Oleh: Muhammad Herwan
Wakil Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau
MASYARAKAT Riau sangat terharu dan bersukacita atas pernyataan yang diungkap oleh Prof (HC). Dr. Drs. Akmal Malik, M.Si., Dirjen Otda Kemendagri pada RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) dengan Komisi II DPR RI tanggal 24 April 2025 lalu, Riau satu dari 6 daerah yang diusulkan menjadi Daerah Istimewa.
“Hal ini harus disambut gembira oleh seluruh komponen masyarakat yang bermastautin di Riau dan perlu segera ditindaklanjuti dengan membuat usulan secara secara formal ke Pemerintah Pusat dan DPR RI”.
Pengakuan Riau sebagai Daerah Istimewa adalah sangat patut dan layak, tersebab setidak terdapat beberapa pertimbangan yang mendukung adanya pengakuan tersebut”.
Pertama, Historikal Riau dan Ragam Masyarakat Adat. Daerah Riau merupakan penggabungan dari Kerajaan Melayu yang pernah berjaya di wilayah ini, yaitu Kerajaan Inderagiri (1298-1945), Kerajaan Pelalawan (1530-1945), Kerajaan Siak Sri Inderapura (1723-1945), Kerajaan Gunung Sahilan (Pertengahan 1600-an – 1946), Kerajaan Riau-Lingga (1824-1913) dan beberapa kerajaan kecil lainnya, seperti Tambusai, Rantau Binuang Sakti, Rambah, Kampar dan Kandis. Daerah Riau juga terdapat Masyarakat Asli Hukum Adat yang bermukim serta menjalankan Tradisi dan Adat Istiadat setempat, antara lain : Suku Sakai, Bonai, Kubu, Talang Mamak, Akit, Suku Hutan, Suku Laut, Duano.
Sejarah keberadaan/eksistensi kerajaan Melayu Riau tersebut membuktikan adanya peradaban (tamaddun) dan kedaulatan Melayu di Nusantara yang memegang teguh kearifan lokal dan falsafah adat Melayu Riau “Adat bersendi Syara’, Syara’ bersendi Kitabullah, Syara’ Mengata, Adat Memakai”. Apatah lagi Riau juga telah metahbiskan diri sebagai “Tanah Tumpah Darah Melayu” (Riau The Homeland of Melayu) dan mencanangkan Visi menjadi “Pusat Kebudayaan Melayu di Rantau Asia”.
Kedua, Spirit Patriotisme para Sultan Melayu Riau bersama rakyat, secara patriotik gigih berjuang melawan dan mengusir penjajahan dari Bumi Nusantara. Setidak nya tercatat dengan tinta emas antara lain perjuangan Tuanku Tambusai di Rokan pada tahun 1823-1838. Perlawanan Tuanku Tambusai kepada Belanda dengan membangun Benteng Tujuh Lapis, amat sulit dikalahkan, tidak pernah menyerah, dan tidak mau berdamai dengan Belanda sehingga ia dijuluki De Padrische Tijger van Rokan atau Harimau Paderi dari Rokan oleh Belanda.
Tercatat juga, perlawanan Kesultanan Siak Sri Inderapura pada Perang Guntung dengan menggunakan taktik yang dikenal sebagai "siasat hadiah sultan", dipimpin langsung oleh Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1723-1744) yang kemudian dilanjutkan oleh putranya, Muhammad Abdul Jalil Muzafar Syah (1746-1760). Pun demikian perlawanan secara fisik dan non-fisik yang dilakukan oleh Sultan Syarif Kasim II (1915-1945) bersama dengan kedua putranya, terutama saat Belanda ingin menjadikan Ratu Belanda Wilhelmina sebagai pemimpin tertinggi Kesultanan Siak.
Bahkan jauh sebelum itu, juga tercatat peperangan Kerajaan Inderagiri antara Raja Narasinga II dengan Portugis berlangsung selama 20 tahun antara tahun 1511 sampai 1532. "Pada perang yang dikenal dengan sebutan Perang Teluk Ketapang dimenangkan oleh Raja Narasinga II, sementara Panglima Perang Portugis, Jenderal Verdicho Marlos, menjadi tawanan perang raja Narasinga, hingga akhirnya karena Jenderal Verdicho memiliki kepintaran, dimanfaatkan oleh Raja menjadi Menteri di Kerajaan Inderagiri.
Ketiga, Sikap Nasionalisme Sultan Melayu Riau. Kesultanan Siak Sri Inderapura, Kesultanan Inderagiri, Kesultanan Gunung Sahilan yang saat Republik Indonesia di Proklamirkan tahun 1945 secara sukarela menyatakan bergabung dan mendukung Negara Republik Indonesia.
Pada bulan Oktober 1945, Sultan Syarif Kasim II memprakarsai dibentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Barisan Pemuda Republik di Siak Sri Inderapura. Pembentukan badan-badan perjuangan itu disertai dengan rapat umum yang digelar di lapangan istana dengan mengibarkan bendera Merah Putih. Dalam rapat besar itu, Syarif Kasim II bersama segenap rakyat Siak Sri Inderapura dan tokoh-tokoh Riau mengucapkan ikrar setia untuk mempertahankan kemerdekaan RI sampai titik darah penghabisan.
Sebagaimana tercatat dalam dokumen sejarah resmi Republik Indonesia, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Suk, Sultan Syarif Kadsim II dari Kesultanan Siak Sri Inderapura dan Raja Pontianak Sultan Hamid al-Gadrie II secara sukarela menyatakan daerahnya bergabung dengan Republik Indonesia.
Ketiganya datang kepada Indonesia dengan hati yang jantan, dengan buah tangan yang penuh. Sultan Hamengkubuwono memberikan kekuasaan, harta, dan merendahkan kesombongan ke-raja-annya demi ke-Indonesia-an. Sultan Syarif Kasim II, bergabung dengan Indonesia sembari menyumbangkan Mahkota bertahtakan Emas dan Berlian, 10 buah provinsi yang kaya dan eksotik, 2 daerah jajahan, sejumlah berlian, dan uang tunai sebesar 13 Juta Gulden. Termasuk juga hasil migas Riau yang sudah diekploitasi oleh Belanda, melaui Perusahaan Caltex dan Stanvac sejak tahun 1940-an. Sumbangan Sultan Siak tersebut sebagiannya diantaranya bersama sumbangan Rakyat Aceh digunakan untuk membeli Pesawat Dakota “Seulawah”. Sultan Hamid Algadrie pula, demi Indonesia, melepaskan tahta dan memberikan wilayah yang kaya kepada Indonesia.
Ketiganya bergabung dengan hati yang jantan. Tapi kita kecewa, sejarah, kekuasaan dan politik di Indonesia, khususnya pusat kekuasaan di Jakarta, memperlakukan ketiganya dengan “keadilan” yang tak sama, berbeda seperti bumi dengan langit. Pada tahun 1950, Jakarta dan Sukarno memberikan status keistimewaan kepada tanah Yogyakarta dengan mengizinkan eksistensi kesultanan dan menetapkan Sultan sebagai pemimpin politik di Yogya, tapi pada saat yang sama Jakarta hanya menjadikan Sultan Syarif Kasim II sebagai rakyat biasa dan menghina Riau dengan menjadikannya hanya sebagai satu diantara tiga keresidenan dalam provinsi Sumatera Bagian Tengah. Nasib Sultan Hamid Algadrie II yang juga arsitek Lambang Negara Garuda, tak jauh berbeda.
Pada masa Indonesia menganut sistem Federal (Negara RIS) yang ikut ia arsiteki, Hamid Algadrie II hanya kebagian kursi menteri tanpa portofolio (tanpa kekuasaan) di bawah kabinet Hatta.
Keempat, Bahasa Melayu Riau yang telah digunakan sebagai Lingua Franca dalam aktivitas komunikasi dan perdagangan di Nusantara serta menjadi cikal bakal Bahasa Indonesia, kemudian ditetapkan sebagai Bahasa Persatuan sebagaimana tercantum dalam Naskah Sumpah Pemuda 1928 dan sebagai Bahasa Resmi Negara sebagaimana dinyatakan dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kelima, Mandatory Konstitusi, pemberian dan pengakuan keistimewaan suatu daerah di Indonesia telah dijamin oleh Konstitusi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 18 B Ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; "Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang."
Dengan demikian, Pasal 18 B UUD 1945 memberikan jaminan pengakuan dan perlindungan terhadap keberagaman daerah dan masyarakat adat dalam bingkai NKRI. Pasal ini menjadi dasar hukum bagi kebijakan pemerintah dalam mengakomodasi keberadaan dan hak-hak masyarakat adat, serta mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bersifat khusus.
Ini berarti bahwa daerah-daerah itu mendapat hak yang datang dari atau diberikan oleh pemerintah pusat berdasarkan undang-undang atau konstitusi.
Tersebab itu, justru kekhasan dan keunikan Budaya Melayu Riau akan mempertegas kekayaan corak ragam dan kemajemukan Bhinneka Tunggal Ika dengan tetap menjadi bagian integral yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keenam, Letak Geografis dan SDA. Selain pertimbangan tersebut, Riau juga memiliki kekhasan letak geografis dan kekayaan sumber daya alam. Geografis Riau berbatasan langsung dengan Singapura dan Malaysia serta berhadapan langsung dengan Selat Melaka yang merupakan perairan lalu lintas pusat perdagangan penting dan strategis di Asia Tenggara.
Selain itu, Riau Bersama-sama Malaysia, Singapura, Brunei dan Thailand (khususnya Thailand Selatan) merupakan bagian dari Negeri Serumpun Melayu.
Negara patutnya, tak dapat menapikan kontribusi yang telah diberikan Riau hasil kekayaan sumber daya alamnya. Riau sebagai daerah penghasil Migas terbesar negeri ini telah menyumbangkan lebih kurang 35% dari produksi migas nasional, pun demikian kontribusi non-migas antara lain dari HPH/HTI, Pertanian dan Kelautan, bahkan saat ini Riau merupakan daerah yang memiliki Perkebunan Kelapa Sawit terluas, yakni lebih kurang sebanyak 4,3 juta Ha Perkebunan Kelapa Sawit tersebar di wilayah Riau.
Negara telah memberikan Nanggroe Aceh Darussalam, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Daerah Otonomi Khusus Papua dengan status istimewa atau khusus karena faktor sejarah, budaya, politik, dan kebutuhan untuk menjaga stabilitas nasional serta keistimewaan hak otonomi yang lebih luas dalam pengelolaan pemerintahan dan sumber daya alam.
Dalam konteks tersebut, demi keadilan serta dengan fakta-fakta kesejarahan, kekhasan dan keunikan Tamaddun Melayu Riau maupun kekinian Riau, “ketidak-inginan” Indonesia meletakkan Riau secara terhormat dalam sejarah ke-Indonesia-an agaknya merupakan penistaan terhadap sejarah itu sendiri.
Tersebab itu, pengakuan dan pemberian Keistimewaan Riau tentulah merupakan suatu keniscayaan dan patut digesakan. Semoga. (MH)