukan karena pemahaman normatif terhadap salah satu prinsip tatakelola yang baik (Good Governance) seperti disebut Badan PBB – UNDP (United Nations Development Programme), yakni prinsip efisiensi dan efektivitas (efficiency and effectiveness). Presiden agaknya sangat risau terhadap fenomena pembororan keuangan negara sehingga sampai pada sebuah sintesis, semakin efisien pengelolaan keuangan negara, semakin kecil kebocoran dan peluang melakukan penyimpangan; pemborosan bisa ditekan.

Efisiensi dan efektivitas adalah dua konsep yang sering digunakan untuk menilai kinerja atau performance atau hasil sebuah organisasi. Efisiensi berkaitan dengan proses penggunaan sumber daya, sedangkan efektivitas berkaitan dengan hasil yang dicapai. Secara sederhana kita maknai, sumberdaya harus digunakan secara hemat (efisien) untuk mencapai hasil sesuai target atau harapan, bahkan kalau bisa, melalui penghematan, hasil yang diperoleh diharapkan melampaui target. Akan tetapi bila, dengan melakukan efisiensi menyebabkan tujuan program tidak tercapai, maka berarti penghematan yang dilakukan tidak tepat guna alias tidak tepat sasaran.

Oleh karena itulah dalam politik anggaran kita mengenal pendekatan penganggaran berbasis kinerja: Penganggaran berbasis kinerja adalah pendekatan di mana alokasi anggaran didasarkan pada hasil atau output yang diharapkan. Dengan fokus pada hasil, pemerintah dapat memastikan bahwa anggaran dialokasikan untuk program-program yang benar-benar memberikan dampak positif. Program yang tidak efektif atau tidak efisien dapat dihapus atau disesuaikan.

Pentingnya efisiensi ini sebenarnya sudah sejalan dengan semangat reformasi birokrasi, yang bertujuan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Dan perbaikan tata kelola pemerintahan ini antara lain dilakukan melalui penciptaan birokrasi yang profesional, pemerintahan yang bersih (clean government), dan bebas dari KKN; memberikan pelayanan yang berkualitas; membangun aparatur negara yang efektif dan efisien. Oleh karena itu reformasi birokrasi merupakan sebuah kebutuhan yang perlu dipenuhi guna memastikan terciptanya perbaikan tata kelola pemerintahan. Tata kelola pemerintahan yang efektif dan efisien merupakan  prasyarat utama tercapainya tujuan pembangunan dan tercapainya kesejahteraan masyarakat.

Pertanyaannya adalah, mengapa terjadi pemborosan anggaran? Secara umum dapat kita amati, reformasi birokrasi yang sudah sejak lama kita kumandangkan belum sepenuhnya berjalan. Sebagian besar masih belum berhasil melakukan revolusi mental mengubah mind-set atau pola pikir lama, terperangkap dalam cara lama, wilayah business as usual. Dan ini bisa diidentifikasi dalam bentuk pemborosan anggaran, pengeluaran yang tidak sesuai dengan prioritas, duplikasi program, atau inefisiensi dalam pengadaan barang dan jasa, misalnya, membeli barang yang tak patut dibeli dan tidak membeli barang yang seharusnya dibeli.

Perencanaan kurang optimal. Ada kegiatan-kegiatan yang sebenarnya bisa dikemudiankan, didulukan; atau sebaliknya kegiatan yang harus didulukan, dikemudiankan. Sehingga tentu saja berpengaruh pada inefisiensi anggaran. Perencanaan juga rawan terhadap penyusupan ’penumpang-penumpang gelap’ (proposal) dari berbagai pihak yang terlibat dalam perencanaan anggaran. Ada agenda-agenda tersembunyi, sambil menyelam minum air.

Perilaku reformasi setengah hati ini bahkan sudah menjadi habit dan behavior. Dan menurut ahli manajemen Stephen Robbins (2001) kelompok yang memiliki habit dan behavior seperti itu adalah kelompok yang resisten terhadap langkah-langkah efisiensi. Dengan kata lain, kelompok-kelompok ini kontra-produktif bagi gerakan efisiensi. Mereka menolak efisiensi. Mereka menggunakan narasi-narasi yang ‘masuk akal’ bahwa efisiensi akan menghilangkan banyak lapangan kerja, bahkan akan menimbulkan PHK, menyengsarakan rakyat kecil, dan sebagainya.

Reformasi birokrasi khususnya pada sisi efisiensi anggaran, memang tidak sederhana karena tidak hanya sekadar kutak-katik politik anggaran, tapi mengubah pola pikir dan budaya kerja. Padahal sebenarnya, dengan gerakan efisiensi mengembalikan kita ke pangkal jalan, sebab fokus utama pemerintah harus memastikan bahwa anggaran dialokasikan untuk program-program yang benar-benar penting dan memberikan dampak besar bagi masyarakat.

Sulitnya, kita tidak berhadapan dengan musuh dari luar yang datang menghadang, tapi kita berhadapan dengan musuh yang ada dalam diri kita sendiri, dalam birokrasi itu sendiri. Pakar manajemen dunia Peter Drucker sudah mengingatkan, “The enemy is not out there”, musuh tidak berada di luar sana, kata Drucker, tapi berada dalam organisasi itu sendiri, ibarat ‘musuh dalam selimut’. Nah!***

(Dr. drh. H. Chaidir, MM, Penulis; Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008)

gambar