Gerbang Neraka

Oleh Chaidir

USAI dilantik di Istana Presiden Kamis, 20 Februari 2025, sebanyak 491 kepala daerah se-Indonesia (gubernur, bupati dan walikota) langsung tancap gas mengikuti retret selama sepekan di ‘Kawah Candradimuka’ Akademi Militer (Akmil) Magelang, Jawa Tengah. Sementara Wakil kepala daerah tancap gas pula kembali ke daerah masing-masing, bertugas.

Dinamika politik di tanah air dalam beberapa hari ini, pasti membuat suasana kebatinan retret ini beda dengan retret menteri kabinet di tempat yang sama akhir Oktober 2024 lalu. Sebenarnya, matahari yang menyinari Lembah Tidar Akmil masih yang itu-itu juga, tapi kali ini ada awan mendung menggantung pasca yel-yel Presiden Prabowo viral membumbung. Ada pula unjuk rasa mahasiswa Indonesia yang mengusung isu “Indonesia Gelap”. Dan yang paling ‘panas’, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri melarang kepala daerah yang berasal dari PDIP ikut retret.

Tidak hanya itu, seperti ramai diberitakan, Presiden akan segera mengumumkan pembentukan Badan Danantara, sebuah badan investasi yang mengelola aset BUMN senilai Rp 14.000 Triliyun lebih. Secara sederhana dipahami, Danantara seakan menjadi superholding, dengan BUMN-BUMN holding besar menjadi pemegang sahamnya. Danantara disebut menjadi kekuatan raksasa terbesar di dunia di bidang investasi. Namun, agaknya, kita butuh waktu untuk lebih jauh mencerna skema inovasi Presiden Prabowo ini, apalagi dikaitkan dengan wacana pengawasnya yang kebal hukum dan perilaku koruptif stadium empat para penguasa di ’Negeri Konoha’ itu. Retret pasti terasa kurang nyaman bagi  para kepala daerah yang digembleng. Sebab salah satu materi penggemblengan adalah pencegahan dan pemberantasan korupsi. Sayup-sayup terasa ada aroma paradok yang mengganggu penciuman.

Ketika menteri dan wakil menteri kabinet diharuskan mengikuti retret, suasana kebatinan pasti baik-baik saja. Kita memahami, retret ini mungkin inovasi Presiden untuk membangun sebuah superteam, kendati terkesan dimobilisasi dan indoktrinasi ala tempo-tempo dulu. Presiden memang punya hak prerogatif untuk mengangkat atau memberhentikan para menteri dan wakil menteri. Melalui kewenangannya presiden bisa mengganti menteri atau wakil menteri kapan saja. Beberapa hari lalu misalnya, Satryo Soemantri Brodjonegoro mundur dari jabatan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendikti Saintek) yang baru beberapa bulan dijabatnya. Terkesan misterius. Dan Presiden Prabowo telah melantik Brian Yuliarto sebagai pengganti.

Namun tidak demikian halnya dengan kepala daerah baru yang dimobilisasi mengikuti retret. Presiden tidak bisa menolak untuk melantiknya. Presiden hanya bisa mengganti seorang kepala daerah atau wakil kepala daerah yang meninggal dunia, berhenti atas permintaan sendiri atau diberhentikan karena melakukan pelanggaran yang diatur Pasal 76 UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Ketika PDIP melarang kadernya mengikuti retret, kita tersentak, agenda retret tak memiliki daya paksa.

Baiklah Encik, Tuan dan Puan, itu masalah lain, tentu sangat menarik diulas di lain kesempatan. Kali ini ulasan kita tentang retret di Kawah Candradimuka sebagai sebuah konsep, yang dalam masyarakat Indonesa dipahami sebagai sesuatu yang simbolik. Sebab secara realita, negeri kita memang memiliki Kawah Candradimuka, yakni sebuah kawah api abadi yang terdapat di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah.  Kawah Candradimuka ini dianggap  keramat dan sakti. Dalam cerita wayang, Kawah Candradimuka merupakan suatu tempat penggemblengan kesatria agar menjadi orang yang sakti dan memiliki karakater pribadi yang kuat, terlatih dan tangkas. Menurut versi cerita wayang, Candradimuka merupakan tempat dimana Gatot Kaca, seorang tokoh dalam dunia pewayangan Mahabrata, direbus oleh para dewa, sehingga memiliki tubuh dan tulang yang kerasnya seperti besi, ototnya seperti kawat, kebal terhadap segala senjata dan Gatot Kaca dapat terbang tinggi di kayangan.

Dalam perspektif kekinian, Kawah Candradimuka dimaknai sebagai sebuah wadah untuk menggodok atau menggembleng para pemimpin, calon-calon pemimpin, para kader bangsa supaya menjadi pemimpin yang memiliki kepribadian yang kuat, tahan uji, jiwa yang bersih, terlatih dan tangkas. Sebab di era modern sekarang kita berada di tengah badai perubahan, besar dalam ruang lingkup, besar dalam ukuran dan sangat komplek. Harga atas keterlambatan melakukan perubahan tidak hanya berupa ketidaknyamanan, tetapi sering merupakan bencana besar bagi suatu organisasi (Black dan Gregersen, 2003). Organisasi, apapun bentuknya,  pemerintah, non pemerintah atau swasta yang tidak siap menghadapi ultimatum zaman yakni perubahan, transformasi dan inovasi, akan ditinggalkan dan mati. Begitulah kira-kira.

Ke depan para kepala daerah kita, tak boleh tidak, harus mempersiapkan diri dan beradaptasi menjadi pemimpin di tengah badai perubahan itu. Dunia kini menjadi sangat kompetitif dan berubah cepat. Kemajuan teknologi canggih terus menerus mendisrupsi dan mendegradasi peran manusia. Padahal manusia harus menjadi pusat peradaban seutuhnya, yang berbasis teknologi. Manusia sebagai pusat peradaban tak boleh tergantikan oleh teknologi. Untuk menghadapi tantangan tersebut, selain kecakapan digital, ada soft skill yang perlu dimiliki pemimpin perubahan yakni kemampuan berpikir kritis, kreatif, komunikatif, kolaboratif dan inovatif.

Semangat itulah yang dipompa melalui retret. “Retret” yang berasal dari bahasa Inggris “retreat” berarti “mundur”, atau “tempat pengasingan diri”, menyepi. Retret adalah sebuah ikhtiar untuk menumbuhkan kesadaran terhadap tanggungjawab besar seorang pemimpin. Sebab pada kenyataannya, kita punya banyak catatan jejak digital, bahwa jebolan kawah candradimuka modern kita, berupa lembaga-lembaga pendidikan formal yang ternama sekali pun, satu demi satu tumbang oleh kerikil-kerikil tajam yang ditabur sendiri. Satu demi satu anak negeri dimangsa oleh pembangunan yang dirancang sendiri.

Ke depan, bila Kawah Candradimuka di negeri kita tak lagi mangkus sebagai kawah penggemblengan, mungkin para pemimpin atau calon pemimpin kita perlu retret ke ‘Gerbang Neraka’ untuk diperlihatkan dan merasakan hawa panas sebuah kawah besar api abadi yang terdapat di gurun Padang Pasir Karakum di Turkmenistan. ‘Gerbang Neraka’, begitu nama kawah ini, memang tak punya cerita dongeng kesatria seperti Mahabrata, tapi secara fisik menyemburkan api dari perut bumi dan menebar aroma menakutkan. Mungkin cocok untuk materi pencegahan korupsi dalam retret.  Tapi ‘Gerbang Neraka’ itu jauh, Bro, tak sesuai dengan semangat efisiensi pemangkasan anggaran negara. Tak usahlah ke sana. Tabik.***

(Dr. drh. H. Chaidir, MM, Penulis; Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008)

gambar