Refleksi 28 Tahun Otonomi Daerah

Refleksi 28 Tahun Otonomi Daerah

Oleh Hasrul Sani Siregar, S.IP, MA Widyaiswara di BPSDM Provinsi Riau

APA yang sudah dicapai dengan usia 28 tahun otonomi daerah? Tidak dinafikan bahwa, keberhasilan dari pelaksanaan otonomi daerah adalah tercapainya kesejahteraan masyarakat dan tercapainya reformasi tahun 1998 yang salah satunya adalah penerapan otonomi daerah dengan seluas luasnya. Di usianya yang ke-28 sudah sepatutnya dan sudah sewajarnya pula dipertanyakan bahwa sudahkah penerapan otonomi daerah berjalan sesuai aturan. Dan tidak di pungkiri juga bahwa dalam perjalanannya masih jauh dari harapan. Sudahkah kesejahteraan didapat oleh masyarakat dengan adanya otonomi daerah tersebut? Kalau tidak sejahtera mengapa diperlakukan otonomi daerah?. Dan perjalanan otonomi daerah hingga saat ini akan menjawabnya. Masyarakat tentu berharap banyak terhadap penerapan otonomi daerah guna meningkatkan kesejahteraan dan keadilan.

Sebagai salah satu agenda reformasi adalah penerapan otonomi daerah. Otonomi daerah menjadi sesuatu yang sangat urgen untuk diterapkan sebagai suatu kebijakan desentralisasi. Oleh sebab itu, penerapan otonomi daerah merupakan sesuatu yang mutlak dan wajib dilakukan sesuai dengan undang-undang yang berlaku yaitu Undang-undang No. 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah. Tujuannya adalah dalam rangka mempercepat dan mengejar ketertinggalan di daerah serta dalam upaya meningkatkan pelayanan publik demi kesejahteraan dan keadilan masyarakat di daerah.

Sesungguhnya penerapan otonomi daerah merupakan sesuatu yang baik dan menjadi akar untuk mempererat di antara daerah-daerah dalam wadah  Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pada hakekatnya otonomi daerah dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi keanekaragaman daerah. Mengikut model pemikiran Tocquevillian disebutkan bahwa “suatu pemerintahan yang tidak memiliki semangat untuk membangun institusi pemerintahan di tingkat daerah sama artinya dengan tidak memiliki semangat demokrasi”.

Oleh karena itu, otonomi daerah adalah bagian dari semangat berdemokrasi. Dengan adanya otonomi daerah seyogyanya dapat meningkatkan kesejahteraan dan keadilan masyarakat di daerah. Konsep otonomi daerah yang sedang berjalan saat ini hingga tahun ke-28 merupakan hal yang perlu mendapat perhatian secara khusus, terutamanya dalam upaya menghindari adanya ketimpangan dan ketidakadilan yang selama ini dirasakan oleh daerah.

Penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah, dilaksanakan dengan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang berarti penyerahan sebagian wewenang oleh pemerintah (baca : pemerintah pusat) kepada daerah otonom baik pemerintah di tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan dikecualikan 6 urusan yang mutlak (absolut) yang dijalankan oleh pemerintah (baca : pemerintah pusat) yaitu pertahanan-keamanan, moneter, fiskal, yustisi, politik luar negeri dan agama.

Ada lebih kurang 31 urusan wajib dan pilihan yang harus dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah seperti halnya urusan wajib harus dilaksanakan yang berkaitan dengan pelayanan dasar. Pelayanan dasar tersebut seperti halnya kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup, pekerjaan umum dan sebagainya.

Sedangkan urusan pilihan adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan dan diterapkan oleh pemerintah daerah. Urusan pilihan tersebut seperti halnya kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan serta energi dan sumber daya mineral.

Tidak dapat dinafikan juga bahwa, penerapan otonomi daerah juga berdampak terhadap pembentukan daerah otonomi baru (DOB) yang hingga di tahun 2024 ini, pemerintah masih melakukan moratorium (penghentian sementara) untuk pembentukan daerah otonomi baru (DOB). Daerah diberi kewenangan yang seluas-luasnya untuk mengurus dan mengelola daerahnya masing-masing sesuai prakarsa dan kreativitasnya.

Oleh karenanya, otonomi daerah yang tidak dikawal secara ketat dan sesuai aturan juga akan berdampak terhadap gagalnya penerapan otonomi daerah itu sendiri. Keinginan dan nafsu untuk ber otonomi daerah secara berlebihan misalnya dalam hal pembentukan daerah otonomi baru (DOB) dengan tidak melihat segala potensi dan kekuatan daerah yang ada, akan berdampak pula terhadap kesejahteraan dan pelayanan masyarakat di daerah.

Tentu perlu adanya kajian secara komprehensif kapan waktunya untuk membentuk daerah otonomi baru (DOB). Jangan asal membentuk daerah otonomi baru (DOB) saja, tanpa melihat potensi dan kemampuan daerah induk untuk memekarkan wilayahnya. Adanya kekuasaan yang berlebihan dan nafsu membentuk daerah otonomi baru (DOB) harus dihentikan. Tentunya hal yang demikian untuk tetap menjadi konsistensi daerah dalam upaya peningkatan kesejahteraan dan pelayanan masyarakat yang menjadi tujuan dari penerapan Otonomi Daerah itu sendiri.

Ada anggapan bahwa, pemekaran daerah menjadi jalan pintas dan saluran formal untuk daerah mendapatkan porsi dana pembangunan yang datang dari pemerintah. Daerah otonomi baru (DOB) dalam implementasinya kurang mampu membangun inovasi dan kreativitas untuk menggali pendapatan asli daerah (PAD). Dan jangan sampai daerah otonom baru (DOB) cenderung membebani APBN dan APBD dan melahirkan daerah-daerah tertinggal baru. Dan disisi lain pula, pemekaran daerah merupakan bagian dari aktualisasi politik dalam penerapan otonomi daerah yang ada dalam undang-undang pemerintahan daerah.***

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index