Rokan Hulu, RIAU. Deforestasi di Pulau Sumatera bukanlah hal baru, termasuk di Provinsi Riau, khususnya di Kawasan Hutan Lindung Bukit Suligi. World Resources Institute Indonesia (WRI) mengatakan tutupan hutannya sudah hilang sebanyak 56% dalam 21 tahun terakhir (1998-2020).
Ini menjadi ancaman serius untuk kelestarian kawasan hutan lindung Bukit Suligi yang terletak di dua Kabupaten di Riau, yaitu Kampar dan Rokan Hulu, dan berfungsi sebagai daerah resapan air bagi Sungai Kampar, Sungai Siak, dan Sungai Rokan.
Pada awalnya lanskap Bukit Suligi merupakan wilayah yang dikelola oleh masyarakat adat setempat. Tetapi sejak Pemerintah Republik Indonesia mengambil alih peran penguasaan lahan sesuai Undang-Undang Pokok Kehutanan yang berlaku pada 1967, masyarakat secara perlahan mengganti perkebunan karet di sana menjadi perkebunan kelapa sawit karena dianggap lebih praktis dengan harga yang relatif stabil.
- Baca Juga Taktik Jemput Bola
Demi menjaga ketersediaan air di kawasan hutan lindung Bukit Suligi dan sekitarnya, menjadi penting untuk menjaga tutupan hutannya. Bila deforestasi terus terjadi tak pelak akan mengancam kelestarian sejumlah air terjun, hilangnya gumpalan awan yang menyelimuti puncak bukit yang menyerupai samudera awan, hingga musnahnya populasi satwa dilindungi yang hidup di dalamnya seperti harimau sumatera, siamang, rusa, kijang, dan beruang madu.
Undang-Undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan telah mengatur tentang pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai lembaga pengelolaan hutan di tingkat dasar. Di kawasan Bukit Suligi, KPH terbentuk pada tahun 1997, saat perambahan sudah kian parah. Seyogyanya KPH yang terbentuk dapat mengendalikan pengelolaan hutan yang sesuai dengan peruntukannya dan Undang-Undang yang berlaku.
Semula mata pencaharian penduduk setempat adalah bertani dan berkebun karet. Namun seiring berjalannya waktu, masyarakat tergiur dengan prospek keuntungan berlipat ganda yang ditawarkan perkebunan sawit. Lahan yang berada di luar kawasan hutan berpotensi untuk dijadikan kawasan perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh warga tempatan maupun korporasi yang beroperasi di kawasan tersebut. Namun hal ini juga menjadi pemicu percepatan deforestasi di kawasan Hutan Lindung Bukit Suligi.
Menurut pandangan para ahli dan aktivis, tindakan perambahan hutan harus dituntaskan dengan penegakan hukum yang ketat.
“Penegak hukum harus memeriksa atas kerusakan hutan yang diubah menjadi perkebunan kelapa sawit secara ilegal karena potensi kerugian negara dan lingkungan sangat besar dari tindakan perambahan hutan,” tegas Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif Walhi Riau.
Dalam catatan WALHI Riau, dari 8,7 juta hektar luas daratan provinsi ini, sekitar 63,56% atau 5.531.223 hektar dikuasai oleh investasi perkebunan kelapa sawit, kehutanan dan pertambangan.
“Jangan beri ruang korporasi mempengaruhi Dinas LHK, penegakkan hukum terhadap korporasi yang merambah hutan secara liar harus ditegakkan. Para terdakwa sudah ada yang meninggal dunia, namun belum ada upaya hukum terhadap 20 korporasi dan terus merusak hutan alam di Riau,” pungkas Made Ali, SH. selaku koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari).
Data milik Jikalahari menunjukkan selain PT. Padasa Enam Utama (PEU), perusahaan sawit yang beroperasi di kawasan hutan lindung, ada 7 korporasi dan 14 cukong lainnya yang menguasai 45.301 ha dari areal yang dimasukan dalam peruntukan outline (holding zone) pengelolaan lahan di Provinsi Riau:
