SUDAH terlalu lama rakyat di daerah menaruh harapan pada lembaga bernama DPRD. Ia disebut-sebut sebagai representasi rakyat, pengawas jalannya pemerintahan, serta penentu arah kebijakan lewat penganggaran. Namun kenyataan di lapangan sering kali berbeda jauh. DPRD justru terlihat lebih sibuk menikmati fasilitas dan tunjangan yang tidak sedikit, ketimbang menunjukkan kerja nyata di hadapan rakyat.
Apa yang kita saksikan hari ini?
DPRD lebih sering menjadi tukang stempel eksekutif, menyetujui hampir seluruh usulan kepala daerah tanpa keberanian untuk mengkritisi, apalagi menolak. Fungsi pengawasan yang seharusnya tajam berubah menjadi sekadar formalitas rapat-rapat yang membosankan. Sementara di luar gedung dewan, rakyat masih terhimpit masalah ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang tak kunjung tuntas.
Anggaran untuk DPRD setiap tahunnya sangat besar. Tunjangan, fasilitas, perjalanan dinas, dan segala macam pembiayaan lain tersedot dari APBD, namun apa yang kembali pada rakyat sebagai hasil kinerja? Minim, bahkan hampir tidak terasa. Maka wajar bila masyarakat mulai mempertanyakan: perlu kah DPRD ada, bila hanya menjadi beban dan pelengkap demokrasi semu?
Bagi saya, DPRD tetap penting. Tanpa DPRD, eksekutif akan semakin otoriter, tanpa ada penyeimbang. Tetapi DPRD yang ada hari ini harus direformasi total. Harus ada keberanian moral dan politik untuk menata ulang:
Kinerja DPRD mesti terukur dan transparan.
Tunjangan dan fasilitas hanya layak diberikan bila ada hasil nyata.
Pengawasan harus dilakukan sungguh-sungguh, bukan basa-basi politik.
Anggota DPRD harus hadir di tengah rakyat, bukan sekadar saat kampanye lima tahunan.
Jika DPRD tidak segera berbenah, jangan salahkan rakyat bila kepercayaan semakin hilang. Demokrasi daerah bisa runtuh, dan DPRD akan dikenang bukan sebagai wakil rakyat, melainkan sebagai tukang stempel paling mahal dalam sejarah bangsa ini.***
(Aliet Panglima Melayu)
