Oleh : Siti Erwina Youwikijaya (Asisten Peneliti)
Masyarakat Desa Pulau Muda Kecamatan Teluk Meranti Kabupaten Pelalawan menemukan cara untuk merespon larangan pemerintah dalam mengolah lahan gambut dengan cara dibakar yang akan digunakan untuk usaha pertanian.
“Dulu usaha pertanian kami padi dan jagung, tapi jagung baru bagus kalau lahannya di bakar baru ditanami jagung, akibatnya lahan kami banyak yang tidak dikelola kadang ketika musim kemarau terbakar. Sekarang masyarakat mulai beralih ke nanas karena pengolahan lahannya tidak perlu di bakar tidak seperti jagung, padi, dll. Sehingga nanas lebih ramah lingkungan terhadap tanah gambut. Nanas juga menjadi kebutuhan disini untuk peternak walet, sehingga pasar nanas ada dan cukup membantu perekonomian masyarakat,” Demikian disampiakan oleh Wo Anas, tokoh Masyarakat, mantan kades Desa Pulau Muda.
- Baca Juga Taktik Jemput Bola
Sejak keluarnya regulasi kebijakan politik pemerintah dalam hal larangan membuka lahan dengan cara membakar hutan secara tegas diatur dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h UU PPLH. Sementara, undang-undang lain yang mengatur tentang larangan membuka lahan dengan cara membakar dapat kita temukan dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (“UU Perkebunan”) . Sejalan dengan UU PPLH dan UU Perkebunan, aturan lain soal membuka lahan dengan cara membakar dapat kita lihat dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan (“Permen LH 10/2010”).
Masyarakat gambut di Desa Pulau Muda, Kab. Pelalawan saat ini memanfaatkan lahan gambut untuk membudidayakan tanaman nanas. Pilihan berkebun nanas di pilih masyarakat guna mematuhi aturan pemerintah yang melarang pengelolahan lahan gambut dengan cara membakar lahan dalam rangka mencegah kebakaran hutan dan lahan, tambah Anas lagi.
Penyataan Anas tersebut dibenarkan oleh Direktur Perkumpulan Scale Up, Dr.M.Rawa El Amady yang melakukan penelitian di Desa Pulau Muda pada Februari, 2020 lalu. Bahwa secara kultural budidaya nanas berdekatan dengan budaya pertanian masyarakat subsisten, yaitu sekali menanam bisa bertahan puluhan tahun dan setiap periode tertentu bisa di panen, dan tersedia pembelinya langsung.
[caption id="attachment_26971" align="alignnone" width="460"] Pengembangan pertanian nanas yang ramah lingkungan.[/caption]
“Khusus nanas di Desa Pulau Muda sudah tersedia ekosistemnya, di mana tersedia bibit, tersedia lahan dan tersedia pembeli yang yang berkelanjutan. Pembeli nanas di pulau muda sudah melebihi dari kapasistas produksi, bahkan harus mendatangkan nanas dari Pekanbaru. Konsumen nanas di Pulau Muda adalah rumah sarang walet,“ jelasnya lagi.
Pada saat ini di Pulau Muda terdapat lebih kurang 600 rumah walet. Artinya hampir sepertiga dari jumlah 1.964 KK . Kehadiran rumah walet ini berdampak positif terhadap perkembangan budidaya nanas. Karena buah nanas menjadi kebutuhan rumah walet untuk dijadikan hama burung walet. Nanas di jual disini untuk hama walet. Caranya nanas itu di busukkan dulu sekitar 3 sampai 4 hari, setelah itu nanas dimasukan dalam kandang, setelah busuk jadi hama barulah di makan walet
Amir, petani nanas menyampaikan bahwa dia sudah menanam 7000 nanas tanpa bakar bahkan rencananya akan mengembangkan nanas dengan menanam sampai 50.000 batang. Dia bekerja sama dengan perusahaan HTI (Hutan Tanaman Industri) melakukan land clering, semua kayu di atas tanah diambil perusahaan, lalu lahan akan ditanam nanas.
Berkebun nenas menjadi pilihan baru kegiatan ekonomi masyarakat gambut, selain tidak perlu membakar, cara penanamannya juga mudah dan sederhana, dan sedikit hama. Pasarnya juga jelas ada di dalam kampung yaitu untuk memenuhi permintaan bisnis walet, selain itu buah nanas juga di jual di pasar Pulau Muda setiap hari kamis.