ICMI: Sitawar Sidingin

Oleh Chaidir

PENULIS mendapat kiriman poster menarik: “Get Well Soon Indonesia”. Semoga lekas sembuh Indonesia. Dalam komunitas Islam ucapannya, “Syafakallah”, maknanya sama. Ucapan ini biasa diucapkan kepada Muslim yang sedang sakit. “Semoga Allah segera memberikan kesembuhan yang sempurna”, atau “semoga Allah mengangkat penyakitmu”.

Apa hubungan poster itu dengan pelantikan ICMI Orwil Riau di Gedung Daerah pada hari Ahad 2 Februari 2025, kemaren? Bagi seorang cendekiawan tentu paham. Sebab ICMI yang didirikan oleh Prof BJ Habibie pada 7 Desember 1990, dan sekaligus menjadi ketua pertamanya, diharapkan menjadi salah satu institusi yang memperkuat interaksi Islam sebagai kekuatan politik untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan yang berguna bagi pembangunan kesejahteraan umat dan peningkatan kualitas manusia, sekaligus juga mengupayakan pemecahan solutif-inovatif terhadap permasalahan strategis lokal, regional, nasional, dan global menuju rahmatan lil’alamin.

Dalam sambutannya, Ketua Umum MPP ICMI, Prof. Dr. Arif Satria, mengingatkan kepada seluruh pengurus ICMI Riau yang baru dilantik untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi umat, berdampak luas dan berkelanjutan. Ia berharap ICMI tidak hanya menjadi inspirasi, tetapi juga bisa memimpin gerakan perubahan dengan inovasi yang berdampak dalam jangka panjang. “Kami mengajak ICMI untuk berpikir dan bertindak dalam dimensi yang lebih panjang,” katanya. Selanjutnya disampaikan bahwa ICMI harus dapat merancang kajian desain demokrasi ke depan untuk mewujudkan cita-cita masyarakat yang berkeadilan dan bermartabat.

Disebutkan, ICMI berfokus pada lima kualitas utama, yaitu Iman, Fikir, Kerja, Karya, dan Hidup, serta memiliki empat peran strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni sebagai inspirasi dan solusi bagi bangsa, rumah besar umat Islam, pengawal kehidupan berbangsa dan bernegara, serta penguat ketahanan pangan. Ia juga menyoroti berbagai tantangan yang dihadapi dunia saat ini, seperti dominasi kecerdasan buatan (Artifiacl Intelligence – AI), perubahan iklim, kemajuan teknologi, serta pemberantasan korupsi.

Indonesia memang sedang tidak baik-baik saja, banyak penyakit sistemik yang menggerogoti. Gejala umumnya terlihat pada penyakit korupsi yang semakin merajalela. Dulu ketika korupsi ditakuti karena diberi stempel sebagai “An Extra Ordinary Crime” sebuah kejahatan super kriminal, obatnya mudah. Ada ‘racikan obat’ yang bernama KPK, bisa dimakan dalam bentuk tablet, disuntikkan atau diberikan dalam cairan infus. Tapi ketika obat itu sekarang diracik dengan berbagai macam cara dan selera penguasa dan DPR, maka KPK yang dulu menjadi lembaga superbodi dalam pemberantasan korupsi, sekarang tak lagi mangkus. Dan di daerah? Riau yang sudah lama penyakitan, kini jadi killing field atau ladang pembantaian.

Penyakit lain yang menggerogoti Indonesia seperti diberitakan dengan gencar dan diviralkan bertubi-tubi oleh netizen, adalah oligarki akut. Oligarki akut yang sangat kolutif dan konspiratif, belum tersentuh hukum, sebab lembaga-lembaga yang memiliki pedang penegakan hukum, seperti KPK, kepolisian, kejaksaan, bahkan Mahkamah Konsitusi, seperti diam seribu basa. Mereka menunggu sampai ada pihak yang membuat laporan serius, tidak hanya orasi dalam unjukrasa. Tapi pihak pelapor khawatir terhadap serangan balik dari “oligarki and the gank”, berupa tuduhan pencemaran nama baik.

Dan masih banyak penyakit lain yang menggerogoti Indonesia seperti penyalahgunaan kekuasaan, dinasti-isme, kroni-isme, mafia kasus, mafia peradilan, mafia pajak, mafia tanah, mafia pembuatan sertifikat Hak Guna laut, narkoba, judol, bahkan pencetakan uang palsu ratusan triliun rupiah, semuanya baru mulai ditangani setelah penyakit-penyakit tersebut diviralkan netizen. Padahal penyakit-penyakit tersebut sudah sekian lama menggerogoti.

“Get well soon Indonesia”. “Syafakallah Indonesia”. Kita perlu memberi obat ramuan sitawar sidingin untuk menambah semangat agar lekas sembuh, tantangan masa depan tidak ringan. Dan salah satu sitawar sidingin bagi masyarakat Indonesia yang “sedang tidak baik-baik saja” itu adalah kehadiran Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Kenapa ICMI?  Karena ICMI adalah organisasi kemasyarakatan yang menjunjung “Keterbukaan, Kebebasan, Kemandirian, dan Kekeluargaan; Keilmuan, Kepakaran, Kecendekiawanan, dan Kebudayaan; Ke-Islaman dan Ke-Indonesiaan”. Semua nilai-nilai tersebut ada dalam setiap tarikan nafas ICMI.

Sekda Prov Riau Taufik OH mewakili PJ Gubernur Riau, agaknya tidak berlebihan ketika menyampaikan harapan, bahwa Pengurus ICMI Riau periode 2024-2029 bisa memberikan kontribusi, solusi dan inovasi bagi persoalan di Provinsi Riau dan secara umum yang ada di Indonesia.  “Pengurus ICMI ini kan tempat berkumpulnya para ahli dan pakar, jadi bisa memberikan analisa dan masukan terkait permasalahan kita,” tambahnya.

Di tengah masyarakat supersmart sekarang yang bersahabat erat dengan kecerdasan buatan, berat beban tanggungjawab moral ICMI, apalagi dihadapkan dengan social distrust (ketidakpercayaan sosial) masyarakat. Jejak digital para penasehat, dewan pakar dan pengurus ICMI (khususnya Orwil Riau) tersimpan di awan, tak bisa di-takedown. Yang penting sebenarnya adalah, critical thinking capacity, kapasitas berpikir kritis seluruh personil dalam struktur tersebut harus ditingkatkan. Sebab ICMI dengan kecendekiawanannya banyak berperang melawan pandemi virus akal budi, seperti kebodohan, hilangnya akal sehat, akal bulus, kelicikkan, sikap suka berbohong, pengkhianatan, kemunafikan, lari dari tanggungjawab, dan sejenisnya.

Menumbuhkan kemampuan berpikir kritis (critical thinking) sangat penting karena dapat membantu manusia menghadapi tantangan masa depan, memecahkan masalah, berpikir dan bersikap logis dan rasional dalam memilih alternatif terbaik, dan melihat masalah dengan objektif. Caranya, ICMI harus imparsial terhadap politik identitas, jangan bawa ICMI ke wilayah eksklusif kepentingan politik sempit, tapi tetaplah inklusif dan objektif.

Filsuf dan novelis kritis Prancis, Julien Benda dalam bukunya “Pengkhianatan Kaum Cendekiawan” (1999, Alih Bahasa: Winarsih P. Arifin; Penyunting: Jean Couteau) menulis, bahwa seorang cendekiawan yang bercampur dengan kepentingan politik sempit atau menjadi bagian dari kekuasaan yang tidak adil, ia telah berkhianat. Para penasehat, dewan pakar, dan pengurus ICMI Orwil Riau, semoga menjadi sitawar sidingin, dan semogalah Julien Benda salah dengan hipotesisnya. Kita tak mau jadi cendekiawan pengkhianat, kan WaK? Tabik.***

(Dr. drh. H. Chaidir, MM, Penulis; Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008).

 

gambar