Oleh Chaidir
KASUS SPPD fiktif di Riau menghadirkan banyak cerita dan prasangka; mau kisah nyata atau rekayasa, mau cerita tentang penetapan TSK yang tertunda-tunda atau nama-nama yang masih tersimpan dalam kotak Pandora? Semua tersedia. Atau tentang cerita tentang bisik-bisik pertemuan rahasia yang terpantau oleh antena awak media yang luar biasa canggihnya? Semua menjadi spekulasi panas-panas dingin sejak kasus ini meletup viral bikin gaduh sejak beberapa waktu lalu.
Kasusnya, ibarat angsa putih terbang siang, gamblang, terang benderang mudah dipandang, tapi pengungkapannya tak semudah membalik telapak tangan, banyak aral melintang. Sejumlah nama disebut kemudian meredup. Ada pula penyitaan harta benda yang nilai rupiahnya membuat kita geleng-geleng kepala. Ada pula selegram cantik yang diam-diam tampil sebagai figuran.
Tak sangka, ibarat gempa bumi, gedung Lancang Kuning DPRD Riau yang megah tiba-tiba menjadi episentrum gempa, sayangnya bukan pada inovasi anggota dewan yang terhormat dalam bersinergi memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakili, melainkan pada kolaborasi tak terpuji walau belum terbukti. Tak masalah, kebenaran akan mencari dan menemukan jalannya sendiri, wait and see. Harapan para pegiat anti korupsi, semoga kasus ini tak masuk angin.
SPPD sebenarnya sah-sah saja dalam penyelenggaraan pemerintahan, bukan benda haram. Tradisi ini sudah berlangsung sejak lama. Sepanjang dalam batas-batas kewajaran, SPPD sebagai pendukung administrasi kunjungan kerja ke luar kota, studi banding, atau rapat-rapat dinas di luar kota, atau memenuhi undangan pemerintah pusat, memang harus ada. Masalah baru muncul bila kunjungan kerja tersebut dilaksanakan dalam frekuensi yang tinggi, apalagi terkesan diada-adakan, mengada-ada, atau lebih parah lagi SPPD kemudian digunakan sebagai insentif terselubung untuk menambah penerimaan pegawai atau pejabat karena gaji resmi dianggap tidak cukup.
Kenyataannya, tahun demi tahun, di tengah upaya efisiensi anggaran dan praktik tata kelola pemerintahan yang semakin baik dan semakin transparan, dana perjalanan dinas di berbagai instansi yang mestinya bisa ditekan, justru semakin membengkak. Praktik birokrasi justru makin boros bahkan manipulatif antara lain seperti kasus SPPD fiktif itu. Kenyataan ini menjadi sebuah paradoks, sebab birokrasi pemerintahan kita berada di tengah gelombang besar kemajuan ICT (Information and Communication Technology), dan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence – AI).
Mestinya, ICT dan AI, membuat semua pekerjaan dan hidup kita menjadi lebih mudah, persis seperti disebut Si Jenius Albert Einstein hampir seabad yang lampau, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi membuat pekerjaan dan hidup menjadi lebih mudah, tapi itu tidak terjadi karena kita belum pandai menggunakannya secara benar.
Jujur, dengan kemajuan ICT dan AI, kita sebenarnya tak perlu lagi kemana-mana menguras tenaga, waktu dan dana untuk menjemput atau mencari informasi, kita cukup duduk saja di kantor, buka komputer, kita bisa menjelajahi dunia di sudut manapun, data dan informasi yang kita perlukan akan bisa diperoleh dalam hitungan detik. Siapa saja, bahkan bisa bekerja dari rumah (work from home), yang penting ada jaringan internet.
Kementerian Dalam Negeri agaknya perlu memikir ulang tentang keperluan perjalanan dinas ini, apakah masih diperlukan atau tidak. Tidak hanya bagi DPRD tetapi juga bagi birokrasi pemerintahan di pusat dan dan di daerah. Keperluan untuk mendapatkan data dan informasi, cukupk dilakukan dengan memaksimalkan penggunaan ICT dan AI, pasti bisa. Bukankah penggunaan ICT dan AI sudah terbiasa di kalangan para politisi dan birokrasi? Kompensasinya, DPRD dan birokrasi diberi tunjangan khusus yang dianggarkan secara transparan.
Sebab, untuk apa perjalanan dinas kunjungan kerja ke luar kota atau kunjungan studi banding, untuk kemudian menghasilkan dua atau tiga halaman laporan perjalanan dinas? Instansi-instansi pusat pun tak perlu mengundang pejabat daerah untuk rapat dinas di Jakarta, rapat-rapat cukup online dengan menggunakan aplikasi zoom dan sebagainya. Pemberian kompensasi secara terbuka pasti lebih hemat daripada anggaran perjalanan dinas.
Ke depan, kasus SPPD fiktif tak boleh lagi terulang. Kita tak mau disebut lebih dungu dari AI atau dipecundangi oleh AI. Kecepatan berpikir AI memang sulit dikalahkan manusia jenius sekelas Albert Einstein sekali pun. Tapi AI tak punya kecerdasan akal budi yang menjadi milik manusia. AI mungkin tak pandai mengekspresikan perasaan, “nasi sudah jadi bubur” . Tapi AI mungkin punya kiat bagaimana kasus tersebut tak terulang. Ayo kita tanya AI.***
(Dr. drh. H. Chaidir, MM, Penulis, adalah Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008).