Ramadan Berselimut AI

Oleh Chaidir

BUKALAH lembaran catatan selama beberapa tahun belakangan ini, atau kulik jejak digital melalui komputasi awan tentang kemesraan puasa Ramadan yang menyelimuti sanubari insan. Ramadan selalu hadir pada saat yang tepat di tengah gelombang perubahan yang melanda. Padahal bulan puasa Ramadan itu sudah datang sekali setahun, rutin, tak pernah putus selama lebih dari 1400 tahun, dan akan terus hadir setiap tahun sampai akhir zaman. Agaknya, ini skenario besar dari Al-Khalik, Sang Maha Pencipta. Puasa Ramadan memberi ruang jeda kepada manusia untuk melakukan kontemplasi, perenungan bahwa Allah menciptakan alam semesta, langit dan bumi beserta isinya, termasuk udara, air, tanah, hujan, planet, alien, parasit, bakteri, virus, dan berbagai makhluk termasuk juga manusia itu sendiri.

Manusia diciptakan sebagai makhluk sempurna dan mulia, diberi otak untuk berpikir, dan diberi kebebasan dalam berkreasi sesuka hati semampu yang bisa dilakukan mengikuti dorongan hawa nafsu yang diciptakan build-in dalam diri manusia. Tapi Allah SWT juga membekali manusia dengan akal budi untuk mengendalikan kelemahan berupa hawa nafsu itu. Allah SWT menciptakan keseimbangan antara kelebihan dan kekurangan dalam diri manusia.

Masih segar dalam ingatan, masyarakat gamang harus beradaptasi dalam era digital revolusi industri 4.0 yang berbasis internet. Kita risau dengan sisi-sisi negatif era digital. Tapi kemudian kita disadarkan, cyber technology teknologi komunikasi informasi (ICT) itu adalah ilmu pengetahuan, harus dipelajari oleh manusia, umat Islam tidak boleh membiarkan dirinya gaptek. Iqra’, ayo baca, baca.

Kemudian kita dikacaukan pandemi Covid-19, umat Islam sedih, tak leluasa menikmati keindahan ibadah puasa Ramadan di masjid karena larangan berkumpul. Di tengah kekhawatiran ancaman virus, para pekerja kantoran dipaksa work from home (WFH/harus bekerja dari rumah saja). Hikmahnya, para pekerja memiliki banyak waktu di bulan Ramadan kumpul dengan keluarga.

Pada tahun berikutnya, masyarakat terjangkit demam politik menghadapi pileg dan pilpres, ditandai dengan politisasi overdosis seiring kebebasan dan keterbukaan pers, internet dan media sosial yang bebas tak bertepi. Kemudian masyarakat tergila-gila menghadapi pilkada Serentak 2024.

Politisasi yang berlebihan tersebut telah meninggalkan jejak digital yang tak terhapuskan: politik tanpa etika, kampanye hitam, fitnah, ujaran kebencian, pembohongan, pemalsuan, pengkhianatan, dan berbagai bentuk disinformasi lainnya. Tantangan demi tantangan mengubah irama kehidupan, tak terelakkan. Untung ada bulan Ramadan, panggung di mana kebajikan menemukan perannya. Yang keruh dijernihkan, yang kusut terurai. Kita disadarkan, politik itu simbol, Islam itu substansi. Islam itu konten, apapun partainya.

Memasuki Ramadan 1446 H tahun 2025 ini, kita mencium aroma bau sangit kecerdasan buatan yang menyelimuti kehidupan dunia. Kecerdasan buatan yang populer dengan sebutan “AI” (dibaca: e-ai) akronim dari Artificial Intelligence dalam banyak hal. Di era kekinian, telah mendegradasi peran manusia di muka bumi. Ibarat sepakbola, AI mendudukkan manusia di bangku pemain cadangan.

Elon Musk miliarder pemilik Starlink, seperti dimuat media online rmol.id, membuat prediksi terbaru tentang kecerdasan buatan yang menurutnya akan mengambil alih semua pekerjaan manusia. AI dan robot akan menyediakan barang dan jasa apa pun yang diinginkan.

Kekhawatiran juga terus meningkat dengan banyaknya disinformasi di berbagai media. AI bisa dengan cepat dan mudah merancang foto dan teks terlihat sebagai informasi asli. Tak ada yang bisa menjamin AI tak dimanfaatkan untuk menyebar berita palsu di masing-masing platform.

Pengembang robot di Jepang, Hiroshi Ishiguro, insinyur robot yang ada di Osaka University, menciptakan robot persis manusia sungguhan, bisa bicara, bisa mengerdipkan mata. Kabarnya, robot yang menyerupai wanita muda dengan kemampuan “menggoda” ini diperuntukkan sebagai istri, atau sebagai pendamping romantis ‘teman hidup’ pria yang kesepian.

Meskipun AI menawarkan kemudahan dan efisiensi tinggi untuk membantu menyelesaikan pekerjaan manusia. AI juga menjadi ancaman bagi sebagian pekerja. Hal ini terlihat dari beberapa jenis pekerjaan yang dapat tergantikan oleh AI, misalnnya operator produksi, customer service, data analyst, hingga teller bank.

Tapi jangan dulu pesimistis, faktanya masih ada sejumlah skill yang tetap tidak tergantikan oleh AI karena melibatkan kecerdasan emosional, kreativitas, dan interaksi manusia yang kompleks. Lima skill penting yang tidak tergantikan oleh AI sebagaimana dirangkum Primakara dari berbagai sumber, adalah kecerdasan emosional, kreativitas, keterampilan komunikasi, keterampilan manajemen dan kepemimpinan, serta etika dan moralitas.

Pada sisi kecerdasan emosional, AI tidak memiliki kemampuan untuk merasakan emosi dan memberikan tanggapan secara ‘manusiawi’. Pada sisi kreativitas, AI tidak memiliki kemampuan untuk berpikir di luar batasan dan menciptakan sesuatu yang orisinil dan unik (out of the box).

Dalam keterampilan komunikasi misalnya, komunikasi non-verbal tak tergantikan oleh AI. Membangun hubungan interpersonal, memahami konteks, dan menyesuaikan gaya komunikasi dengan ausidens tetap menjadi keahlian manusia.

Fungsi-fungsi manajemen dan kepemimpinan, seperti misalnya, mengelola tim, memberikan ispirasi, dan memotivasi anggota tim, strategi manajemen, serta kemampuan dalam mengambil keputusan yang kompleks, tak bisa diambil alih oleh AI. Termasuk membangun budaya kerja yang nyaman, keahlian manusia belum tergantikan oleh AI. Etika dan moralitas yang merupakan konten dari akal budi tetap menjadi tanggungjawab manusia, belum tergantikan oleh AI.

Maka, kendati AI terus berkembang pesat, kapasitas kecerdasan emosional, kreativitas, keterampilan komunikasi, keterampilan manajemen dan kepemimpinan, serta etika dan moralitas, sebagaimana disebut berbagai sumber, tetap menjadi keunggulan manusia.

Puasa Ramadan memberi ruang kesadaran bagi kita untuk mengembangkan dan menyuburkan keunggulan-keunggulan tersebut agar manusia memiliki kapasitas critical thinking teruji tak mudah terombang-ambing tipu daya era kecerdasan buatan yang memabukkan. Manusia dianugerahi Ilahi akal budi, kini sedang diuji.***

(Dr. drh. H. Chaidir, MM, Penulis, adalah Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008).

gambar