Rintik itu memerihkan luka.
Ada gamang, tapi aku harus tetap sekokoh Sialang!
DAWAI kecil selalu manja. Tak pernah merajuk apalagi sampai meneteskan air mata. Senyumnya adalah pengisi jiwa yang sudah menemukan muara. Aku merasa sudah dan selalu sigap untuk memberikan yang terbaik. Mainannya berjibun, berganti hari demi hari.
Pernah suatu ketika, saat Dawai sudah melirik, kuraih dengan segera pakaian untuk sekolah kanak-kanak untuknya.
“Abang mau sekolah,” ujarnya sambil tersenyum.
Senyum itu, alangkah manisnya. Membuatku merasa sudah benar-benar menjadi seorang ayah. Tak terasa tinggi langit, kala itu semua adalah untuknya.
Oh ya, Dawai punya kebiasaan kecil, selalu berlari kemanapun pergi. Larinya secepat kilat dan itu membuatku sangat khawatir ia akan jatuh dan terluka.
Dan baru akan berhenti berlari dan bermain saat meminta susu kesukaannya ketika dahaga, lalu berbaring menyamping sambil meminta agar tak berhenti mengelus punggung kecilnya.
Aduh Mak, tanpa terasa aku meneteskan air mata. Dalam kepalaku terus bermain wajah dan tatapan matanya. Sekuat-kuatnya aku, ternyata tak mampu jauh, denting dawai itu harus selalu ada dalam tatapan karena dialah pengisi jiwaku.
o0o
Ayah kata orang-orang, adalah sebutan yang memiliki baju terlapang, tulang punggung terkuat. Tak perlu pandai berbicara cinta dan tak perlu mahir mengurai air mata, karena demi anaknya, ayah harus selalu bilang, ada! Meskipun belum tahu, ada itu akan didapat dari mana ataupun berasal dari siapa!
Dalam posisi itu aku berada bersama ribuan juta ayah lainnya. Tersenyum dalam janji yang mesti dipenuhi atas permintaannya, seolah-olah ingin memberi kepastian bahwa esok akan ada. Meskipun pada kenyataannya terpaksa mengurainya dalam diam.
Dawai punya pelangi yang tumbuh selaras dan kini semakin semakin indah dengan warna warninya. Lengkap sudah pengisi jiwa yang selama ini berpetualang sesukanya.
Meski suka bertengkar dan membuat pelangi seringkali kesal dan berpura-pura menangis, adalah warna dari keduanya, yang kemudian selalu saling bertanya jika tak bertemu meskipun hanya sesaat. Tapi ketika sudah bertemu, kembali lagi dengan warnanya, sungguh membuat tawa dan bangga.
Dawai tumbuh pada lingkungan yang menurutku normal-normal saja. Diantara saudara dan keluarga lainnya, ia menjelma laksana kestaria dalam rumpun yang sama, demikian pula pelangi.
Pada saat bersamaan, Dawai sudah punya dunianya sendiri. Teman bermain sendiri dan lingkungannya sendiri. Sudah malu bila digandeng atau dipegang tangannya ketika berjalan atau sudah tak mau disuapi saat makan, apalagi diatur-atur soal ini itu.
Namun sungguh, bahwa apa yang dilalui selama hampir 21 tahun terhadapnya, selalu terngiang dan takkan mudah untuk lekang.
Janjianku sudah ditetapkan.
Bila saatnya tiba, aku mau dawai itu kembali, ada ranting rapuh berbalut pelangi yang mesti dia jaga sepenuh jiwa.
Rinduku takkan pernah bertepi membelai punggung kecilmu…

