Oleh Musfi Yendra
MUSYAWARAH Nasional (Munas) V Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL) menjadi sorotan publik bukan hanya karena perannya sebagai forum tertinggi dalam menentukan arah organisasi, tetapi juga karena peristiwa penundaan yang memunculkan perdebatan tentang integritas, tata kelola, dan kepemimpinan.
Penundaan Munas V IKAL menggambarkan adanya dinamika internal yang cukup tajam, sekaligus membuka ruang refleksi mengenai pentingnya prinsip integritas dan tata kelola organisasi yang baik (good governance) di tubuh lembaga strategis seperti Lemhannas dan organisasinya.
Sejak awal, Munas sebagai forum kekuasaan tertinggi organisasi memiliki fungsi penting: menetapkan agenda, tata tertib, serta memilih pimpinan sidang yang akan menjaga disiplin forum. Proses inilah yang menjadi pintu masuk untuk melanjutkan ke paripurna-paripurna berikutnya, mulai dari laporan pertanggungjawaban ketua umum masa bakti sebelumnya, pembahasan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), penyusunan program kerja, hingga verifikasi bakal calon ketua umum. Dalam teori tata kelola organisasi, tahap ini sangat penting karena mencerminkan akuntabilitas, keteraturan, dan legitimasi dalam proses pengambilan keputusan.
Namun, dinamika yang terjadi memperlihatkan bahwa Munas tidak berjalan sesuai rencana. Ketika pleno pertama belum selesai hingga malam hari, padahal masih terdapat agenda krusial lain seperti pembahasan AD/ART dan pemilihan ketua umum, muncul permintaan penundaan. Keputusan untuk menunda kemudian direspons positif oleh Ketua Umum DPP IKAL beserta jajaran inti, setelah melalui rembuk bersama dengan DPD, DPA, IKABNAS).
Dalam kerangka governance, keputusan penundaan ini dapat dibaca sebagai langkah rasional untuk mencegah terburu-buru dalam pengambilan keputusan strategis yang menyangkut masa depan organisasi.
Dokumen refleksi yang ditulis oleh Dr. Abidin, Ketua Panitia Seleksi Munas V, memberikan narasi yang lebih jernih mengenai konteks penundaan. Ia mengibaratkan riak penundaan Munas seperti air yang kembali jernih setelah sempat keruh, sehingga ikan dan rerumputan terlihat jelas. Analogi ini menekankan bahwa cooling down bukanlah kegagalan, melainkan strategi kolektif untuk memastikan forum tetap berjalan dalam suasana sukacita dan kebersamaan.
Dr. Abidin menegaskan bahwa permintaan penundaan justru memperlihatkan kedewasaan politik organisasi, sebab paripurna pertama yang seharusnya hanya menjadi pintu masuk Munas ternyata belum selesai hingga larut malam, sementara empat paripurna lainnya masih menanti.
Kehadiran bakal calon ketua umum yang telah diverifikasi juga menjadi catatan penting. Penundaan memberi kesempatan agar proses verifikasi dan tata cara pemilihan dapat ditetapkan secara transparan dan adil melalui forum paripurna berikutnya. Dalam konteks ini, prinsip integritas diuji: bagaimana organisasi memastikan bahwa setiap calon mendapat perlakuan setara, visi-misinya terdengar jelas, dan pemilihan dilakukan secara demokratis. Hal ini sejalan dengan teori demokrasi deliberatif yang menekankan pentingnya partisipasi, keterbukaan, dan diskursus rasional sebelum mencapai keputusan kolektif.
Lebih jauh, dinamika Munas V IKAL tidak bisa dilepaskan dari posisi strategis Lemhannas sebagai lembaga pendidikan dan kaderisasi nasional. Alumni Lemhannas diharapkan menjadi kader bangsa yang berkarakter negarawan, berwawasan kebangsaan, dan berintegritas tinggi.
Ketika organisasi alumninya menghadapi turbulensi, publik wajar mempertanyakan konsistensi antara nilai yang diajarkan Lemhannas dengan praktik nyata yang ditunjukkan para alumninya. Dengan kata lain, Munas V bukan hanya arena internal organisasi, tetapi juga etalase integritas Lemhannas di mata bangsa.
Kepemimpinan Agum Gumelar sebagai Ketua Umum DPP IKAL selama empat periode turut memberi warna dalam pengambilan keputusan penundaan. Dengan pengalaman dan kearifannya, Agum dipandang mampu menjaga keseimbangan kepentingan sekaligus memastikan keputusan yang diambil adil bagi semua pihak. Dari perspektif teori kepemimpinan, hal ini mencerminkan gaya kepemimpinan transformasional yang berupaya mengedepankan konsensus, menjaga harmoni, dan menempatkan kepentingan kolektif di atas ambisi personal.
Meski begitu, penundaan Munas tidak boleh dipandang hanya sebagai solusi pragmatis. Ia juga merupakan alarm evaluasi tentang perlunya penguatan tata kelola organisasi. Agenda besar seperti Munas seharusnya disiapkan dengan perencanaan yang matang, mekanisme yang jelas, serta komunikasi yang baik kepada seluruh peserta.
Jika tidak, organisasi rawan terjebak pada krisis legitimasi dan berulang kali menghadapi riak internal yang mengganggu stabilitas. Dalam kerangka teori organisasi modern, penguatan kelembagaan hanya mungkin terjadi apabila ada sinergi antara struktur, aturan main, dan kepemimpinan yang konsisten.
Keputusan menunda Munas memang mencerminkan rasionalitas dan kebijaksanaan, tetapi tantangan terbesar justru terletak pada bagaimana Munas lanjutan akan dijalankan. Publik menanti apakah proses verifikasi calon, pemaparan visi-misi, hingga pemilihan ketua umum benar-benar berlangsung terbuka, demokratis, dan mencerminkan nilai-nilai integritas Lemhannas.
Munas lanjutan menjadi ujian besar: apakah IKAL mampu membuktikan diri sebagai organisasi alumni yang dewasa, modern, dan berkarakter negarawan, atau justru terjebak dalam tarik-menarik kepentingan yang pragmatis.
Pada akhirnya, Munas V IKAL bukan hanya tentang siapa yang akan terpilih menjadi ketua umum periode 2025–2030. Lebih dari itu, Munas menjadi arena refleksi kolektif tentang pentingnya menjaga integritas, menegakkan prinsip tata kelola organisasi, dan memastikan konsistensi antara nilai kebangsaan yang diajarkan Lemhannas dengan praktik kepemimpinan yang ditunjukkan para alumninya.
Sebab, jika integritas Lemhannas sebagai lembaga strategis bangsa dipertaruhkan, maka sesungguhnya yang dipertaruhkan adalah kredibilitas kader bangsa dalam menjaga masa depan Indonesia.***
(Musfi Yendra. Penulis: Wakil Ketua IKAL Lemhannas Sumbar)