gambar

Soal Sengketa Pilkada Siak 2024: Proses MK Hal Biasa Dalam Pemilu, tak Perlu Panik!

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat.(Kompas.com).

Siak, AmiraRiau.com– Misbahuddin Gasma menilai Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan hal yang biasa terjadi di Indonesia.

Hal ini disampaikan Misbahuddin, Kuasa Hukum Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Siak nomor urut 3, Alfedri-Husni Merza. Misbahuddin menangapi masih adanya pihak yang tidak menerima hasil Pilkada Siak 2024 dibawa ke MK.

PaslonĀ  ini merupakan pemohon dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kepala Daerah Kabupaten Siak 2024 di MK. Sidang pertama PHPU Siak telah dilaksanakan pada Kamis (9/1/2025) malam.

“Perlu saya sampaikan bahwa MK dibentuk untuk menjamin tidak akan adalagi produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi agar hak-hak konstitusional warga negara terkawal dan terjaga,” kata Misbahuddin, Sabtu (11/1/2025).

Artinya, kata dia, secara garis besar MK dibentuk untuk memberikan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

“Nah, apakah yang dilakukan pemohon salah? Tentu tidak. Sebab yang dibawa ke MK merupakan mandat rakyat yang minta keadilan. Tak perlu panik,” ujarnya.

Selain itu, Misbahuddin juga menilai tuduhan perbuatan terstruktur, sistematis dan masif (TSM) yang biasanya dilakukan petahana bukan penantang merupakan kegagalan cara berpikir.

“Jadi, petahana yang menang di Pilkada serentak 2024 semua TSM. Kalau gitu cara berpikirnya kacau dong. Kalau kami menduga TSM dilakukan KPU dan pihak-pihak terkait lainnya apa salah. Sebab dalam berkontestasi, petahana di Siak memberikan contoh yang baik, makanya leluasa pihak-pihak terkait melakukan hal yang tidak prosedural,” terangnya.

Untuk itu, Misbahuddin meminta agar semua pihak saling menghormati kewenangan masing-masing lembaga negara.

“Pada dasarnya pemohon menghormati setiap keputusan KPU. Namun agar keputusan itu tidak keliru dan benar-benar milik rakyat, maka diuji di MK. Apa itu salah?,” jelasnya.

“Yang salah itu, memprovokasi masyarakat untuk melawan konstitusi. Nah, itu namanya kejahatan intelektual,” pungkasnya.***

gambar