Jon Afrizal/Jambi
CERITA orangtua dulu, menunaikan ibadah haji sangat susah. Mereka harus menggunakan kapal menuju Tanah Suci.
Ada yang berkata lamanya satu bulan perjalanan laut, atau mungkin sekitar itu.
Berhari-hari di laut, dan kemudian melanjutkan rukun haji, tidaklah gampang. Butuh fisik yang kuat.
Supaya tetap ada bahan makanan, maka dipilihlah rendang. Makanan yang tahan lama, dan prosesnya hanya butuh dihangatkan saja, dan langsung dapat dilahap.
Meskipun, proses pembuatannya tak segampang itu. Nanti kita bicarakan terkait prosesnya.
Agar rendang tahan lama, tentu butuh daging yang baik. Daging As sapi adalah pilihan terbaik. Tetapi boleh juga daging kerbau.
Untuk penghematan, daging dipotong kotak-kotak kecil. Selain juga dicampur dengan kacang merah atau kentang bulat berukuran kecil.
Maklumlah, mereka yang berhaji jaman itu butuh kekuatan ekstra. Ekstra hemat dan ekstra kuat.
Pada tahun '90 atau sebelum itu, ada kebijakan pelaksana haji untuk tidak memperbolehkan siapa pun yang berhaji untuk membawa berbagai peralatan memasak dan makanan jadi.
Sejak itu, rendang tidak lagi ikut berangkat ke Tanah Suci.
Bagi kami keturunan Minang, rendang adalah "sesuatu yang harus ada".
Meskipun rendang harus membatu di freezer lemari es.
Seperti ungkapan para orangtua, "Jika ada tamu yang datang, kita tidak kebingungan lagi karena masih ada simpanan lauk".
Bicara rendang adalah bicara tradisi, hal yang terjadi sejak lama, turun menurun.
Beberapa warung lontong pun menyiapkan rendang sebagai menu tambahan, dan tentu dengan budget tambahan pula bagi pembeli.
Kadang, daging yang dipilih untuk rendang teksturnya terlalu lembut. Sehingga daging pun hancur dan bersatu dengan "dadak" atau bumbu rendang.
Jika sudah begitu, maka "katupek pulut" atau ketan putih yang diaron akan menjadi teman yang menarik bagi "dadak" rendang itu.
Santan bertemu santan. Tepatnya, pati santan. Begitulah.
Kini, cara memasak rendang pun telah di atas kompor gas. Sehingga "ada sesuatu yang hilang".
Beberapa warung masakan Padang, masih menggunakan pola lama. Memasaknya dengan belanga besar di atas kayu api.
Aroma kayu api, yang ketika terbakar mengeluarkan sejenis uap, adalah nilai tambah buat rendang itu sendiri.
Terlebih, jika diaduk secara rata dan kurang lebih tiga jam lamanya. Susah? Begitulah rendang yang sesungguhnya.
Untuk menambah warna dan kepekatan rasa, segenggam ampas kelapa yang sudah digiling halus layak untuk diaduk bersama rendang yang dijerang di tahap pertama itu.
Gayung dari kayu terus mengaduk campuran santan, daging dan bebumbuan.
Hup, "kelio" telah jadi. Yakni rendang yang masih berbentuk gulai berwarna kuning.
Dan perut sudah lapar karena mengaduk kuali.
Makan nasi dengan lauk "kelio" adalah suguhan pertama. Sedikit kuah cair dan yang lainnya mengental.
Cabai yang digunakan adalah cabai berwarna merah, yang umumnya berasal dari daerah perbukitan dan pegunungan.
Setiap daerah, memiliki "sesuatu yang khas". Begitu jika ibu-ibu yang pandai membuat rendang bicara.
Setelah rendang, atau dalam bahasa Minang adalah "Randang", selesai dimasak, maka hari-hari selanjutnya adalah memanaskan rendang itu sendiri.
Sebab, kadang santan kelapa yang dipakai tidaklah terlalu baik. Sehingga berbau apek dan tidak sedap.
Tetapi, jika santannya baik, maka aroma yang mencuat ketika dipanaskan kembali membuat perut berguncang minta diisi.
Itulah mengapa rendang yang dipilih sebagai bekal ketika berangkat menunaikan haji oleh para orangtua dulu.
Tetapi, dengan segala keruwetan informasi saat sekarang ini, seolah rendang dapat menggunakan bahan apa saja. Dan, mereka yang memahami betapa susahnya membuat rendang hanya dapat tersenyum pahit melihat kondisi ini. *