Pemimpin Ideal di Tengah Krisis Etika dan Kepercayaan Publik

Pemimpin Ideal di Tengah Krisis Etika dan Kepercayaan Publik

Oleh: Dr. Adv.Asep Ajidin, S.Pd.I., S.H., M.H.*

Di tengah hiruk-pikuk politik dan derasnya arus informasi digital, masyarakat kita seperti kehilangan pegangan moral. Banyak pemimpin tampil dengan retorika indah, tetapi miskin keteladanan. Sementara publik semakin sulit percaya, bukan karena rakyat tidak ingin percaya, tetapi karena terlalu sering dikecewakan oleh mereka yang pernah dipercaya.

Krisis hari ini sejatinya bukan hanya krisis ekonomi atau kebijakan, melainkan krisis etika dan kepercayaan publik. Ketika etika runtuh, maka kepemimpinan berubah menjadi ajang perebutan pengaruh, bukan ladang pengabdian.

Dalam pandangan sosiologis, pudarnya etika publik menandai gejala sosial yang serius. Struktur kekuasaan sering kali lebih menonjolkan kepintaran teknokratis ketimbang kebijaksanaan moral. Padahal, bangsa ini pernah memiliki pemimpin yang dihormati bukan karena jabatan, tetapi karena ketulusan dan keberpihakannya pada rakyat kecil.

Max Weber menyebut bahwa kepemimpinan sejati lahir dari charisma of responsibility, yaitu karisma tanggung jawab, bukan karisma citra. Di era modern, nilai itu perlahan memudar, tergantikan oleh charisma of popularity yang sering semu dan sementara.

Sejarah selalu menghadirkan teladan tentang pemimpin yang menolak hidup mewah demi menjaga nurani bangsanya. Nabi Muhammad SAW adalah contoh tertinggi dari kepemimpinan yang berasaskan kasih sayang, akhlak, dan keadilan. Beliau mengajarkan bahwa kekuasaan sejati bukanlah kemampuan memerintah, melainkan kemampuan menahan diri dari keserakahan.

Plato dalam The Republic pernah menulis bahwa negara ideal hanya akan lahir jika dipimpin oleh philosopher king, yaitu pemimpin yang mencintai kebenaran, bukan kekuasaan. Dalam Islam, konsep ini sejalan dengan ulil amri bil ma’ruf, pemimpin yang menegakkan kebaikan dengan ilmu dan keteladanan.

Kekuasaan tanpa etika hanyalah tirani. Kepemimpinan tanpa kebijaksanaan hanyalah manajemen tanpa arah moral. Karena itu, pemimpin ideal harus seimbang antara akal dan akhlak, antara ilmu dan iman.

Al-Qur’an menegaskan:"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkan dengan adil.”
(Q.S. An-Nisa: 58).

Amanah bukan sekadar tanggung jawab administratif, melainkan kesadaran spiritual. Rasulullah SAW bersabda: “Apabila amanah disia-siakan, tunggulah kehancuran.” (HR. Bukhari). Artinya, kehancuran suatu bangsa bermula dari rapuhnya moral para pemimpinnya.

Pemimpin yang menjadikan jabatan sebagai ibadah, bukan alat kepentingan, akan membawa keberkahan bagi rakyat dan bangsanya.

Kepercayaan publik tidak bisa dibeli dengan promosi atau pencitraan. Ia tumbuh dari konsistensi moral, dari kejujuran yang teruji, dan dari kebijakan yang berpihak kepada rakyat.

Dalam pandangan sosiologi modern, legitimasi kepemimpinan hanya bertahan bila pemimpin mampu menghadirkan rasa keadilan sosial. Pemimpin ideal harus memiliki empati sosial, yaitu pemimpin yang mendengar jeritan yang lemah, menenangkan yang gelisah, dan memberi harapan kepada yang terlupakan.

Menjadi pemimpin di masa krisis etika bukanlah perkara mudah. Tapi justru di tengah kegelapan moral, kehadiran pemimpin yang berkarakter akan tampak paling terang. Ia tidak mencari pujian, tetapi mencari ridha Tuhan. Ia tidak memerintah dengan ketakutan, tetapi menuntun dengan kasih sayang dan kebijaksanaan.***

(Dr. Adv.Asep Ajidin, S.Pd.I., S.H., M.H. Penulis: Dai, Akademisi, Advokat dan Pemerhati Kebijakan Publik, berdomisili di Pekanbaru).

#Opini Dr. Adv. Asep Ajidin, S.Pd.I., S.H., M.H.

Index

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index