Panggung Pilkada Serentak

Oleh Chaidir

SEPERTI drakor-drama Korea, panggung tahun politik 2024 akan ditutup dengan episode yang ditunggu-tunggu, yakni episode drama Pilkada Serentak 2024. Dua episode sebelumnya, yakni Pemilu Legislatif dan Pilpres di awal tahun menjadi panggung drama yang sarat dengan peran tokoh-tokoh antagonis dan protagonis. Episode penutup ini pun kelihatannya tak akan banyak berubah.

Becermin dari panggung drama pemilu legislatif dan pilpres 2024, para pemain dan sutradara-sutradara drama Pilkada Serentak 2024 ini kelihatannya semakin piawai mengolah panggung drama apalagi sebagian besar tokoh pemerannya masih yang itu-itu juga, alur cerita pun masih yang itu-itu juga. Pemain yang licik dan wasit yang tidak netral masih yang itu-itu juga. Jangan lupa, penonton dan penggembiranya pun masih yang itu-itu juga. Rentang waktu sembilan bulan antara dua episode di awal dan di ahkir tahun, terlalu singkat untuk mengubah perilaku sosial masyarakatnya.

Begitulah perilaku kehidupan. Lirik lagu lawas grup band God Bless “Dunia Ini Panggung Sandiwara”, yang populer lebih dari lima puluh tahun silam, yang dinyanyikan juga oleh rocker Nicky Astria, agaknya tepat memberi gambaran perilaku sosial kehidupan masyarakat kita di tahun politik 2024 ini. “….Setiap kita dapat satu peranan; yang harus kita mainkan; ada peran wajar ada peran berpura-pura; mengapa kita bersandiwara…..”

Bila pertanyaan Ahmad Albar penyanyi God Bless itu kita bawa ke ranah sosiologi kehidupan nyata, “mengapa kita bersandiwara”, maka jawabannya lebih kurang, karena kita ingin membangun citra, branding diri, harus membentuk opini, untuk menutupi wajah aslinya, agar persepsi orang lain tentang diri kita sesuai dengan yang kita kehendaki. Orang baik, dermawan, agamis, nasionalis, humoris, adalah perspesi milik orang lain tentang diri kita. Kalau wajah aslinya tidak demikian, maka untuk mendapatkan persepsi itu, seseorang harus berpura-pura; pura-pura baik, pura-pura patuh hukum, pura-pura ta’at, pura-pura netral, dan seterusnya.

Sosiolog terkemuka Amerika yang lahir di Canada, Erving Goffman dalam bukunya “Presentation of Self in Everyday Life” (1959) mengemukakan teori tentang perilaku sosial masyarakat, yang terkenal sebagai teori dramaturgi.  Dalam teori dramaturgi Goffman, hidup adalah sandiwara kehidupan yang dimainkan  oleh manusia. Hidup itu seperti teater, ada interaksi sosial yang berlangsung di atas panggung dengan menampilkan peran para aktor. Situasi dramatik dalam dunia nyata dalam kehidupan sehari-hari, seolah-olah terjadi di atas panggung.

Dalam kehidupan sosial nyata, menurut teori dramaturgi, masyarakat berada dalam dua panggung: panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Front Stage adalah tempat seseorang berperan atau bersandiwara, panggung penampilan dan gaya. Di panggung ini individu membangun dan menunjukan sosok ideal dari identitas yang hendak ditonjolkan dalam interaksi sosialnya. Panggung depan adalah wilayah branding diri.

Pada bagian lain, back Stage atau panggung belakang merupakan tempat pemain mempersiapkan diri atau berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan. Back stage merupakan bagian tersembunyi dari pertunjukan. Bagian ini dimaksudkan untuk melindungi rahasia pertunjukan dan menjadi tempat individu tampil seutuhnya dalam identitas atau karakter aslinya. Semua rekam jejak atau jejak digital seseorang ada di wilayah back stage.

Dalam kehidupan sosial media misalnya, panggung depan pemilik akun tentu akan beda dengan apa yang dijalaninya dalam kehidupan nyata sehari-hari di belakang panggung. Melalui sosial media seseorang membangun pencitraan atau branding agar terlihat sempurna dalam kehidupannya. Teori dramaturgi menggambarkan manusia yang tidak tampil “apa adanya” di dalam kehidupan sosial, senantiasa berpura-pura.

Maka sesungguhnya, panggung drama dalam teori dramaturgi itulah yang terjadi dalam panggung politik kita di tahun politik 2024 ini, ada drama politik dinasti, ada drama batas usia calon, ada drama kotak kosong, drama SIREKAP, drama politik uang, drama jet pribadi, drama fufufafa, drama deklarasi pilkada damai, drama pagar makan tanaman, drama serigala berbulu domba atau musang berbulu ayam, dan sebagainya.

Drama episode pertama di panggung politik 2024, pileg dan pilpres, telah kita saksikan bersama. Sekarang episode penutup, Pilkada Serentak 2024.  Para pemain pangggung politik, para penyelenggara panggung, wasit panggung, tentu sadar, di era IT yang supercanggih ini tak ada rekam atau jejak digital di panggung belakang yang bisa ditutup-tutupi atau dikelabui dengan drama di panggung depan, seberapa baik pun drama dimainkan. Orang tua-tua kita mengingatkan sebuah peribahasa usang, “Sekali lancung keujian, seumur hidup orang tak akan percaya”. Artinya jelas, sekali berbuat jahat, tidak jujur, berbuat bohong, seumur hidup orang tidak akan percaya lagi.***

Penulis: Dr. drh. H. Chaidir, MM
Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode (1999-2004 dan 2004-2008)
Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR)

gambar