Oleh Chaidir
ROMANTISME asmara Engkau Laksana Bulan, lagu ciptaan P. Ramlee, telah lama terlelap indah dalam bilik sejarah. Selamanya akan berada di sana sebagai sebuah ligacy tak benda berupa kenangan dalam khayalan. Tak ada sesiapa yang bisa mengusiknya. Kenangan indah itu pun hanya sedikit saja lagi dari generasi golden memories atau generasi boomers yang bisa bercerita sebagai saksi hidup, sebagian besar telah tiada.
Romantisme kekuasaan era Penguasa Tunggal, juga tak ubahnya romantisme asmara Engkau Laksana Bulan itu, sudah tinggal sebagai catatan sejarah sebagai bagian dari pelaksanaan pembagian daerah besar dan kecil di republik ini. Republik Indonesia dibagi menjadi daerah besar dan kecil, yaitu provinsi, kabupaten, dan kota (Pasal 18 UUD 1945). Undang-undang yang umum diketahui berkaitan dengan Penguasa Tunggal tersebut diatur dalam UU No 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. UU No 5 Tahun 1974 ini di awal reformasi diubah menjadi UU No 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah; kemudian diubah lagi menjadi UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah; dan terakhir, UU No 32 Tahun 2004 ini diubah lagi menjadi UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Tiga undang-undang yang disebut terakhir tentang pemerintahan daerah, yang masing-masing telah beberapa kali diubah, tak lagi menyebut terma Penguasa Tunggal.
Penguasa Tunggal dalam paradigma UU No 5 Tahun 1974 memang sentralistis dan bernuansa otoriter. Ada kekhawatiran yang berlebihan dari pemerintah pusat untuk berbagi kekuasaan dengan daerah, sehingga secara tegas disebutkan, seorang gubernur kepala daerah adalah juga sebagai kepala wilayah, bertugas memimpin pemerintahan, mengkoordinasikan pembangunan dan membina kehidupan masyarakat di segala bidang di daerahnya. Lembaga-lembaga lain yang punya kewenangan secara vertikal harus tunduk di bawah kendali Gubernur Kepala Wilayah. Dalam paradigma ini, DPRD pun hanya formalitas belaka.
Pilkada serentak 2024 di Riau telah berhasil memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah (bukan penguasa tunggal). Lima kepala daerah merupakan incumbent, yakni di Bengkalis, Pelalawan, Kuansing, Kepulauan Meranti dan Kota Dumai; tujuh lainnya adalah wajah baru, yakni di Pekanbaru, Kampar, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Rokan Hulu, Rokan Hilir, dan Siak. Singgasana provinsi juga diisi oleh gubernur/wakil gubernur wajah baru. Para pemimpin yang baru terpilih ini (incumbent atau bukan incumbent), semua kini berada di tengah pusaran kerumunan masyarakat yang menanti kiprah mereka.
Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, sekarang para pemimpin daerah ini ditantang untuk mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi atau apa yang disebut para ahli sebagai Higher Order Thinking Skills (HOTS), dengan tiga ciri utama: kemampuan memecahkan masalah yang kompleks (Complex problem solving), kemampuan berpikir kritis (critical thinking), dan kemampuan untuk senantiasa kreatif (creativity).
Kemampuan berpikir tingkat tinggi tersebut merupakan fenomena baru dalam komunikasi pemerintahan, baik ketika berhadapan dengan publik (managing people) maupun ketika berhadapan dengan staf sendiri (managing staff). Sebab masyarakat kita sekarang berada dalam era masyarakat supercerdas dan superkritis (sekalius super reaktif). Sebatang jarum jatuh di Merauke, selang beberapa detik kemudian direspon di Sabang, begitulah ibaratnya.
Jepang adalah negara pertama yang mengedepankan konsep masyarakat supercerdas (supersmart society) itu yang mereka sebut sebagai Society 5.0. Manusia harus menjadi pusat peradaban seutuhnya, yang berbasis teknologi. Dengan konsep society 5.0 memungkinkan manusia menggunakan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence – AI) untuk mempermudah segala pekerjaan. AI akan membebaskan manusia dari pekerjaan berat misalnya, menganalisa informasi dalam skala massif. Problem matematis yang rumit dapat diselesaikan dengan cepat, informasi kondisi bisnis tersaji dalam waktu singkat sehingga para eksekutif perusahaan dapat membuat keputusan bisnis seketika, pemerintah pula dapat menyelesaikan berbagai problem sosial yang kompleks dengan bantuan AI. Manusia dituntut untuk lebih cepat menghasilkan solusi dalam memenuhi kebutuhannya.
Dalam fenomena masyarakat supercerdas tersebut para pemimpin yang baru terpilih, tak bisa lain, harus menumbuh-kembangkan kemampuan berpikir kritis (critical thinking). Pentingnya menumbuhkan critical thinking di era Society 5.0 adalah untuk memanfaatkan teknologi informasi secara maksimal, dan juga menemukan solusi terbaik untuk memecahkan berbagai persoalan rumit dan kompleks, merangsang kreativitas untuk terus berinovasi.
Singkatnya, berpikir kritis adalah kemampuan berpikir jernih dan rasional tentang apa yang harus dilakukan dalam masyarakat supercerdas. Seseorang dengan keterampilan berpikir kritis memiliki sikap skeptis, sangat terbuka, menghargai sebuah kejujuran, respek terhadap kejelasan dan ketelitian, mencari pandangan lain yang berbeda, dan akan berubah sikap ketika ada pendapat yang dianggap baik.
Panggung baru politik lokal 2025-2030, baru hendak dimulai, layar baru terkuak, dan bintang-bintang panggung baru bersiap-siap unjuk kebolehan. Ini bukan panggung penguasa tunggal, yang mengedepankan kekuasaan. Ini panggung para pemimpin cerdas yang memiliki kemampuan berpikir kritis mengedepankan kreativitas, komunikatif, dan kolaboratif, dalam membangun kinerja dan menyelesaikan berbagai masalah rumit dan kompleks di era masyarakat supercerdas, tak soal incumbent atau bukan incumbent. Jangan malu bertanya, malu bertanya sesat di jalan.***
(Dr. drh. H. Chaidir, MM: Penulis; Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008).

