Pemuda Digital dan Tantangan Cinta Tanah Air

Pemuda Digital dan Tantangan Cinta Tanah Air

Oleh: Mardianto Manan

KITA sedang hidup di zaman paling mudah dalam sejarah manusia. Semua bisa diakses hanya dengan sentuhan jari: pesan, belanja, belajar, bahkan berpikir pun kini seolah dibantu oleh gawai. Media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Facebook menjadi ruang utama anak muda mengekspresikan diri, mencari identitas, bahkan pengakuan sosial.

Namun, di balik kemudahan itu, ada gejala yang memprihatinkan: semakin banyak pemuda yang menggantungkan otak di ponsel, bukan di kepala.

Dulu, pemuda menggantungkan senjata di pundak dan menggantungkan cita-cita di langit kemerdekaan. Mereka miskin fasilitas tapi kaya semangat. Sekarang, kita kaya teknologi, tapi sering kali miskin kepedulian.

Ketika Pikiran dan Rasa Kebangsaan Melemah

Data We Are Social (2025) mencatat rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan hampir sembilan jam per hari di internet, sebagian besar di media sosial. Angka ini menggambarkan betapa besar ketergantungan digital generasi kita.

Psikolog sosial Jonathan Haidt dalam The Anxious Generation (2023) menemukan bahwa paparan media sosial berlebihan menurunkan empati sosial, meningkatkan kecemasan, dan mengikis kepedulian terhadap komunitas. Dalam konteks Indonesia, ini berarti melemahnya rasa kebangsaan dan tanggung jawab terhadap nasib bangsa.

Padahal, menurut data Bappenas (2024), lebih dari 64 persen penduduk Indonesia adalah generasi muda di bawah usia 40 tahun. Artinya, masa depan bangsa ini sepenuhnya ada di tangan generasi yang saat ini lebih akrab dengan algoritma TikTok ketimbang teks proklamasi.

Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan munculnya “penjajahan baru” — bukan oleh bangsa asing, tetapi oleh algoritma, hedonisme, dan budaya instan.

Belajar dari Semangat Pemuda Pendahulu

Bung Karno pernah berpesan, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah perjuangan bangsanya.” Ungkapan ini bukan sekadar pengingat masa lalu, tapi juga tantangan bagi pemuda hari ini untuk tidak kehilangan jati diri di tengah arus globalisasi.

Sementara itu, Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa pendidikan sejati adalah yang “menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya sebagai manusia dan anggota masyarakat.”
Pesan itu relevan di era digital: teknologi boleh memudahkan hidup, tetapi jangan sampai mematikan daya pikir dan nilai kemanusiaan.

Dan Sutan Sjahrir, tokoh muda pergerakan, pernah menulis, “Perjuangan kita sekarang bukan lagi mengusir penjajah, tetapi memerangi kebodohan dan kemalasan.” Kalimat itu kini terasa hidup kembali — hanya saja musuhnya telah berganti bentuk: candu gawai dan ketergantungan pada dunia maya.

Menumbuhkan Nasionalisme di Dunia Digital

Kita tidak bisa hanya mengeluh melihat generasi muda semakin larut dalam dunia virtual. Diperlukan langkah nyata untuk menumbuhkan nasionalisme baru yang relevan dengan zaman.

1. Bangun Literasi dan Karakter Digital.
Pendidikan karakter harus disesuaikan dengan realitas digital. Literasi digital bukan hanya mengajarkan cara menggunakan teknologi, tetapi juga bagaimana menggunakan teknologi secara bermoral dan kebangsaan.

2. Kuatkan Komunitas Pemuda di Dunia Nyata.
Pemuda perlu ruang aktualisasi yang nyata, bukan hanya eksistensi maya. Gerakan sosial, lingkungan, dan budaya lokal bisa menjadi “medan juang” baru untuk membangun kepedulian dan rasa memiliki terhadap bangsa.

3. Hadirkan Teladan di Media Sosial.
Tokoh publik, pendidik, dan pemimpin muda harus menjadi contoh dalam memanfaatkan media digital untuk kebaikan. Generasi muda lebih mudah tersentuh oleh figur yang autentik dan konsisten menebar nilai-nilai kebangsaan.

4. Gunakan Teknologi untuk Cinta Tanah Air.
Jadikan media sosial sebagai alat perjuangan modern. Pemuda bisa mempromosikan budaya daerah, mengembangkan ekonomi kreatif lokal, hingga menyuarakan keadilan sosial melalui platform digital.

Menjadi Pejuang di Era Digital

Perjuangan masa kini tidak lagi dengan bambu runcing, tetapi dengan pikiran kritis, integritas, dan karakter kebangsaan.
Pemuda yang hebat bukan yang viral, tapi yang berkontribusi.

Jika dulu pemuda menggantungkan senjata untuk melawan penjajah, maka pemuda hari ini harus menggantungkan akal dan etika untuk melawan ketergantungan dan ketidakpedulian.

Seperti kata Bung Karno dalam pidato legendarisnya, “Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.”
Tantangannya sekarang: beranikah kita menjadi salah satu dari sepuluh pemuda itu — di era digital yang meninabobokan?

Membangun Indonesia ke depan bukan soal siapa yang paling canggih gawainya, tapi siapa yang paling kuat karakternya.
Teknologi hanyalah alat, sementara semangat kebangsaan adalah jiwa.
Dan selama pemuda Indonesia masih punya jiwa yang mencintai bangsanya, maka kemerdekaan tidak akan pernah lekang — bahkan di dunia digital sekalipun.***

(Mardianto Manan. Penulis; Dosen Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Islam Riau)

#Opini Mardianto Manan

Index

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index