Oleh Chaidir
BANGSA Indonesia memiliki dwitunggal legendaris. Siapa lagi kalau bukan Bung Karno – Bung Hatta, Presiden dan Wakil Presiden pertama RI. Keduanya juga dikenal sebagai proklamator kemerdekaan Republik Indonesia. Soekarno (Bung Karno) dan Mohammad Hatta (Bung Hatta) adalah cendekiawan terpandang dan politisi terpelajar. Dunia mengakui kecendekiawanan mereka. Dwitunggal ini saling melengkapi walau seringkali berbeda dalam pandangan politik. Dwitunggal ini menjadi modal sosial yang bagus bagi bangsa Indonesia di awal kemerdekaannya.Berpuluh tahun kemudian pasca revolusi kemerdekaan, Indonesia melahirkan banyak dwitunggal. Era demokrasi liberal dalam wujud pilpres dan pilkada langsung, menghasilkan banyak pasangan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati dan walikota-wakil walikota. Pasangan para pemimpin ini juga dwitunggal, mereka berada dalam satu kotak paling atas dalam struktur organisasi. Mereka saling isi-mengisi dan saling melengkapi satu sama lain. Mereka seperti pilot dan co-pilot yang duduk bersama dalam cockpit pesawat mengendalikan perangkat elektronik menerbangkan pesawat dan mengangkut penumpang dengan aman. Mereka hanya bisa dibedakan tapi tak bisa dipisahkan.
Banyak pengamat menyebut, dalam masyarakat majemuk yang terdiri dari beraneka macam suku bangsa, agama, ras, bahasa daerah, organisasi kemasyarakatan yang menganut paham demokrasi, diperlukan strong leadership (kepemimpinan yang kuat) dalam wujud kepemimpinan dwitunggal yang memungkinkan adanya sinergi dan kolaborasi.
Secara sederhana kita pahami dwitunggal tentu lebih bertenaga dan memiliki potensi yang lebih besar daripada pemain tunggal yang bertumpu pada ketokohan perorangan. Dengan kepemimpinan dwitunggal, energi positif kedua pemimpin bisa disinergikan sebagai modal yang lebih dahsyat. Kolaborasi pun bisa secara terus menerus dilakukan untuk menghasilkan inovasi-inovasi guna mengatasi ancaman keusangan yang selalu mengintai sebuah masyarakat yang lambat melakukan transformasi. Bung Karno yang perkasa dalam ketokohan perorangan, pun secara terbuka memerlukan tandem dwitunggal sekualitas Bung Hatta. “Demi persatuan aku memerlukan seorang dari Sumatera. Dia (Hatta) adalah jalan yang paling baik untuk menjamin sokongan dari rakyat pulau yang nomor dua terbesar di Indonesia,” ucap Bung Karno tanpa tedeng aling-aling seperti ditulis dalam autobografinya.
Semangat kehendak membangun kebersamaan, berat sama dipikul ringan sama dijinjing, semangat gotong royong yang ditunjukkan Bung Karno merupakan modal sosial yang bagus. Beberapa puluh tahun kemudian sosiolog John Field menulis dalam bukunya “Modal Sosial,” (2010), bahwa tesis sentral modal sosial itu dapat diringkas dalam dua kata: soal hubungan. Dengan membangun hubungan antar sesama, dan menjaganya agar terus berlangsung sepanjang waktu, orang mampu bekerja bersama-sama untuk mencapai berbagai hal yang tidak dapat mereka lakukan sendirian, atau yang dapat mereka capai tapi dengan bersusah payah.
Dalam pendekatan modal sosial itulah dipahami bahwa kekayaan sumber daya alam semata yang dimiliki sebuah negeri tak bisa diandalkan untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang diimpikan oleh masyarakat. Sosiolog populer Amerika, Francis Fukuyama berpendapat bahwa kemakmuran ekonomi dan kemajuan politik yang berkelanjutan tidak dapat dicapai jika hanya mengandalkan melimpahnya sumber daya alam, atau bahkan kualitas sumber daya manusia yang bagus, atau upaya pelembagaan ekonomi, politik, dan hukum semata.
Lantas, apa dong? Fukuyama menyebut: “trust” (kepercayaan). Modal sosial berupa “trust” sangat penting dalam menggerakkan secara rasional bidang ekonomi, sosial, politik, dan hukum. Masyarakat yang memiliki budaya saling percaya (trust culture) dapat menciptakan jaringan kerja sama yang saling menguntungkan, saling berinteraksi dalam masyarakat. Budaya masyarakat yang saling percaya akan membentuk masyarakat terpercaya (trust society) yang menyebabkan panggung politik menjadi demokratis, produktif, fungsional, dan terhindar dari persoalan hukum. Konsep trust culture seperti disebut Fukuyama dalam bukunya “Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity (1995)”, adalah sebuah modal sosial, elemen sangat mendasar yang menjadi alasan kemajuan sebuah bangsa.
Dalam bahasa yang lebih sederhana, modal sosial pada dasarnya adalah jalinan yang menghubungkan antara individu dan kelompok masyarakat, yang memberi dampak positif bagi masing- masing pihak. Musuh yang bisa menggerogoti modal sosial yang paling mudah kita amati adalah sikap arogansi dan sikap individual yang berlebihan dari masing-masing pihak.
Dwitunggal gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, walikota-wakil walikota pasti diawali dengan niat mulia menyatukan potensi dua kekuatan untuk membangun daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bila dwitunggal ini solid bersatu padu saling percaya, maka dwitunggal ini akan menjadi modal sosial yang dahsyat untuk menghadapi segala rintangan dan tantangan dalam mewujudkan tujuan mulianya. Budaya saling percaya di tengah masyarakat (trust culture) pun akan terbangun. Sebaliknya, bila di antara dwitunggal hubungannya tak mulus, komunikasi tak lancar, apalagi tak saling percaya, maka dwitunggal ini memiliki nilai modal sosial yang rendah.
Idul Fitri 1446 H menjadi momentum di awal kepemimpinan dwitunggal hasil pilkada serentak 2024 untuk mempererat hubungan silaturrahim dan menjaga harmoni dalam kehidupan bermasyarakat. Dwitunggal kita adalah para cendekiawan yang memiliki hati yang bersih dan pikiran yang jernih. Kita percaya mereka menjadi modal sosial yang mangkus dan keren. Selamat Idul Fitri 1446 H. Ikan patin ikan lele, maaf lahir batin le.***
(Dr. drh. H. Chaidir, MM, Penulis; Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau – FKPMR; Ketua DPRD Provinsi Riau dua periode 1999-2004 dan 2004-2008)