Kehilangan Tuah?

Kehilangan Tuah?

Oleh Chaidir

KERUSUHAN yang terjadi dalam aksi unjuk rasa rakyat sejak 25 Agustus hingga pekan pertama September 2025 di Ibukota Jakarta dan di beberapa kota besar lain yang berkembang menjadi amuk massa, diberitakan secara gencar oleh media massa dalam dan luar negeri, dan viral sangat luas dan cepat di ujung jari jutaan netizen Indonesia yang terkenal galak. 

Unjuk rasa penyampaian aspirasi berupa aksi protes yang anarkis dan tindakan oknum aparat penegak hukum yang dianggap "over repressive dan excessive" tersebut telah menimbulkan korban jiwa, dibakarnya beberapa gedung pemerintah dan penjarahan brutal tak terbendung terhadap beberapa rumah pejabat negara. Ada rumor persaingan antara beberapa kelompok manusia dengan manusia lainnya. Biasa. Itu fenomena “bellum omnium contra omnes” (manusia cenderung bersaing antara satu dengan lainnya), kata filsuf Thomas Hobbes bahkan ada indikasi manusia yang satu menjadi serigala bagi manusia lain (homo homini lupus). Entah kemana hilangnya makhluk zoon logikon (hewan yang berpikir dan menggunakan akal budi) itu, seperti disebut filsuf Aristoteles. 

Pemerintah menaksir secara material kerugian yang ditimbulkan oleh aksi unjuk rasa ini tidak kurang dari satu triliun rupiah; seratus triliun pun kerugian fisik yang ditimbulkan, bila itu untuk membela keadilan dan kebenaran menegakkan marwah (harga diri), tak masalah, rakyat akan bayar pajak. Tapi coba renungkan baik-baik wahai cik puan, kerugian immaterial atau kerugian moril berupa hilangnya harga diri, runtuhnya marwah tak ternilai harganya. Luka di tangan boleh diobati, dik sayang ooi, tapi bila hati luka tersayat sembilu kemana obat hendak dicari?

Sayangnya, luka hati tersayat sembilu itulah yang terjadi. Perilaku elit politik dan penguasa yang tak memiliki empati pada nasib dan penderitaan rakyat, dinilai telah mencederai dan melukai perasaan rakyat, sehingga menimbulkan sakit hati, merasa dikhianati, dikecewakan, dan akhirnya menimbulkan kemarahan. Elit politik dan para penguasa terlalu matematis menghitung kebutuhan anggaran bagi negara, lupa bahwa rakyatlah pemilik sah negara ini, dan kebutuhan kesejahteraan rakyatlah yang harus menjadi prioritas, bukan malah dibebani ini itu, sita sana sita sini demi negara. Maka aksi unjuk rasa tersebut merupakan puncak kekecewaan rakyat terhadap elit politik dan para penguasa.

Akibatnya tingkat kepercayaan sosial masyarakat kita terhadap lembaga apapun yang memiliki kekuasaan dan berhadapan dengan rakyat, seperti berada di titik nadir. Alasannya sederhana. Kebijakan tidak pro rakyat, perilaku koruptif, arogan, hedon, dan hipokrit; bila diberi kepercayaan dia khianat, ada janji, janji diingkari; ada sumpah, sumpah dilanggar; ada kewenangan, kewenangan dilampaui; bila berkata dia bohong. Rakyat secara demokratis memilih pemimpin atau politisi, tapi kemudian yang dipilih mengkhianati pemilih.

Padahal seikat janji untuk amanah, untuk tidak berkhianat, tidak menyalahgunakan kewenangan, tidak menggunakan pedang kekuasaan untuk menakut-nakuti rakyat, tidak berbohong, senantiasa ingat akan sumpah jabatan, dengan penuh integritas membela keadilan dan kebenaran, menjunjung tinggi musyawarah dan mufakat untuk menjernihkan yang keruh, ini semua adalah tuah. Orang-orang tua Melayu mengingatkan, menjaga perilaku, ucapan, dan penampilan agar tidak memalukan dirinya atau keluarganya, juga merupakan tuah. 

Kesadaran akan pentingnya tuah yang bisa diartikan sebagai kesaktian sosial merupakan berkah kebaikan, maka peringatan Hari Jadi ke-68 Provinsi Riau tahun 2025 tanggal 9 Agustus 2025 lalu, mengambil tema “Merawat Tuah Menjaga Marwah”. Kapolda Riau Irjen Pol Dr Herry Heryawan ketika awal bertugas di Negeri Melayu Riau beberapa bulan lalu langsung melontarkan jargon “Mengawal Tuah, Menjaga Marwah”. Tuah dijaga untuk menegakkan Marwah. 

Marwah adalah kehormatan diri: martabat, integritas, citra baik. Marwah berkaitan dengan etika, adab, dan tanggung jawab moral. Warwah adalah cermin harga diri dan kehormatan, yang harus dijaga dengan kesantunan, kejujuran (integritas), dan tanggung jawab. Dalam budaya Melayu, kehilangan marwah bisa lebih menyakitkan daripada kehilangan harta.

Kerusuhan yang terjadi dalam aksi unjuk rasa pekan lalu, mencerminkan bahwa masyarakat kita secara sosiologis kehilangan bentuk. Masyarakat seperti ini oleh sosiolog Prancis Émile Durkheim disebut masyarakat anomie; cirinya, norma sosial masyarakat lemah; aturan hidup bersama tidak lagi ditaati atau dihormati. Terjadi krisis moral: nilai-nilai yang biasanya jadi pedoman bersama (misalnya kejujuran, gotong royong) melemah; norma lama runtuh tetapi norma baru belum mapan; rakyat kehilangan keteladanan, kehilangan arah, korupsi merajalela. Hal itu terjadi ketika masyarakat merasa hukum tidak ditegakkan secara adil, atau ketika nilai-nilai bersama tidak lagi dihargai.

Pancasila sebagai ideologi bangsa adalah tuah bangsa kita. Presiden Obama, Presiden Amerika Serikat pada masanya terkagum-kagum dengan Pancasila. Nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang bersatu dalam satu tarikan nafas, adalah tuah bangsa Indonesia. Tuah itulah yang membuat bangsa Indonesia memiliki marwah, harga diri. 

Tapi sayang, kini Pancasila amat jarang diucapkan dalam pidato-pidato elit politik dan penguasa negeri kita. Jangan-jangan kita semua, para pengunjuk rasa, elit politik, penguasa dan aparat keamanan, lepas kontrol karena kita kehilangan tuah. Susahnya, kehilangan sepeda bisa lapor polisi, tapi kehilangan tuah lapor kemana? APH pasti tak siap dengan BAP. Kita semua kembali sajalah ke pangkal jalan, sama-sama kita jaga tuah tegakkan marwah, hari ini juga, sebelum terlambat.***

(Dr. drh. H. Chaidir, MM: Penulis; Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008)

#Opini Dr. Chaidir

Index

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index