Jembatan Leighton, Sentuhan Perusahaan Minyak Yang Membentuk Jantung Ekonomi Modern Pekanbaru

Pekanbaru (AmiraRiau.com) – Kehidupan tanpa infrastruktur dan teknologi yang memadai, dirasakan oleh para orang tua kita dahulu. Mendayung sampan tanpa mesin, berjalan kaki, naik sepeda onta, naik bendi atau berkuda, beberapa contoh perkembangan kehidupan yang mungkin anda dan saya belum lahir atau masih pernah sedikit merasakan kehidupan yang demikian.

Seiring dengan program pemerintah dan masuknya para investor di suatu daerah, tidak heran, dampak perkembangan suatu daerah sangat terasa pesatnya, mendukung segala sektor kehidupan masyarakat setempat. Berbeda dengan hari ini, generasi sekarang sudah merasakan manfaat infrastruktur dan teknologi yang memadai. Sampan sudah bermesin, sepeda sudah digantikan kendaraan mesin motor dengan berbagai merek mesin, jalan-jalan sudah diaspal dan terhubung satu wilayah dengan wilayah lainnya, baik jalur hubungan darat, laut dan udara kini tersedia dengan kecepatan bermacam-macam. Dan kini sampai pada proses up to date teknologi terkini alias tercanggih, terintegrasi dan sangat kompleks, bisa dimanfaatkan banyak masyarakat dunia, baik dalam membangun maupun berkomunikasi dan memanfaatkan semuanya dalam kehidupan.

Demikian halnya, pada sekitar tahun 1950, Provinsi Riau belum memiliki akses jalan yang memadai. Jalan utama yang menghubungkan Pekanbaru ke Padang masih berupa jalan tanah. Sampai pada kedatangan perusahaan besar yang sangat berteknologi dan berinvestasi besar dalam pengelolaannya, yakni PT Caltex Pacific Indonesia sebuah perusahaan minyak dan gas bumi Amerika yang datang ke Indonesia, dimana salah satu pusat eksplorasinya adalah di Riau, mulai membangun infrastruktur jalan raya yang digunakan untuk mengangkut minyak bumi. Jalan ini merupakan penghubung Dumai-Padang yang pertama kali sepanjang sejarah.

Merasakan penggunaan infrastruktur sederhana sebelum Chevron membangun jalan-jalan dan jembatan itu, dirasakan oleh warga Pekanbaru yang wilayahnya juga sebagian ada dibelahan antara Sungai Siak, yakni sebelah Utara warga Pekanbaru yang tinggal di Kecamatan Rumbai (sebelum pemekaran kecamatan, red) dan sebelah Selatan adalah pusat pemerintahan Provinsi Riau beraktivitas, dimana perbatasan sesudah dibelah sungai, yakni dimulai dengan Kecamatan Senapelan, hingga ke jantung Kota Pekanbaru dan kecamatan lainnya.

Warga Rumbai yang akan ke jantung kota harus bersampan untuk bisa menyeberang, demikian sebaliknya. Para pekerja mitra Chevron menyeberang dengan sampan atau dengan rakit tradisional warga atau ferry sederhana untuk bisa mencapai daratan Rumbai.

Demikian juga halnya, ketika segala aktivitas dari dua arah wilayah yang terbelah Sungai Siak tersebut dalam mengangkut barang-barang dan menyeberang satu sama lainnya menggunakan perahu tanpa mesin.

Kenangan dan kebanggaan menggunakan sistem transportasi sederhana tersebut dirasakan seorang mantan pekerja mitra Chevron, Kolbi (75) yang ketika itu sempat menyeberang ke Rumbai menggunakan perahu.

“Membayar perahu tersebut dengan uang 2 rupiah, karena sudah biasa terkadang saya tidak membayar pun tidak apa-apa,” ujarnya seru menjelaskan perkembangan masa lalu. “Pukul 06 pagi saya sudah meluncur dari rumah yang dulunya tinggal di sekitar Pasar Pusat sebelah Timur Jenderal Sudirman, tepatnya sekitar Jalan Pinang Sebatang. Bersama teman-teman sejawat mereka menuju tepi Sungai Siak berjalan kaki dan menunggu giliran sampan menyeberang,” jelasnya.

Bersiap-siap bangun pagi, berjalan kaki dan menunggu penyeberangan tersebut merupakan kenangan yang sangat termateraikan di pikiran lelaki tua yang kini hanya menikmati pensiunan ini.

“Kami dulu santai, cepat dan senang-senang saja menunggu dan menyeberang, baik pergi maupun pulang, tidak pernah mengeluh,” ujarnya.

Sambil menunggu giliran, menurut Kolbi, mereka melihat berbagai aktivitas ketika itu. Banyak sampan dan kapal bermesin yang datang dan pergi. Sampan-sampan berjejer di sepanjang sungai dekat kota dari kedua sisi belahan sungai seputar jembatan.

“Namun ketika PT Chevron meningkatkan fasilitasnya terutama untuk pekerja dan juga masyarakat tempatan,” segalanya menjadi lebih bersemangat dan berubah dengan cepat. Apa lagi, ketika Jembatan Leighton selesai dibangun,”paparnya.

“Perubahan wajah kota Pekanbaru dan titik awal perkembangan ekonomi modern pun terjadi,” imbuhnya.

Kata Kolbi meski jembatan Siak lainnya kini sudah ada, namun perubahan dan pewarnaan makna kehidupan untuk merangkak dari tradisional, semi modern dan modernpun sangat mengubahkan baik dalam pemanfaatan waktu, kinerja, pergerakkan ekonomi dan kebanggaan di hati warga Kota Pekanbaru menjadi fenomenal.

Hal ini ditunjukkan Kolbi bahwa awal foto warna di era 1980-an, membuat jembatan ini jembatan tempat wisata dan berjalan dan mengambil foto kenangannya dan sangat terkenal.

Dikatakan Kolbi, mungkin jembatan Siak berikutnya lebih moderen. Namun penerimaan warga dengan berdirinya Jembatan Leighton yang moderen ketika itu adalah signifikan. Tidak sama dengan ketika jembatan Siak II, III atau IV. Sebab, ketika itu masyarakat beranjak dari sistem yang tradisional, kemudian berkembang dengan sistem yang lebih mantap dan megah.

“Berbeda dengan sekarang warga sudah terbiasa menerima infrastruktur yang modern,” ujarnya.

Jembatan Ponton

Hal itu disebabkan dengan kedatangan PT Caltex Pacific Indonesia yang saat ini menjadi PT Cevron Pacific Indonesia. Cara-cara transportasi perlahan mulai berubah ke arah yang lebih baik dan mudah. Untuk memudahkan penyeberangan, pada tahun 1958 PT. Cevron Pacific Indonesia membangun Jembatan Ponton yang dapat dibuka tutup. Jembatan yang menghubungkan dua sisi Sungai Siak yaitu bagian selatan dan utara Jalan Yos Sudarso terbentang sepanjang 95 meter dengan empat landasan apung tersebut, akan terbuka saat kapal melintas di Sungai Siak dan tertutup ketika kendaraan akan melintas atau menyeberang. Jembatan tersebut merupakan kumpulan perahu besi yang terhubung hingga seberang. Masyarakat dapat menggunakan jembatan tersebut pada pagi dan sore hari, selanjutnya digunakan untuk kepentingan Caltex yang saat ini menjadi PT Chevron Pacific Indonesia.

Communication Corporate Affair PT Chevron Pacific Indonesia, Yulia Rintawati mengatakan bahwa setelah PT CPI bekerjasama dengan pemerintah Indonesia, untuk pertama kalinya dalam sejarah, PT CPI melakukan pembangunan infrastruktur mulai dari jalan raya yang menghubungkan Dumai-Padang

“Jembatan Ponton untuk menyeberangi Sungai Siak yang digunakan selama 18 tahun, dilanjutkan dengan Pembangunan Jembatan Leighton atau Jembatan Siak I,” jelas Yulia.

“Tidak hanya berhenti di situ, PT CPI juga membangun berbagai fasilitas umum di Riau mulai fasilitas pendidikan, olah raga, dan fasilitas lainnya. Hal ini ditujukan untuk mendukung pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk membangun bangsa di semua sektor,” tutup Rinta.

Jembatan Ponton sangat bermanfaat bagi warga yang akan menyeberangi Sungai Siak ketika itu.

“Dulu saat orang tua kami mau kerja ke Rumbai Pesisir, mereka harus menyeberangi sungai pakai sampan. Kala itu Sungai Siak adalah sungai yang sangat ramai. Kapal besar yang mengangkut komoditi ekspor dan bahan pokok lintas negara bisa melewati sungai ini. Perahu pencari ikan juga ramai lalu lalang. Menyeberang pun harus bergantian. Bahkan dari cerita orang tua kami dahulunya di Sungai Siak juga ada perdagangan di atas perahu,” tutur Juli Nasution selaku masyarakat asli Kampung Bandar sekaligus peneliti sejarah Kota Pekanbaru yang terhimpun dalam Komunitas Pekanbaru Heritage Walk.

“Sampailah saat ada Jembatan Ponton, kita terbantu untuk menyeberang pagi dan sore hari. Sebetulnya jembatan itu milik Caltex, namun masyarakat bisa menggunakannya di saat-saat tertentu. Selama 18 tahun Jembatan Ponton dipakai, dibangunlah Jembatan Siak I yang ketika itu megah dan terkenal di seluruh Indonesia karena diresmikan Oleh Bapak Soeharto. Dan jembatan Leighton adalah yang termegah di Sumatera pada era tersebut. Dulu kami menyebutnya Jembatan Leighton, belum tahu kalau nama sebenarnya itu Jembatan Siak I. Bangga sekali rasanya sudah ada Jembatan Leighton, kita bisa menyeberang kapan saja tanpa dibatasi waktu. Makin mudah untuk perjalanan dari dan menuju ke Rumbai Pesisir. Saya dulu sekolah di SMA 3 Rumbai, sekolah itu juga dibangun Caltex atau Chevron,”ujarnya dengan raut muka mengingat kebanggaan akan pembangunan insfrastruktur yang menjadi ikon Kota Pekanbaru.

Mulai 19 April 1977, penyeberangan dialihkan ke Jembatan Leighton. Jembatan tersebut diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia, Soeharto. Jembatan termegah di Sumatera tersebut diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia pada 12 Juli 1977 yang ditandatangani oleh Chairman of Managing Board Haroen Al Rasyid dan Gubernur Riau yang menjabat saat itu, Arifin Achmad serta disaksikan oleh Duta Besar Amerika Serikat untuk Republik Indonesia, D.D. Newsom.

Foto Jembatan Ponton tahun 1960. Sumber : PT. CALTEX PACIFIC INDONESIA (Foto ini telah dihibahkan kepada Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Pekanbaru) Koleksi : Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Pekanbaru.

“Jembatan ponton adalah milik Caltex yang saat ini dikenal dengan PT Cevron Pacific Indonesia yang digunakan untuk kepentingan Caltex, namun masyarakat juga bisa menggunakannya pada saat-saat tertentu. Pada tahun 1938 Caltex sudah menanda tangani kontrak eksploitasi minyak pertama di Bumi Melayu bersama Sultan Siak,” jelas Ketua Majelis Kerapatan Adat LAM Kota Pekanbaru, Datuk Oka Tabrani.

Saat meresmikan jembatan yang menjadi landmark Kota Pekanbaru tersebut, Presiden RI Soeharto menyatakan bahwa Jembatan Siak mempunyai arti penting dari segi ekonomi dan sosial, tidak hanya bagi Provinsi Riau, tetapi juga Sumatera. Lantas bagaimana cerita pembangunan jembatan Leighton yang dikenang sebagai pengantar awal sejarah modern infrastruktur di Pekanbaru dan tonggak sejarah perkambangan ekonomi Pekanbaru?

‘Leighton’ Mengambil Nama Perusahaan Kontraktor Australia

Jika PT CPI merupakan perusahaan Amerika, maka tidak serta merta semua mitra kerjanya Amerika atau Indonesia. Siapa sangka kontraktor pembangunan jembatan yang diberi kepercayaan oleh PT CPI sebagai pelaksana pembangunan Jembatan Leighton, adalah sebuah perusahaan konstruksi asal Australia, yakni PT Leighton Indonesia Construction Company. Saat jembatan tersebut dibangun, sang kontraktor memasang plang nama berukuran besar bertuliskan “PT Leighton Indonesia Construction Company” di depan gerbang proyek pembangunan Jembatan Leighton.

Hal tersebut menjadi alasan masyarakat lebih mengenal jembatan tersebut dengan nama jembatan Leigton. Bahkan sebutan Jembatan Leighton masih melekat di masyarakat hingga saat ini.

Jembatan yang mulai dibangun pada 1973 dengan panjang 350 meter itu diperkirakan mampu berfungsi dengan baik hingga 50 tahun kemudian. Proyek tersebut membutuhkan 600 ton baja, 1.200 kaki kubik beton, 150.000 kaki kubik tanah timbun, serta pengaspalan jalan 700 meter persegi.

Seiring dengan perkembangan Kota Pekanbaru, kekuatan jembatan ini diperkirakan tinggal 30 persen saja sehingga dipasang portal di tiap ujung jembatan untuk membatasi tonase kendaraan yang melewatinya.

Tonggak Sejarah Ekonomi Modern Kota Pekanbaru

Sejak difungsikannya Jembatan Leighton, peradaban perekonomian mulai berkembang pesat. Angkutan barang maupun orang yang semula melewati jembatan ponton hanya pada pagi dan sore hari, kini dapat berjalan kapan saja. Hal ini semakin mempermudah transportasi yang mendukung kemajuan ekonomi Kota Pekanbaru.

Menurut Guru Besar Universitas Riau, Bidang Studi Pembangunan, Ilmu Ekonomi Pertanian, dan Ilmu Ekonomi, Prof. Dr. H.B. Isyandi, SE., MS, jembatan yang menghubungkan beberapa kecamatan menjadi daerah penyangga atau interland memberikan beberapa keuntungan bagi Kota Pekanbaru.

“Keuntungan pertama dengan adanya jembatan, kita bisa melihat perpindahan penduduk yang tadinya bermukim di wilayah Pekanbaru yang berada di pusat perdagang dan jasa. Selain itu juga meningkatnya mobilitas untuk bermukim di wilayah Rumbai dan sekitarnya. Bahkan berkembang venue olah raga hingga pusat pendidikan dengan adanya Universitas yang berpusat di Rumbai. Kedua memberikan kesempatan wilayah Rumbai menjadi pusat aktifitas olah raga, pendidikan, dan perekonomian. Ketiga memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah yang semula sulit menarik pajak daerah seperti PBB, jasa restoran, fasilitas pendidikan dan sebagainya. Hal tersebut merupakan sumber pendapatan daerah. Adanya jembatan dapat meningkatkan pendapatan daerah walau tidak terlalu besar, namun cukup dominan dan signifikan. Keempat, kota Pekanbaru menjadi lirikan pertama investor yang dinilai aman dan strategis karena merupakan lalu lintas di pusat Sumatera. Kota Pekanbaru menjadi tempat berbisnis yang menyenangkan dan menjanjikan khususnya di sektor perdagangan dan jasa. Hal ini salah satu pendorong arus lalu lintas yang tinggi dengan adanya jembatan tersebut. Sehingga menjadi basis pusat perbankan dan industri yang memberikan dampak besar bagi perekonomian. Inilah yang disebut denyut jantung sistem transportasi di Pekanbaru,” jelas Isyandi.

“Yang tidak kalah penting jika dihitung, sumbangan jembatan terhadap laju kecepatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) antara 5% sampai 7% yang menyangga ekonomi. Barang produksi di Riau jika dihitung nilainya adalah 25% dari total peredaran se-Sumatera dan itu digerakkan oleh Pekanbaru,” imbuh Guru Besar Universitas Riau tersebut pada 23 Agustus 2020.

Berikut tabel Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Pekanbaru atas dasar harga konstan pada tahun 2010 menurut lapangan usaha yang menggambarkan kemajuan perekonomian Kota Pekanbaru :

 

Jembatan Yang Mendukung Pertumbuhan Penduduk Sekitarnya

Sementara itu, Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau H Sugeng Pranoto, S.Sos menyatakan, keberadaan Jembatan Siak I sangat mempengaruhi pertumbuhan jumlah penduduk.

“Pertumbuhan penduduk di sekitar Jembatan Siak I terbilang cepat, yang semula sepi menjadi ramai. Nilai jual tanah dan bangunan yang meningkat juga mendorong pertumbuhan penduduk di sana,” jelas Sugeng Pranoto.

Dalam grafik ini dapat dilihat bahwa jumlah penduduk di sekitar Jembatan Siak I pada tahun 2019, yaitu Kecamatan Senapelan, Rumai, dan Rumbai Pesisir adalah di atas 10% dari seluruh jumlah penduduk di Kota Pekanbaru.

Jembatan Indah Yang Masih Mempesona

Di era 1980 hingga 1990-an, masih segar dalam ingatan kita, bagaimana pelan-pelan fenomena sekitar Jembatan Leighton berubah. Kesibukan sampan-sampan nelayan sirna satu demi satu di telan jaman, ditambah lagi dengan PT Rikri (perusahaan karet, red) yang telah direlokasi dari tempat tersebut karena dampak lingkungan.

Dulunya suasana ketika kita melewati jembatan, akan tampak sampan-sampan dan perahu kapal bermotor. Namun kisah aktivitas yang demikianpun telah pupus dengan kebijakkan pembangunan jembatan di sepanjang Sungai Siak yang tidak membenarkan lagi akses kapal besar atau bermesin kecepatan tinggi masuk.

Namun ketika pantauan AmiraRiau.com di lapangan pada sore hari beberapa hari lalu, terlihat masih tersisa kenangan secara fisik yang masih bisa kita dijumpai. Sisa-sisa kemegahan sebagai jembatan terbaik yang pernah ada tampak tidak pernah pupus dimakan waktu, walaupun disisi kanan taman menghadap utara di bawah jembatan, tampak kemegahan modern Jembatan Siak IV, namun tidak meruntuhkan sisa-sisa indahnya pesona Leighton.

Bahkan sebuah sampan warga setempat, tampak memancing di bawah seputar jembatan menambah ingatan kita akan susana lingkungan seputar Leighton tempo dulu. Seorang lelaki tua, duduk disebuah sampan meluncur palan-pelan mengapung dengan riak-riak kecil gelombang sungai dan berhenti di setiap titik di bentang sungai tersebut, sambil memegang pancing.

Fenomena sampan yang hanya sendiri mengapung dan dari kejauahan hanya kelihatan sedikit muncul dipermukaan air sungai, menambah fenomena di bawah jembatan itu kontras dengan makin modernnya pembangunan infrastruktur. Justru perahu kecil dan sang nelayan yang memancing ikan tersebut menambah pesona dan kenangan Leighton yang dinaungi sinar jingga matahari yang akan terbenam di barat di kejauhan menjadikan kita rindu akan legenda Leighton di eranya.

Bisa dirasakan untuk sejenak sekelebat dalam ingatan, ketika melalui jembatan kita akan menjumpai sampan-sampan atau kapal motor warga yang melakukan aktivitas, kini sirna tertelan peradaban yang makin modern. Warga tempatan yang dulunya ramai memenuhi sungai seputar jembatan, kini sekitar jembatan hanya ramai sebagai tempat rileks bagi warga Kota Pekanbaru dengan warung di bawah jembatan.

Namun jejak sejarah Leighton, sentuhan gaya perusahaan minyak ternama PT CPI, masih tinggal dibenak kita bersama, bahwa Leighton dibangun bukan saja sebagai Landmark Kota yang mengubahkan, tetapi juga tonggak awal perkembangan ekonomi modern Kota Pekanbaru.**

 

 

 

 

gambar